Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekeringan Melanda Gunungkidul

22 Juli 2024   18:53 Diperbarui: 1 Agustus 2024   10:07 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gunungkidul bagian selatan, terutama saat musim kemarau yang biasanya terjadi dari bulan Juli hingga awal Desember, menghadapi tantangan yang signifikan. Selama periode ini, cuaca ditandai oleh suhu tinggi dan minimnya curah hujan, menyebabkan udara menjadi sangat kering. 

Kondisi ini berdampak langsung pada lingkungan, terutama vegetasi yang mengalami stres karena kekurangan air. Tanaman alami dan pertanian sering kali layu atau bahkan mati jika tidak mendapat cukup air, mengubah pemandangan hijau menjadi kering dan tandus.

Dampak dari musim kemarau ini sangat terasa dalam sektor pertanian. Tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kacang-kacangan, yang membutuhkan air melimpah, sulit bertahan hidup. 

Hasil panen sering kali menurun drastis, mengancam ketahanan pangan masyarakat setempat. 

Petani pun harus beralih menanam tanaman yang lebih tahan terhadap kekeringan, seperti singkong, ketela pohon, dan kacang tanah. Sumber air seperti sungai, sumur, dan embung sering kali mengering atau mengalami penurunan debit air yang signifikan, menyulitkan irigasi dan memenuhi kebutuhan air sehari-hari.

Kehidupan sehari-hari masyarakat di Gunungkidul bagian selatan sangat terpengaruh oleh musim kemarau. Pengelolaan air menjadi sangat penting, dengan warga sering harus berjalan jauh untuk mendapatkan air atau bergantung pada bantuan pemerintah dan organisasi kemanusiaan yang mendistribusikan air bersih. 

Pada tahun 70-an, sebelum adanya infrastruktur air yang memadai, beberapa orang harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencari sumber air di dalam gua-gua. Mereka menggunakan air tersebut untuk keperluan minum dan memasak. 

Kesulitan ini masih dirasakan hingga sekitar tahun 1995, ketika PDAM belum hadir di wilayah tersebut. Banyak warga harus membeli air dari penjual yang membawa truk tangki, khususnya di daerah seperti Baleharjo Wonosari, yang memiliki pasokan air melimpah. Selain itu, mereka juga mendapatkan air dari sumur dalam atau menampung air hujan saat musim hujan.


Telaga kehilangan Kekedapan 

Di beberapa bagian wilayah Gunungkidul, dulu penduduk mengandalkan bak penampungan untuk meminum air. 

Bak penampungan ini biasanya diisi dengan air hujan yang dikumpulkan selama musim hujan dan digunakan sepanjang musim kemarau. Selain itu, untuk keperluan mencuci dan memberi minum hewan, mereka mengambil air dari telaga alami yang terletak di luar dusun. 

Telaga ini menjadi sumber air utama bagi kebutuhan sehari-hari penduduk, terutama di musim kemarau ketika sumber air lainnya mengering. Pengambilan air dari telaga memerlukan perjalanan yang cukup jauh, namun hal ini sudah menjadi bagian dari rutinitas harian penduduk di wilayah tersebut.

Namun, telaga-telaga ini mulai tidak dapat berfungsi dengan baik setelah adanya program padat karya yang digencarkan sekitar tahun 90-an. Beberapa telaga digali lebih dalam dan bagian pinggirnya ditata dengan batu dengan harapan telaga dapat menampung lebih banyak air hujan.

 Namun, ternyata struktur tanah di telaga tersebut sudah tidak bisa berfungsi untuk menahan air hujan. Akibatnya, telaga-telaga tersebut tidak lagi efektif sebagai sumber air, sehingga penduduk harus mencari sumber air alternatif untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Telaga alami kedap air adalah badan air yang terbentuk secara alami dengan karakteristik unik di mana lapisan dasar dan sekitarnya memiliki kemampuan untuk menahan air.

Lapisan kedap air ini biasanya terdiri dari batuan atau tanah dengan kepadatan tinggi dan porositas rendah, seperti tanah liat atau batuan yang tidak memiliki banyak celah atau retakan. 

Karena sifat kedap air ini, air yang mengisi telaga tidak mudah meresap ke dalam tanah di sekitarnya, sehingga telaga dapat mempertahankan volume airnya dalam jangka waktu yang lama.

Contoh telaga alami kedap air dapat ditemukan di beberapa lokasi, seperti Telaga di Dusun Jati, Candirejo; Telaga di Nongkosingit, Dadapayu; dan Telaga di Giripanggung. 

