Mohon tunggu...
Nyonya Ria
Nyonya Ria Mohon Tunggu... Front End Developer -

Saya adalah Pembelajar. Belajar menjadi ibu, belajar menjadi penulis, belajra mengenal sejarah lokal, belajar untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Favorit, Kedok Manis untuk Kapitalisme Pendidikan

19 April 2017   12:37 Diperbarui: 19 April 2017   12:53 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai ibu dari 3 orang anak, pendidikan adalah kebutuhan utama yang sangat kami pikirkan. Memilih lembaga pendidikan yang tepat untuk mereka adalah materi utama dalam diskusi saya dengan mas suami. Mempertimbangkan kurang lebihnya sebuah sistem, hingga akhirnya saya menjadi concern sekali dengan masalah pendidikan. Berbagai diskusi pendidikan saya ikuti, membaca buku pendidikan hingga psikologi anak saya jabani, dan tentunya terus bertanya kepada teman - teman yang sudah sukses mendidik putra putrinya.

Hingga Akhirnya Saya Sadar...

Apa sih sebenarnya tujuan saya menyekolahkan anak ? Untuk pintar. Sudah jelas itu. Namun, ada hal yang lebih penting dari hanya sekedar pintar. Saya ingin anak saya jadi orang baik. Orang yang memilki kepekaan sosial yang tinggi. orang yang tidak pura - pura buta ketika melihat ketimpangan di depan matanya, orang yang tidak pura - pura tuli ketika mendengar nasib buruk menimpa saudaranya, dan orang - orang yang nuraninya mati hingga tega mengambil sesuatu yang bukan haknya padahal ada orang yang jauh lebih membutuhkan daripada dia.

Saya cuma ingin anak saya baik. Pintar, sukses, dan kaya adalah bonus dari kebaikan mereka.

Sekolah Dimana ya enaknya ?

Ketika saya bertanya pada teman - teman, jawaban yang saya dapatkan adalah list sekolah favorit dan pastinya mahal di sekitar kotaku. Aku tanya lagi ke mereka, apa yang membuatmu mengatakan kalau sekolah itu favorit. 

"Lihat dong, Jeng. Prestasinya banyak banget. Ada yang langganan jadi juara olimpiade Nasional. Ada yang banyak atlitnya. Ada yang bisa mengajarkan anak berbicara bilingual."

dan mereka mulai menyebeutkan berbagai prestasi intelektual di sekolah - sekolah tersebut. Dan pertanyaan terbesar saya adalah "Adakah sekolah yang mentargetkan nantinya lulusannya tidak akan jadi koruptor? "Nanti lulusan dari sekolah ini akan jadi pengabdi di desa." "Anak - anak dis ekolah kami akan dididik menjadi anak - anak yang peka dengan isu sosial" . Saya yakin mereka akan menajwab, parameternya kejauhan lah.

Dan saya semakin bingung lagi.

Jawaban mulai tersingkap

Waktu anak saya pertama masuk sekolah. Sekolah yang cukup jauh dari rumah karena saya tinggal di kabupaten dan sekolah anak saya di Kota. Demi apa coba ? demi mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih baik. Hari demi hari berlalu. Ada banyak cerita baik tapi juga banyak cerita kurang oke. Sekolah ternyata bisa jadi memberikan kernacuan pemahaman pada anak. Ibu guru Tematik ( yang didalamnya ada pelajaran kewarganegaraan ) mengajarkan TOLERANSI, PERSATUAN, dan TENGGANG RASA. Sementara guru Agama Islamnya mengajarkan "Jangan mengucapkan selamat hari raya ke orang beragama selain Islam". Kebingungan pertama anak saya yang langsung didiskusikan bersama. Amann.

Sekolah juga mengenalkan hal tidak jujur pertama ke Anak saya. Sepulang sekolah , anak saya tiba - tiba merengut. Saya tanya apakah dia lapar, sakit, atau ada masalah di sekolah. Dia langsung menangis dan memeluk saya sambil bilang "Bunda. maafin Kiera. Tadi Kiera disogok."

Sebagai ibu yang lahir di jaman edan ini, pikrian saya langsung macam - macam. Jangan jangan ah jangan jangan. Saya berusaha menampakan raut muka tenang biar dia juga tenang.

"disogok gimana, pakai apa?" "ehhmm... Disogok pakai uang Bunda. Tadi aku kan nyocokin ulangan bersama terus si N bisikin aku. Kiera kamu tak kasih uang 2 ribu ya, tapi benerin jawabanku. Aku awalnya gak mau, tapi dia mengancam kalau gak mau nanti aku dimusuhi. Akhirnya aku benerin tapi gak semua. Aku berdosa ya, Bun. Ini uang haram ya?"

