Perempuan-Perempuan Pencari Hantu
"Berarti tujuan kita sudah fix kan? Â Kita week end di bendungan Bendul. Ingat ya bawa perlengkapan. Kita nginap semalam."
Begitu Tiara mengakhiri pembicaraan di cafe Pojokan. Biasa anak milenial. Setiap malam minggu ada saja acaranya. Mereka bertiga memang kompak berteman dari SMA, walau sekarang mereka berpisah kampus. Ada Tiara. Ada Lisa. Ada Rumi.
Selanjutnya mereka berpisah menuju rumah masing-masing. Semua pastinya sibuk mempersiapkan kemah besok.
"Tiara, tidur dulu. Ini sudah malam." Kata Mama Tiara yang sedikit terganggu tidurnya karena berisik tiara mempersiapkan perlengkapan.
"Bentar Ma. Lagi sedikit aja," saut Tiara sambil memasukkan minyak hangat ke ransel.
Keesokan hari pagi-pagi Tiara sudah bangun. Ia menghidupkan motor biar panas. Mamanya yang sedang menikmati teh hangat di teras rumah jadi terheran.
"Ra, kok tumben pagi gini bergegas. Kamu kemana?"
"Ma, kemarin kan Tiara sudah bilang. Tiara mau kemah di Bendungan Bendul sama teman SMA. Nginap sehari." Sahut Tiara, sambil minum susu yang dibuatkan Mamanya.
"Oo, jadi toh. Emang Kamu berani. Kan lumayan sepi."
"Beranilah Ma. Apa Tiara anak kecil," sahut Tiara dengan yakin."
"Ada teman laki kah?"
"Iih Mama. Masak ngajak temen laki. Kita kan tiduran di tenda. Maluin aja." Tiara menjungus sambil mencubit pipi Mamanya. Tiara memang sedikit manja sama Mamanya karena dia satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara.
"Ooo, gitu. Kirain Mama semua sudah punya pacar." Baru berkata begitu, hand pone Tiara berdering.
"Ya Lis. Aku sudah siap. Kita kumpulnya dimana? Oo, di rumah  Rumi. Aku meluncur kesana," jawab Tiara sambil menutup hp nya.
"Ma, Tiara berangkat ya. Mohon bilang sama Papa dan adik-adik."
"Hati-hati ya Tiara." Tiara menganggung sambil salaman mencium jemari mamanya.
Dengan motor scopy, Tiara meluncur. Di jok belang penuh berisi peralatan kemah.
Tak berselang lama mereka sudah sampai ke rumah Rumi. Ternyata disana sudah siap mobil doglag yang akan membawa perlengkapan mereka kemah.
"Tiara kita bawa motor dua aja ya. Toh kita tidak bermain jauj dari tempat kemah.
Tak lama mereka meluncur ketempat kemah, bendungan Bendul. Sepuluh kilo sebelum memasuki wilayah bendungan, suasanan alam pedesaan sudah terasa. Rumah berpagar tanaman dan dibelakan terlihat kebun dengan tanaman menjulang tinggi.
Udara desa yang sejuk terasa dingin sangat terasa, sehingga tarikan nafas ringan dan bersih. Walau ada beberapa kendaraan bermotor, tapi masyarakat terlihat berjalan kaki kekebun. Anak-anak riang gembira bermain di pinggir jalan yang masih lapang.
Jalan berliku penuh tanjakan memberi isyarat bendungan Bendul pasti sudah dekat. Terlihat disebelah kiri ada parit berar dengan aliran air deras dan bening.
"Pak sopir, udah deket ya bendungannya." Tanya Lisa.
"Sudah mbak. Sekitar 500 meter.Tu lihat lembah." Kata pak sopir dengan tatapan tajam kedepan. Ia waspada agar perjalanan selamat, karena sesekali kiri kanan jalan terdapat tebing curam.
Lisa, Tiara, Rumi bengong aja. Mereka tidak melihat lembah. Mereka termangu menatap tanaman lebat menjulang.
Benar saja mereka sudah memasuki senderan bendungan. Lumayan panjang. Sekitar 200 meter. Masih harus berjalan 200 meter lagi hamparan air bendungan sudah terlihat.
Mereka saling pandang terheran.
"Rumi, kita tidak salah kan kemah disini. Sangat menakjubkan.
"Bener Tiara. Rasa penat kita selama kuliah terasa hilang."
"Sayang ya, kita nggak ngajak pacar,"Lisa menambahkan, sehingga mereka serentak tersenyum.
Dibantu oleh bapak sopir, mereka menurunkan barang-barang. Setelah mengaso sejenak, mereka mendirikan tenda. Tenda hampir selesai, tiba-tiba dihadapan mereka berdiri bapak lumayan berumur. Kira-kira 60 tahunan.
"Selamat pagi. Siapa namanya Tiara?"
Tiara mendekat sambil memberi salam. "Selamat pagi Bapak. Saya Tiara. Saya yang nelpon Bapak kemarin. Ini temanku Rumi dan Lisa."
"Selamat datang ya nak bertiga. Bapak yang bertugas sebagai penunggu bendungan disini. Nama Bapak Yanto. Teman Bapak lagi satu namanya Subur. Dia sedang mengecek sebit air bendungan."
Tiara, Lisa, dan Rumi masing-masing memperkenalkan diri. Mereka kemudian mendapat banyqk petuah dari Pak Yanto.
"Adik-adik, Bapak ingatkan nanti jangan terlalu dekat dengan bendungan. Itu kan ada pembatas. Disamping itu adik-adik jangan berkata-kata tidak baik. Biar aman tidurnya nanti. Bapak bersama Pak Subur akan menunggu di Pos Jaga."
Ketika Pak Yanto berkata "Biar tidurnya aman", Tiara, Lisa, dan Rumi saling pandang. Mungkin dipikiran mereka terbersit mengapa ada kata-kata seperti itu.
Waktu terus berlalu. Mereka mengikuti pinggiran bendungan Bendul yang sangat luas. Airnya terlihat bersih. Dipinggir bendungan, sepanjang mata memandang dedaunan warna hijau terlihat meliuk. Sangat indah.
"Tiara, aku membayangkan saat kita berenang di kolam. Pasti asik. Tapi kalau di sini, mmm, aku takut. Pasti dalam." Kata Lisa.
"Iyaa.., aku takut kalau tenggelam." Kata Tiara menimpali.
"Uuus, jangan berkata begitu Tiara. Tidak mengenakkan." Rumi memotong perkataan Tiara."
Saking asik menikmati pemandangan, mereka tidak sadar bahwa hari sudah mau malam.
"Adik-adik, ini sudah mau malam. Kita sebaiknya kembali ke tempat kemah." Kata Pak Yanto.
Mereka saling toleh dan bergegas mengikuti jejak Pak Yanto. Sesekali Tiara menyalip Lisa berjalan.
"Iih, ngapain sih kamu Ra. Kok nyalip-nyalip begitu?"
"Aku takut Lisa. Takut ada hantu."
"Uuuuh, Tiara. Apa yang kamu ucapkan? Ndak boleh. Kan sudah diingatkan."
Lisa merasa kesel dengan Tiara. Ya, apa boleh buat. Tiara emang orangnya penakut. Tapi paling suka kalau diajak camping seperti ini.
Hari semakin gelap. Walau ada lampu penerangan, mungkin karena ditengah hutan, lampu neon itu terasa tidak terang.
Sekitar pukul 11 malam mereka baru tertidur. Belum sampai se jam, ternyata Tiara bangun sambil teriak-teriak. Lisa dan Rumi berhamburan keluar. Mereka juga teriak-teriak.
"Pak yantooo, pak yantooo, tolongin kami. Cepat. Teman kami di tenda teriak-teriak. Dia seperti kesurupan." Kata Rumi. Suaranya bergetar dan ngos-ngosan.
Pak Yanto dan pak Subur sedikit berlari menuju kemah. Dilihatnya Tiara berdiri. Tangannya terangkat seperti mau mencekram. Mulutnya mengaum seperti suara harimaui.
Sementara Rumi dan Lisa terlihat ketakutan. Dia tidak mau jauh-jauh dengan pak Yanto.
"Pak, tolong kami. Tolong Pak. Kami sangat takut." Kata Lisa sambil memegangi tangan Pak Yanto.
Pak Yanto terdiam. Dengan tenang ia mendekat Tiara yang masih seperti kesurupan. Tiara bergerak-gerak menari dan berkeliling tenda. Suasana makin mencekam. Lisa dan Rumi memeluk Pak Subur. Rupanya mereka sangat takut.
Setelah pak Yanto bisa memegang tangan Tiara dan dengan melafalkan doa, pak Yanto menepung punggung Tiara tiga kali. Lalu Tiara seakan terjatuh dan tertidur lelap.
Pak Yanto dan Pak Subur, akhirnya sampai pagi nungguin mereka di kemah. Mereka juga tidak tidur kecuali Tiara.
Keesokan harinya, pagi-pagi sudah mereka bercerita, sambil meminum teh hangat. Udara terasa sangat dingin.
"Tiara, ngapain sih kamu tadi malam? Uuh, bikin kita takut menggigil." Kata Lisa.
"Ya bener. Kamu kayak hantu aja..eee, maaf." Rumi menimpali.
"Maaf gimana sih tadi malam?"
"Pasti deh kamu tidak ingat Tiara. Karena kamu tak sadar. Kamu teriak-teriak dan menari. Kita jadi ketakutan."
"Ooo, ya bener. Aku awalnya bermimpi. Aku dipermainkan oleh hantu. Aku dikejar-kejar. Tapi aku tak menyerah kalah. Justru terbalik. Aku yang mengejar hantu-hantu tersebut."
"Uh, jadi ngeri. Kok kita jadinya perempuan pencari hantu."
"Tuuh, lihat disampingmu Tiara." Kata Rumi mengagetkan.
Tiara melompat dan memegang Lisa erat-erat.
"Na kan, Dia sih penakut. Itu sih, salah Tiara bilang-bilang hantu. Kan sudah diingatkan sama Pak Yanto."
"Yuk kita berkemas pulang. Sudah siang. Pak Yanto dan Pak Subur sudah selesai menaikkan barang-barang.
Demikian cerita Tiara, Lisa, dan Rumi saat mereka kemah. Mereka ternyata menjadi perempuan-perempuan pencari hantu.
Bali, 14424
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H