Telaga-telaga ini terbentuk di daerah dengan kondisi geologi tertentu, seperti lapisan tanah liat tebal atau batuan yang tidak permeabel. Air hujan yang turun mengisi cekungan alami, menciptakan telaga yang menjadi sumber air penting bagi ekosistem sekitarnya dan bagi penduduk yang tinggal di dekatnya. 

Telaga-telaga ini berfungsi sebagai cadangan air vital, terutama di daerah yang tidak memiliki banyak sumber air permukaan lainnya, membantu menjaga keseimbangan lingkungan dan kebutuhan air masyarakat lokal.

Kehadiran lapisan kedap air di dasar telaga memastikan bahwa air yang ada tidak mudah hilang melalui perkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam. 

Hal ini membuat telaga-telaga alami kedap air menjadi sumber air yang andal, terutama di musim kemarau ketika sumber air lainnya mungkin mengering. Selain itu, telaga ini juga dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem lokal, menyediakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan.

Musim Kemarau Panjang

Kekeringan yang berkepanjangan memiliki dampak signifikan terhadap ekosistem, terutama terhadap tanaman dan struktur tanah. Tanaman perdu, yang biasanya beradaptasi dengan kondisi kering dan memiliki sistem perakaran dangkal, sangat rentan terhadap kekurangan air. 

Ketika periode kekeringan berlangsung lama, tanaman perdu tidak dapat menyerap air yang cukup dari tanah, menyebabkan dehidrasi yang parah.

 Proses fotosintesis terganggu, mengakibatkan penurunan produksi energi yang vital untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup tanaman. Akibatnya, banyak tanaman mengalami layu, defoliasi, dan akhirnya kematian.

Di sisi lain, tanah yang kehilangan kelembaban secara signifikan akibat kekeringan mengalami perubahan struktural yang dramatis. Tanah yang awalnya gembur dan berpori menjadi keras dan kompak, dengan penguapan yang tinggi dan minimnya suplai air menyebabkan partikel tanah menyusut dan mengencang. 

Proses ini menghasilkan retakan-retakan di permukaan tanah, yang dikenal sebagai desikasi tanah. Retakan ini tidak hanya mengurangi kemampuan tanah untuk mendukung kehidupan tanaman, tetapi juga meningkatkan erosi tanah ketika hujan akhirnya turun, karena air hujan dengan cepat mengalir melalui retakan tanpa sempat meresap.

Dampak kekeringan yang berkepanjangan sangat terasa bagi para petani tradisional di bagian selatan Gunungkidul, terutama di Kecamatan Semanu, kecamatan Tepus, dan wilayah sekitarnya. 

Kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan kesulitan signifikan dalam mencari pakan ternak, yang mempengaruhi kesejahteraan dan produktivitas ternak mereka. Dengan berkurangnya pasokan pakan alami akibat kekeringan, petani harus mencari alternatif untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka.

Source: Kompas.com/Markus Yuwono
Source: Kompas.com/Markus Yuwono

Di kawasan Gunungkidul, khususnya di kecamatan Semanu dan Tepus, para petani menghadapi tantangan besar akibat kekeringan yang melanda. 

Salah satu solusi umum yang diadopsi oleh petani untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak adalah dengan membeli pakan berupa pohon jagung. Pakan jagung ini umumnya diperoleh dari daerah sekitar Wonosari yang lebih subur atau dari wilayah Klaten di Jawa Tengah.

Namun, pembelian pakan pohon jagung ini tidak tanpa konsekuensi. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pakan berkualitas menjadi beban ekonomi tambahan bagi petani. 

Beban biaya ini sering kali membebani anggaran mereka dan dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi mereka secara keseluruhan. Tidak hanya itu, kondisi ini juga berdampak pada kesejahteraan ternak, mengingat kualitas pakan sangat berpengaruh pada kesehatan dan produktivitas ternak.

Kesulitan ini memperburuk tantangan yang dihadapi petani tradisional di daerah tersebut. Di tengah kondisi lingkungan yang semakin tidak mendukung, seperti kekeringan yang berkepanjangan, petani harus menghadapi tekanan tambahan dalam mengelola sumber daya yang terbatas.

Dampak dari situasi ini mencakup gangguan pada keberlanjutan usaha pertanian mereka dan penurunan stabilitas ekonomi yang dapat mengancam kelangsungan usaha mereka di masa depan.

Selama musim kemarau, petani di Gunungkidul harus menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan pakan ternak mereka. Untuk mengatasi kekurangan pakan yang disebabkan oleh kurangnya sumber pakan alami, mereka menggunakan simpanan pakan kering yang telah disiapkan sebelumnya. 

Pakan ini meliputi bahan-bahan seperti kacang tanah kering dan batang pohon padi yang disimpan di kandang ternak. Penggunaan pakan kering ini merupakan strategi penting untuk memastikan ternak tetap mendapatkan asupan nutrisi selama periode kekeringan.

source:sisilain.com
source:sisilain.com

Di ladang tadah hujan, aktivitas pertanian dilakukan dengan memanfaatkan periode musim kemarau untuk memanen hasil tanaman yang telah ditanam sebelumnya. 

Pada bulan Juli hingga Agustus, petani memanen ketela pohon yang telah mencapai masa panen. Ketela pohon merupakan salah satu komoditas penting yang dapat diandalkan selama musim kemarau untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Pada bulan Oktober dan November, petani biasanya fokus pada persiapan tanah untuk musim tanam berikutnya. Aktivitas ini dikenal sebagai ngawu-awu, yang melibatkan pengolahan tanah dengan cara mluku, yaitu mengemburkan tanah menggunakan bajak tradisional yang ditarik oleh hewan sapi. 

Selain itu, petani juga memberikan pupuk kandang untuk meningkatkan kesuburan tanah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah dan menambah kandungan nutrisi, sehingga tanah siap untuk ditanami kembali ketika musim hujan tiba. 

Persiapan yang matang selama periode ini sangat penting untuk memastikan keberhasilan pertanian di musim hujan dan mendukung keberlanjutan usaha tani mereka.

Petani tadah hujan di Gunungkidul, khususnya di sekitar Dusun Jati dan Candirejo, menerapkan strategi penanaman yang beragam untuk memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan hasil pertanian. Tanaman yang umum ditanam di wilayah ini meliputi padi, ketela pohon, kedelai, dan jagung. 

Salah satu teknik yang banyak diadopsi adalah sistem tumpang sari. Dalam sistem ini, beberapa jenis tanaman ditanam secara bersamaan dalam satu area lahan, menawarkan berbagai keuntungan ekologis dan agronomis.

Di sekitar Dusun Jati dan Candirejo, petani tradisional menggunakan sistem tumpang sari dengan menanam padi bersama dengan jagung atau kedelai. 

Teknik ini membantu memaksimalkan penggunaan ruang lahan dengan memanfaatkan potensi pertumbuhan tanaman yang berbeda. Dari perspektif ekologi, sistem tumpang sari dapat mengurangi risiko kerugian akibat serangan hama atau penyakit.

 Keberagaman tanaman mengganggu siklus hidup hama dan patogen, sehingga mengurangi kemungkinan penyebaran penyakit yang meluas.

 Selain itu, keberagaman tanaman juga berkontribusi terhadap peningkatan kesuburan tanah. Misalnya, kedelai adalah tanaman legum yang dapat memperbaiki kualitas tanah melalui fiksasi nitrogen, yang menambah kandungan nitrogen dalam tanah dan meningkatkan kesuburan untuk tanaman berikutnya.

Pendekatan ini juga memungkinkan petani untuk mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman, yang sangat penting dalam menghadapi ketidakpastian cuaca dan perubahan lingkungan.

Nasib Tanah Tanah tanpa Istirahat

Pada masa sekarang, tanah seringkali mengalami penurunan kesuburan akibat berbagai faktor, termasuk praktik pengolahan tanah yang terus menerus dan penggunaan pupuk kimia. Pengolahan tanah yang dilakukan secara berulang tanpa periode istirahat dapat menyebabkan penurunan kualitas tanah. 

Teknik seperti pembajakan yang berlebihan merusak struktur tanah, mengurangi kandungan bahan organik, dan meningkatkan erosi. Akibatnya, tanah kehilangan kemampuannya untuk menahan air dan nutrisi, yang mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman.

Selain itu, penggunaan pupuk kimia, meskipun sering meningkatkan hasil panen dalam jangka pendek, dapat menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. 

Pupuk kimia yang digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan akumulasi senyawa berbahaya di dalam tanah, mengganggu keseimbangan mikroba tanah, dan mengurangi kesuburan tanah. 

Seiring dengan penurunan kualitas tanah, banyak petani kini mengalami kesulitan dalam menanam tanaman tradisional seperti kacang-kacangan atau padi (palawija), yang tidak lagi menjanjikan hasil yang memadai.

 Sebagai alternatif, beberapa petani mulai beralih ke tanaman jangka panjang seperti sengoan, yang dapat dipanen dalam waktu lima tahun, sebagai upaya untuk mengatasi ketidakpastian hasil dan merestorasi kesuburan tanah.

Nasib Petani?

Menjadi petani saat ini sering kali tidak menjanjikan keuntungan yang memadai, dan seringkali malah merugi, terutama karena berkurangnya jumlah lahan pertanian dan penurunan kesuburan tanah. 

Banyak lahan pertanian semakin menyusut, sementara lahan yang tersisa sering kali mengalami penurunan kesuburan akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Penurunan produktivitas tanah membuat hasil panen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi petani, menambah tantangan bagi mereka.

Akibatnya, banyak pemuda yang sebelumnya diharapkan akan melanjutkan tradisi bertani justru memilih untuk bekerja di kota atau merantau. 

Perubahan ini dipicu oleh ketidakstabilan pendapatan dari pertanian, serta peluang kerja yang lebih menarik dan menjanjikan di sektor urban. 

Kecenderungan ini dapat mengakibatkan penurunan tenaga kerja di sektor pertanian, yang selanjutnya dapat memperburuk masalah kesuburan tanah dan berkurangnya lahan pertanian yang produktif.

Orang tua zaman sekarang sering kali dapat meneruskan kehidupan mereka dengan bantuan dari anggota keluarga yang merantau dan bekerja di kota, seperti yang terjadi pada beberapa warga di Jati Candirejo. 

Dukungan finansial dari kerabat yang sukses di urban memberikan mereka kesempatan untuk tetap bertahan di desa. Selain itu, banyak orang tua di Jati Candirejo terpaksa mencari pekerjaan alternatif untuk mendukung kehidupan mereka, seperti menjadi buruh tani, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota, atau terlibat dalam berbagai usaha lain yang dianggap lebih prospektif. 

Perubahan ini mencerminkan adaptasi mereka terhadap tantangan ekonomi yang semakin berat dan ketidakpastian dalam sektor pertanian.

Kemajuan yang diharapkan dan Tantangan Ekonomi

Pada tahun 1990-an, Gunungkidul mengalami kemajuan dalam pengelolaan air dengan hadirnya PDAM yang mengambil air dari Gua Bribin.

Inisiatif ini memberikan solusi signifikan terhadap masalah kekurangan air yang dihadapi masyarakat, yang sebelumnya harus bergantung pada sumber air yang jauh dan sulit diakses. 

Dengan adanya pasokan air bersih yang lebih stabil, kebutuhan air sehari-hari dapat dipenuhi dengan lebih baik, mengurangi kesulitan yang dialami warga selama musim kemarau. 

Selain itu, pedagang keliling kampung juga mulai hadir untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, menjual lauk pauk dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Hal ini membuat akses ke bahan makanan menjadi lebih mudah dan membantu meningkatkan kualitas hidup penduduk.

Namun, meskipun perbaikan infrastruktur air dan kemudahan akses pangan membawa manfaat besar, pengelolaan tanah untuk pertanian tetap merupakan tantangan besar.

Tanah di Gunungkidul sering mengalami penurunan kesuburan akibat praktik pertanian yang kurang berkelanjutan, dan penggunaan pupuk kimia. Penurunan produktivitas tanah ini mempersulit petani dalam menghasilkan panen yang memadai, menambah kesulitan dalam mendukung ketahanan pangan dan ekonomi lokal. 

Solusi untuk masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih holistik, termasuk perbaikan teknik pertanian dan pemulihan kesuburan tanah untuk mendukung keberlanjutan pertanian di wilayah tersebut.

Pada tahun 1990-an, meskipun PDAM sudah menyediakan pasokan air dari Gua Bribin dan pedagang keliling mempermudah akses bahan makanan, penduduk Gunungkidul masih harus menghadapi tantangan ekonomi yang berat. 

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya hidup yang meningkat, banyak dari mereka harus mencari pekerjaan tambahan atau menjalankan usaha sampingan. Kondisi ini mencerminkan ketahanan mereka dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Namun, situasi mulai membaik pada tahun 2000-an dengan masuknya listrik ke wilayah tersebut. Keberadaan listrik tidak hanya meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga memberikan dorongan ekonomi tambahan. 

Akses ke listrik memungkinkan penduduk untuk menjalankan berbagai usaha yang lebih efisien dan mempermudah kegiatan sehari-hari, seperti menjalankan usaha kecil atau beraktivitas di malam hari. 

Meskipun demikian, meski infrastruktur seperti air dan listrik telah mengalami kemajuan, tantangan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi tetap menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Gunungkidul.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun