Arumi memegang jemari Aril. Aril terlihat tersenyum dari kedip matanya. Ia berusaha memegang jemari arumi, walau terasa lemah. Lalu Aril memberi kode pada Arumi untuk mengambilkan handpone nya.
Jemari Aril perlahan menekan tombol hurup di handpone. Ada beberapa baris kalimat yang Aril berusaha tulis. Setelah selesai, Aril memberi kode kepada Arumi untuk memberikan ibunya.
Ibu Aril sekali lagi tanpa bicara mengambil handpone dari Tangan Arumi. Terlihat wajahnya serius membaca.
"Bu, dia Arumi. Dia pacarku. Ibu harusnya mengerti. Aku lebih sakit bila ibu diam seperti itu. Dia sama seperti ibu. Punya perasaan. Mohon dijaga perasaannya.Â
Terimalah dia seperti anak ibu."
Setelah selesai membaca tulisandari Aril anaknya, ibu Aril memandangi Arumi. Dari raut wajah, terlihat kesedihan dan penyesalan terpencar. Ibu Aril seolah melompat dan seklebat tangannya sudah melingkar memeluk Arumi. Sesegukan tangis ibu Aril, seraya beberapa kali ucapan minta maaf kepada Arumi.
"Maafkan Ibu, Arumi. Ibu telah merendahkanmu, Â menyakitimu. Maafkan Ibu. Kamu perempuan yang pantas menemani Aril. Ibu salah menilaimu."
Arumi tak kuasa menahan air matanya. Tetes-tetes itu bergulir pula. "Ibu, tak ada yang Arumi mesti maafkan tentang Ibu. Arumi ngerti akan keraguan ibu.Â
Perempuan memang penuh perasaan."
Ibu Aril menyibakan rambut Arumi. Calon menantu yang semestinya dia sayangi. Perempuan cantik yang tabah dan tanggungjawab. "Ibu janji, setelah Aril sembuh, Ibu ingin nak Arum meneruskan percintaan ini ke jenjang pelaminan. Ibu sayang kalian berdua."
Ternyata impian hari perkawinan yang membahagiakan mesti tertunda. Tepat setelah enam bulan kesembuhan Aril, Arumi harus masuk rumah sakit.