Mohon tunggu...
Nyoman Sarjana
Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Kera yang Setia

11 April 2024   21:04 Diperbarui: 11 April 2024   21:08 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua Kera yang Setia

Tersebutlah sebuah desa di kaki pegunungan. Sudah pasti desa itu teramat asri. Pohon-pohon besar tumbuh subur, termasuk tanaman para petani.

Di desa itu petani sangat mudah menanam pala wija, karena air untuk menyirami sangat mudah. Airnya juga jernih, karena penduduk desa menjaga air dengan baik.

Ada yang unik di desa ini yaitu tak satupun warga berani mencuri buah, umbi, yang ditanam warga.

Hingga suatu hari warga desa mulai banyak membicarakan buah yang mereka tanam kedapatan hilang atau rusak. Dan hari ini beberapa warga berkumpul di balai bengong.

"Pak Darto. Apa tanaman pisangmu ada yang rusak ya?" Kata Pak Giyo, sambil membetulkan tempat duduknya.

"Benar Pak Giyo. Syukur Bapak bilang. Dua hari lalu, tanaman jambu air saya banyak yang jatuh. Setelah diperhatikan, ternyata bekas gigitan binatang.

Pak Giyo sebagai tetua desa tersebut kemudian mengajak warga untuk setiap saat melaksanakan ronda. Beberapa hari mereka mengadakan ronda, tidak satupun ada yang menemukan binatang yang memakan atau merusak buah atau tanaman mereka.

Lanjut cerita, di desa Munti tersebutlah ada dua kera kakak beradik. Kera ini mudah dikenali karena bulu mereka berbeda. Kakaknya bulunya warna agak hitam. Sedang adiknya warna coklat kekuningan. Nama mereka kakaknya Salam dan adiknya Salim.  Mereka hidup sangat rukun.

Namun karena musim panas yang panjang, mereka susah mencari buah-buahan untuk dimakan. Tubuh mereka mulai kelihatan agak kurus.

"Kakak Salam, bagaimana hidup kita nanti ya. Buah-buahan sudah mulai habis. Kita kan harus makan. Aku takut mati kelaparan." Kata adiknya Salim sambil menangis.
Salam merasa sedih melihat adiknya menangis. Sambil mengelus ekor adiknya Salam berucap.
"Sabar adikku. Kalau kita berusaha, pasti ada jalan. Ayo kita nyebrang bebukitan ini. Semoga hutan di sana masih lebat."

Salim mengangguk. Mulailah Salam dan Salim melakukan perjalanan yang cukup jauh. Sepanjang jalan yang dilalui, hampir semua tanaman mengering. Daun-daun rontok berguguran.

"Kakak masih jauh? Aku lapar sekali. Belum makan apa-apa."

"Sabar adikku. Kita berdoa dan berusaha. Pasti akan dapat makanan."

Hingga hampir menjelang malam, kera Salam dan Salim melihat lembah. Mereka menuju tempat tersebut. Mereka sangat senang karena ada kubangan mata air. Mereka berlompatan dan sampai pada kubangan tersebut. Salam dan Salim minum sebanyak-sebanyaknya.

Tak lama mereka mendengar raungan Macan."Ayo cepat Salim. Melompat. Jangan sampai diterkam."

Baru sekitar dua meter di dahan Macan itu mendekat. Pohon tempat mereka bertengger digoyang-goyang. Salam dan Salim menggigil ketakutan. "Semoga Aku bisa bertahan." Pikirnya.

Malampun tiba. Macan itu pergi. Kera Salam dan Salim akhirnya bermalam di hutan tersebut. Mereka tidur sangat nyenyak walau udara terasa panas.

Baru bangun kera Salam dan Salim terkejut. Ternyata matahari sudah cukup tinggi. Berarti hsri sudah siang.

"Kak, bangun. Sudah siang. Nanti kita kemalaman lagi."
Salam terkejut dibangunkan oleh adiknya. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Mereka berlompatan dari pohon satu kepohon lainnya.

"Adikku, perjalanan kita semakin dekat. Tuh, lihat. Sudah nampak tanaman yang daunnya hijau. Berarti daerah disitu, tanaman masih bagus. Berarti buah masih bagus juga. Ayo semangat."

Kera Salam memberi semangat kepada adiknya Kera Salim. Sedari tadi Salam melihat adiknya sangat takut meloncat. Mungkin tenaganya sudah semakin habis.

"Kakak, kita mengaso dulu. Aku sangat lelah. Perutku lapar sekali."

