Dalam transaksi, pembeli menggunakan beruk untuk mengukur hasil panen. Misalnya, satu beruk jagung dihargai seratus perak.Â
Pada masa itu, uang dengan pecahan lima perak masih cukup bernilai, dan dengan lima perak saja, seseorang bisa mendapatkan barang yang cukup banyak.
Demikian pula bila di pasar ingin membeli beras, pada waktu itu maka alat takaran yang digunakan adalah beruk.Â
Beruk dalam Ekonomi Lokal
Penggunaan beruk dalam perdagangan mencerminkan kesederhanaan serta rasa keadilan yang dijunjung oleh masyarakat pedesaan pada masa itu.Â
Meskipun teknologi dan alat ukur modern seperti timbangan pada  masa itu hanya dimiliki pedagang-pedagang tertentu.
Alat takaran beruk menjadi pilihan sebagai timbangan karena sifatnya yang praktis dan terjangkau. Selain itu, beruk juga melambangkan kesepakatan bersama di antara para penjual dan pembeli.Â
Hal itu sebagai sebuah cerminan dari rasa saling percaya dan kejujuran dalam transaksi.
Penggunaan beruk juga memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal sangat sederhana. Dengan adanya alat ukur tradisional seperti ini, perdagangan bisa berjalan dengan lancar. Transaksi tradisional tanpa memerlukan teknologi canggih atau sistem yang rumit.
Perubahan Teknologi
Seiring dengan masuknya teknologi dan modernisasi, penggunaan beruk perlahan mulai ditinggalkan. Alat ukur modern seperti timbangan digital dan alat pengukur lainnya mulai menggantikan beruk dalam transaksi perdagangan.Â
Namun, di beberapa daerah, nilai historis dan budaya dari  alat takar, beruk masih dikenang sebagai bagian dari sejarah ekonomi tradisional masyarakat Jawa.