Sementara itu, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus, menyatakan bahwa biaya politik yang tinggi bukan sepenuhnya kesalahan rakyat. Menurutnya, elite politik turut berperan dalam praktik boros selama kampanye. Oleh karena itu, solusi seharusnya difokuskan pada reformasi sistem pilkada langsung, bukan menghapusnya.
Kelemahan dan Tantangan Pilkada Langsung
Tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada langsung memiliki kelemahan yang nyata. Biaya kampanye yang sangat besar sering menjadi beban berat, baik bagi kandidat maupun negara.Â
Selain itu, praktik politik uang dan pembelian suara marak terjadi dalam pilkada langsung, mencederai demokrasi yang seharusnya berlandaskan kejujuran dan keadilan. Konflik antarpendukung kandidat di tingkat lokal juga menjadi persoalan serius.Â
Meski demikian, menghapus sistem pilkada langsung bukanlah solusi. Sebaliknya, pemerintah perlu memperbaiki sistem pengawasan dan regulasi untuk mengatasi masalah tersebut tanpa mengorbankan hak rakyat.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi dalam pilkada langsung adalah keterlibatan aparat negara, termasuk birokrasi dan aparat keamanan, yang seharusnya netral.Â
Dalam beberapa kasus, aparat diduga mendukung kandidat tertentu, baik secara terbuka maupun terselubung. Fenomena ini menciptakan ketimpangan kompetisi, di mana kandidat dengan dukungan aparat memiliki keunggulan yang tidak adil dibandingkan pesaingnya.Â
Netralitas aparat seharusnya menjadi prinsip utama dalam demokrasi, karena setiap bentuk intervensi akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu.
Dilema Bansos dan Politik Uang
Penggunaan bantuan sosial (bansos) sebagai alat politik juga menjadi tantangan serius dalam pilkada langsung. Dalam banyak kasus, bansos digunakan untuk mendulang dukungan politik, terutama oleh kandidat petahana.Â
Penyaluran bansos sering kali dilakukan secara diskriminatif, hanya menguntungkan kelompok pendukung kandidat tertentu, bahkan menjelang pemilu.Â