Kera Salam sedih mendengar ucapan adiknya. Ia tidak bisa membantu banyak karena Ia juga menahan lapar dan sesekali menggendong adkknya.

"Baik adikku. Kita istirahat sebentar. Perjalanan kita sudah dekat. Bertahanlah dulu. Nanti makanan akan banyak kita temui.
Waktu terus berlalu. Kera Salam dan Kera Salim sudah sampai di sebuah kebun pinggir hutan. Mereka sangat gembira. Salim berlompatan girang, sambil mau memetik pogon pisang yang nampak kuning.

"Salim diam dulu. Jangan teledor. Kita lihat-lihat, apa ada orang disekitarnya."

Salim manggut-manggut. Ia harus menahan laparnya. Setelah Kera Salam menelisik lingkungan sekitar, dia tak melihat ada manusia. Akhirnya ia memerintahkan adiknya memetik buah pisang tersebut.

"Salim. Boleh kamu makan. Tapi secukupnya. Jangan dipetik lalu dibuang. Kasihan. Tidak boleh buang-buang makanan."

Salim berlompatan mencari buah yang matang dan segar. Hatinya sangat gembira. Ia berusaha makan sepuasnya sesuai dengan perkataan kakaknya. Demikian juga Salam menikmati buah-buahan yang lesat. Hingga akhirnya mereka ketiduran.

Mereka tak menyangka, masyarakat sangat marah karena buah mereka sering hilang. Melihat ada dua kera tertidur, mereka mengendap-endap. Saat bersamaan mereka melempar jaring.

"Horeee..., dua kera sudah tertangkap."
Salam dan Salim teriak-teriak di dalam jaring. Perlahan Salam dan Salim dipisahkan. Sebelum dipisah Salam dan Salim berkata.
"Adikku. Nasib kita akan tidak beruntung. Silahkan kamu berdoa. Jangan melawan. Tak akan ada gunanya."

Salim menangis dihadapan kakaknya.
"Jangan menangis adikku. Jalani saja. Ini sudah nasib kita."

Setelah semalaman di dibiarkan di jaring, kera Salam dan Salim ditaruh di kerangkeng di kantor dusun setempat.

Sore harinya sekelompok tetua Dusun mengadakan pertemuan. Pak Giyo selaku tetua berkata:
"Bagaimana dengan dua kera ini?"

Ada seorang berkata. "Kita bunuh saja. Mereka sudah merusak kebun kita. Nanti kalau dilepas kera ini akan merusak lagi."

"Ah, jangan berkata begitu dulu. Jangan bilang membunuh. Saya sudah meminta masukan masyarakat bahwa sebelum dua kera ini datang, ada satu kera besar yang berseliweran di kebun. Tidakkah dia yang merusak atau memakan buah-buahan kita."

"Kalau begitu, kita coba ambil kera ini satu. Ikat kakinya. Kalau dia melawan berarti dia nakal." Kata Pak Darto.

Akhirnya Pak Giyo mengambil tali dan mendekati kera tersebut, lalu berkata.

"E kera. Walau kamu binatang, tapi ada juga yang mengerti. Sekarang kamu akan saya ikat. Jangan melawan." Kata Pak Giyo.

Kera Salam diambil duluan. Ia sadar kalau melawan akan mati juga. Akhirnya dia diam. Diikat kakinya ia diam. Tetua desa keheranan. Tumben melihat kera yang polos. Demikian juga ketika Salim gantinya diikat. Dia diam saja.

"Nah, lihat Bapak-Bapak. Kera ini jinak. Rupanya ia bukan kera disini dan juga bukan kera yang nakal. Mungkin dia hanya mencari makan disini."

Karena tindakannya yang polos, penduduk desa menjadi kasihan. Akhirnya ada yang memberikan pisang.

"Ayo makan. Bisa dimakan."

"Breuuuk..breuuk, kera Salam dan Salim menyaut." Ia paham maksudnya. Akhirnya pisang itu dimakan dengan lahap.

Singkat cerita, kera Salam dan Salim, akhirnya menjadi tontonan masyarakat kampung. Ia sering ditugaskan mencari kelapa oleh penduduk kampung saat segera diperlukan. Penduduk kampung akhirnya menyayangi kera Salam dan Salim. Apalagi anak-anak senang memberikqn makanan karena melihat tingkah kera yang lucu berlompatan.

Begitulah ceritanya. Walau mereka berupa kera, tapi punya juga naluri untuk berjuang untuk hidup dan berbuat baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun