Drama terjadi ketika sesi makan. Anak - anak yang seringnya dibontotkan jangan bening, tempe, sambel , kerupuk , ayam krispi yang lebih banyak tepungnya dari dagingnya harus "ngelek idu" melihat temannya yang lain makan makanan fasto food yang menggoda selera. Bahkan si bunda ikut - ikutan parno. Ketika tumpukan ransum anakknya didekati oleh anakku, mereka langsung memindahkan kota-kotaknya dan mendengus sebal.
Seeerrr... aku langsung sesek. pingin mewek. tapi terpaksa harus ditahan.
Begitu sampai di dalam angkot. Mereka menceritakan peristiwa itu. Aku ingin marah, tapi tiba - tiba salah satu nak nyeletuk
"Lhan ancen awakmu lingso tok. Wonge wedi tumomu rutuh nang segone ta." ( Lha memang telur kutumu banyak banget. Ibu itu takut kalau kutumu jatuh ke nasinya )"
Mereka langsung ketawa bareng. Gak ada sakit hati. dan aku malah yang mewek, sampai mereka khawatir dan takut kalau aku marah sama mereka.
"Ora Le, Nduk. Saya belajar banyak dari kalian hari ini. teruslah dadi arek ndeso yang rendah hati tapi kita akan buktikan kalau dari desa kita akan lahir pemimpin hebat untuk bangsa ini."
Akhirnya pertanyaan saya mengenai dimana pendidikan yang terbaik bagi anak - anak. Saya dengan yakin akan menjawab pendidikan keluarga. Saya yakin juga anak ke-2 dan ke=3 akan saya ajarin sendiri di rumah ( setidaknya untuk pendidikan dasar ).
Sekolah favorit hanya akan berkutat di pembangunan intelektualitas muridnya. Sementara, Indonesia sedanng krisis orang - orang hebat yang bermoral dan memiliki hati nurani. Entah sampai kapan, kita akan ditipu dengan kapitalisme pendidikan berkedok sekolah favorit?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H