Saya terkesiap. semakin terkesiap ketika tahu yang dimaksud anakku nyogok adalah menyuap. Bagaimana bisa anak kelas dua SD tahu teknik menghalalkan segala cara demi nilai yang bagus. Dan setelah itu banyak peristiwa mengejutkan kalau saya ceritakan disini gak baka cukup spacenya.

Dan saya mencoba 'wadul' ke guru kelasnya. Beliau hanya bilang, maklum bu anak - anak. Dan saya lagi - lagi terkesiap dengan jawaban itu. Saya semakin tidak percaya lembaga sekolah akan menjadikan anak saya menjadi orang baik.

Lagi, Allah memberikan jawaban dengan caranya yang keren.

Kebetulan sekali saya mempunyai kelas desa gratis buat anak - anak. Disana saya dan teman - teman mengajar berbagai keahlian mulai dari menari hingga belajar bahasa asing. Kelas ini gratis. Saking semangatnya anak - anak belajar, hingga mengetuk hati seorang teman dan mengajak kami bergabung dalam acara besar menyabut pejabat kementrian yang akan datang di kota kami. Selama hampir 2 minggu , kami harus bolak balik Desa ke Kota untuk berlatih. 

Saya sampaikan ke anak - anak dan mereka mau. Setelah mempertimbangkan biaya dll, kami sepakat untuk carter angkot tiap latihan dan bawa bontot , biar gak jajan.

Ternyata , disana kita bertemu dengan teman - teman dari beberapa sanggar dan sekolah di Malang. Anak - anak senang. Punya teman baru. Sayang, kebanyakan anak dari komunitas sekolah favorit di Malang yang kurang nyaman dengan anak - anak. Bahkan ada yang bilang ke ibunya, saya dengar karena saya di sebelahnya. "Bun, aku tidak mau kalau jadi satu sama anak - anak yang itu. Ndeso ngono."

Akhirnya , anak - anak Omah Backpacker karena jumlahnya banyak dijadikan satu grup sendiri. Latihan berjalan dengan lancar. Saya iseng mengamati grup sebelah. Rupanya, pelatih bingung karena egoisme antar anak cukup besar. Anak yang ditaruh di belakang nangis protes karena mereka merasa lebih baik dari yang lain. Masalah semakin runyam ketika diganti, anak yang lain ikutan protes. Dan bundanya juga ikut bergontok - gontokan.

"Mbak, aku mending ngajari anak - anakmu. Gampang aturane." Alhamdulillah. Attittude anak - anak bisa terjaga.

Drama terjadi ketika sesi makan. Anak - anak yang seringnya dibontotkan jangan bening, tempe, sambel , kerupuk , ayam krispi yang lebih banyak tepungnya dari dagingnya harus "ngelek idu" melihat temannya yang lain makan makanan fasto food yang menggoda selera. Bahkan si bunda ikut - ikutan parno. Ketika tumpukan ransum anakknya didekati oleh anakku, mereka langsung memindahkan kota-kotaknya dan mendengus sebal.

Seeerrr... aku langsung sesek. pingin mewek. tapi terpaksa harus ditahan.

Begitu sampai di dalam angkot. Mereka menceritakan peristiwa itu. Aku ingin marah, tapi tiba - tiba salah satu nak nyeletuk

"Lhan ancen awakmu lingso tok. Wonge wedi tumomu rutuh nang segone ta." ( Lha memang telur kutumu banyak banget. Ibu itu takut kalau kutumu jatuh ke nasinya )"

Mereka langsung ketawa bareng. Gak ada sakit hati. dan aku malah yang mewek, sampai mereka khawatir dan takut kalau aku marah sama mereka.

"Ora Le, Nduk. Saya belajar banyak dari kalian hari ini. teruslah dadi arek ndeso yang rendah hati tapi kita akan buktikan kalau dari desa kita akan lahir pemimpin hebat untuk bangsa ini."

Akhirnya pertanyaan saya mengenai dimana pendidikan yang terbaik bagi anak - anak. Saya dengan yakin akan menjawab pendidikan keluarga. Saya yakin juga anak ke-2 dan ke=3 akan saya ajarin sendiri di rumah ( setidaknya untuk pendidikan dasar ).

Sekolah favorit hanya akan berkutat di pembangunan intelektualitas muridnya. Sementara, Indonesia sedanng krisis orang - orang hebat yang bermoral dan memiliki hati nurani. Entah sampai kapan, kita akan ditipu dengan kapitalisme pendidikan berkedok sekolah favorit?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun