Mohon tunggu...
Nyonya Ria
Nyonya Ria Mohon Tunggu... Front End Developer -

Saya adalah Pembelajar. Belajar menjadi ibu, belajar menjadi penulis, belajra mengenal sejarah lokal, belajar untuk memiliki hidup yang lebih berkualitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekolah Favorit, Kedok Manis untuk Kapitalisme Pendidikan

19 April 2017   12:37 Diperbarui: 19 April 2017   12:53 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah juga mengenalkan hal tidak jujur pertama ke Anak saya. Sepulang sekolah , anak saya tiba - tiba merengut. Saya tanya apakah dia lapar, sakit, atau ada masalah di sekolah. Dia langsung menangis dan memeluk saya sambil bilang "Bunda. maafin Kiera. Tadi Kiera disogok."

Sebagai ibu yang lahir di jaman edan ini, pikrian saya langsung macam - macam. Jangan jangan ah jangan jangan. Saya berusaha menampakan raut muka tenang biar dia juga tenang.

"disogok gimana, pakai apa?" "ehhmm... Disogok pakai uang Bunda. Tadi aku kan nyocokin ulangan bersama terus si N bisikin aku. Kiera kamu tak kasih uang 2 ribu ya, tapi benerin jawabanku. Aku awalnya gak mau, tapi dia mengancam kalau gak mau nanti aku dimusuhi. Akhirnya aku benerin tapi gak semua. Aku berdosa ya, Bun. Ini uang haram ya?"

Saya terkesiap. semakin terkesiap ketika tahu yang dimaksud anakku nyogok adalah menyuap. Bagaimana bisa anak kelas dua SD tahu teknik menghalalkan segala cara demi nilai yang bagus. Dan setelah itu banyak peristiwa mengejutkan kalau saya ceritakan disini gak baka cukup spacenya.

Dan saya mencoba 'wadul' ke guru kelasnya. Beliau hanya bilang, maklum bu anak - anak. Dan saya lagi - lagi terkesiap dengan jawaban itu. Saya semakin tidak percaya lembaga sekolah akan menjadikan anak saya menjadi orang baik.

Lagi, Allah memberikan jawaban dengan caranya yang keren.

Kebetulan sekali saya mempunyai kelas desa gratis buat anak - anak. Disana saya dan teman - teman mengajar berbagai keahlian mulai dari menari hingga belajar bahasa asing. Kelas ini gratis. Saking semangatnya anak - anak belajar, hingga mengetuk hati seorang teman dan mengajak kami bergabung dalam acara besar menyabut pejabat kementrian yang akan datang di kota kami. Selama hampir 2 minggu , kami harus bolak balik Desa ke Kota untuk berlatih. 

Saya sampaikan ke anak - anak dan mereka mau. Setelah mempertimbangkan biaya dll, kami sepakat untuk carter angkot tiap latihan dan bawa bontot , biar gak jajan.

Ternyata , disana kita bertemu dengan teman - teman dari beberapa sanggar dan sekolah di Malang. Anak - anak senang. Punya teman baru. Sayang, kebanyakan anak dari komunitas sekolah favorit di Malang yang kurang nyaman dengan anak - anak. Bahkan ada yang bilang ke ibunya, saya dengar karena saya di sebelahnya. "Bun, aku tidak mau kalau jadi satu sama anak - anak yang itu. Ndeso ngono."

Akhirnya , anak - anak Omah Backpacker karena jumlahnya banyak dijadikan satu grup sendiri. Latihan berjalan dengan lancar. Saya iseng mengamati grup sebelah. Rupanya, pelatih bingung karena egoisme antar anak cukup besar. Anak yang ditaruh di belakang nangis protes karena mereka merasa lebih baik dari yang lain. Masalah semakin runyam ketika diganti, anak yang lain ikutan protes. Dan bundanya juga ikut bergontok - gontokan.

"Mbak, aku mending ngajari anak - anakmu. Gampang aturane." Alhamdulillah. Attittude anak - anak bisa terjaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun