Mohon tunggu...
nydiayul lembong
nydiayul lembong Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa ilmu sejarah di universitas Airlangga

saya adalah seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan pada berbagai bidang, antara lain ialah : fashion, wisata, politik, seni dan budaya serta sejarah

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku The Comfort Women: Historical, Political, Legal, and Moral Perspectives

21 November 2022   16:50 Diperbarui: 21 November 2022   16:53 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

IDENTITAS BUKU

 

Judul Buku                : The Comfort Women : Historical, Political, Legal, and Moral

Perspectives

Penulis Buku             : Kumagai Naoko

Penerbit Buku           : International House of Japan, Inc : Japan., 2016

Tebal Buku                : 229 Halaman

Penerjemah                : David Noble

Bahasa                         : English

 

 SEKILAS TENTANG BUKU

The Comfort Women Historical, Political, Legal and Moral Perspective, merupakan sebuah buku yang menggambarkan situasi dari para wanita penghibur di zaman penjajahan jepang (Jugun ianfu). Buku ini menjelaskan tentang perjuangan dari para wanita tersebut dalam mengembalikan harga diri dan martabat mereka sebagai seorang perempuan. Dalam buku ini para wanita yang dipaksa menjadi seorang wanita penghibur di masa penjajahan jepang menuntut permohonan maaf secara terbuka dan juga kompensasi atas perlakuan dari pihak Jepang yang menjatuhkan harga diri para wanita tersebut. Tak hanya itu buku ini pun turut menjelaskan dampak politik yang di terima oleh pihak jepang di masa sesudah penjajahan, serta dalam buku ini dijelaskan pula pandangan -- pandangan negara lain terhadap perilaku jepang di masa itu.

Introduction

WHY RAISE THE ISSUE NOW?  

Jugun Ianfu merupakan istilah atau sebutan yang diberikan Jepang kepada para wanita penghibur yang dipaksa untuk melayani tentara Jepang pada Perang Dunia ke II. Wanita -- wanita penghibur ini berasal dari berbagai daerah jajahan Jepang pada waktu itu, mereka di ambil dari negara nya dan kemudian di tempatkan di Ianjo (dikenal juga dengan "Comfort Station" atau "Pusat Kenyamanan"). Para wanita yang dipaksa untuk menjadi Jugun Ianfu ini kebanyakan diambil dari negara -- negara asia seperti Filipina, Burma (sekarang Myanmar), Indonesia, Malaysia dan China. Adanya paksaan dari pihak Jepang kepada wanita -- wanita ini menyebabkan para wanita tersebut mengalami kesulitan dalam menjalani kesehariannya bahkan setelah perang berakhir, banyak dari wanita tersebut mengalami trauma secara psikologis dan secara fisik akibat peristiwa tersebut.

Kesulitan yang dialami oleh para Jugun Ianfu tersebut menimbulkan keinginan untuk menuntut keadilan, sampai di tahun 1991, Kim Hak Sun yang merupakan seorang wanita mantan Jugun Ianfu dari Korea Selatan mempublikasikan kasusnya dan menuntut kompensasi serta permohonan maaf dari pihak pemerintah Jepang atas perilaku Jepang yang merugikan dirinya. Aksi yang dilakukan oleh Kim Hak Sun ini kemudian di ikuti oleh para mantan Jugun Ianfu yang lainnya, mereka menuntut hal yang sama seperti Kim Hak Sun yaitu kompensasi dan permohonan maaf dari Pemerintah Jepang atas kekejaman mereka di masa perang. Kebanyakan wanita yang berani menuntut hak nya berasal dari negara Korea Selatan, adanya tuntutan dari wanita -- wanita tersebut menyebabkan terjadinya konflik antar negara Jepang dan Korea Selatan dimana pemerintah Korea Selatan menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan membayar para wanita yang menjadi korban dari kekejaman Jepang di masa perang dunia ke II, tuntutan ini ditunjukkan oleh pihak Korea Selatan dengan membangun sebuah patung perdamaian atau patung Sonyeosang di depan gedung kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan. Menghadapi hal ini perdana menteri Jepang Abe Shinzo menyampaikan permohonan maaf nya dan beliau berjanji akan memberikan kompensasi sebesar satu miliar yen kepada yayasan penyembuhan luka dan psikologis para korban Jugun Ianfu yang di naungi oleh pemerintah Korea Selatan.

Chapter 1

POINT OF CONTENTION

Berbeda dengan Kim Hak Sun dan Negara Korea Selatan beberapa wanita yang turut menjadi wanita penghibur di era perang dunia ke II tidak berani menuntut Jepang atas tindakan keji yang Jepang lakukan kepada mereka, beberapa negara jajahan Jepang pun tidak ikut menuntut Jepang atas tindakan nya di masa itu. Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak menuntut jepang atas perbuatannya dahulu, pemerintah Indonesia lebih memilih untuk tidak mempermasalahkan masalah tersebut guna melindungi reputasi dari korban dan keluarga korban jugun ianfu. Adanya peningkatan area jajahan Jepang menyebabkan bertambahnya jumlah tentara jepang, hal ini pun turut menjadi faktor peningkatan Jugun Ianfu. Untuk memenuhi kebutuhan sexual para tentara, pemerintah Jepang mengirimkan para Jugun Ianfu ke area jajahan nya, mayoritas wanita -- wanita yang dikirim oleh pemerintah Jepang berasal dari Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.

Berbanding terbalik dengan Kim Hak Sun, para Jugun Ianfu yang berasal dari Jepang lebih memilih untuk diam. Tidak adanya pergerakan dari para mantan Jugun Ianfu yang berasal dari Jepang ini dilatar belakangi oleh budaya patriarki yang ada di Jepang, dimana masyarakat Jepang itu sendiri menganggap bahwa sudah sepatutnya wanita -- wanita itu melayani lelaki Jepang. Munculnya golongan feminis menimbulkan kontra terhadap pihak Jepang itu sendiri, kelompok feminis menuntut Jepang untuk mengakui kesalahannya dan mengakui bahwa Jepang pada masa itu telah merendahkan para wanita. Dengan adanya budaya patriarki yang merajalela menjadikan kasus ini menjadi sebuah isu yang penuh dengan pro dan kontra, banyak yang menganggap bahwa "pelacuran" berlisensi merupakan hal yang wajar dan sudah sepatutnya wanita "memuaskan" para laki-laki, dan ada pula yang menganggap bahwa adanya Jugun Ianfu merupakan pelanggaran moral dan hak dari wanita itu sendiri.

Chapter 2

UNIQUENESS AND UNIVERSALITY

Dalam bab ini dijelaskan tentang asal usul dari Comfort Station yang dibentuk pada saat perang dunia ke 2 serta pandangan sosial terhadap pembentukan dari Comfort Station itu sendiri. Menurut berbagai pihak adanya fasilitas prostitusi di era perang dunia ke II tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerkosaan. Adanya area -- area penyedia prostitusi menjadikan pelecehan seksual di masa perang menjadi hal yang sangat umum dan wajar. Adanya pemikiran bahwa laki -- laki adalah penguasa juga menjadi latar belakang dari banyaknya tempat protitusi tersebut. Mereka menganggap bahwa perang memberikan para pria latar belakang psikologis yang sempurna untuk melampiaskan penghinaan mereka terhadap wanita.

Chapter 3

RESPONSIBILITY AND POSTWAR REPARATIONS

Adanya penandatanganan The San Fransisco Peace Treaty membuat Jepang memenuhi tanggung jawab hukumnya sehubungan dengan kompensasi, reparasi, dan hak individu untuk mengajukan tuntutan terhadap pihak Jepang. Namun pada tanggal 29 September 1972, Jepang secara sepihak membatalkan perjanjian ini ketika menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC). Pembatalan perjanjian ini mengakibatkan tidak adanya pertanggung jawaban pemerintah Jepang terhadap para korban dan masalah ini pun tidak dapat diselesaikan. Dalam bab ini terjadi perdebatan yang terus berlanjut dan belum terselesaikan, Jepang tidak menunjukkan tanggung jawab resmi nya untuk sistem Jugun Ianfu, termasuk sejauh mana kriminalitas harus di akui dan hukuman di terapkan.

Chapter 4

THE ASIAN WOMEN'S FUND AND JAPAN'S MORAL RESPONSIBILITIES

Seperti yang sudah dibahas pada bab -- bab sebelumnya dimana Jugun Ianfu menjadi salah satu masalah sosial dan politik di negara Jepang yang pembahasannya di mulai sejak tahun 1990, pembahasan ini menimbulkan munculnya demokrasi di Korea Selatan, berakhirnya perang dingin, serta kesadaran terhadap hak asasi manusia, pembahasan mengenai Jugun Ianfu juga mengubah situasi politik di Jepang. Adanya tuntutan dari berbagai wanita korban Jugun Ianfu menyebabkan Jepang mendapatkan kecaman moral dari berbagai Negara dan Lembaga Dunia, hal ini kemudian mendorong Jepang dalam membuat Asian Women Fund yang dipertujukan untuk memberikan kompensasi kepada para korban Jugun Ianfu. Pembuatan Asian Women Fund ini mendapatkan berbagai perhatian dari publik, dimana banyak masyarakat umum yang membandingkan Asian Women Fund dengan The Foundation of Remembrance, Responsibility, Future milik Jerman. Masyarakat dunia menganggap bahwa Jepang terlalu lamban dalam menangani dan memberikan kompensasi yang sesuai kepada para korban Jugun Ianfu. Berbanding terbalik dengan Jerman yang dengan sigap memberikan tanggung jawab nya kepada para korban kekejaman Nazi melalui Remembrance, Responsibility, Future Foundation.

Chapter 5

A PARADIGM SHIFT ON THE ISSUE OF SEXUAL VIOLENCE

Bab ini membahas tentang gerakan dan upaya -- upaya dalam meminimalisir prostitusi dengan mengangkat hak asasi para wanita. Dalam The World Conference On Human Rights, yang dilaksanakan di Vienna pada tahun 1993 oleh United Nations (UN), konferensi ini berfokus pada pembahasan mengenai Hak Asasi Wanita dan Perlindungan Wanita Terhadap Kejahatan Seksual. Namun Konferensi ini menuai banyak kritik dari berbagai pihak, kritik ini bermunculan karna konferensi ini gagal dalam mencapai kesepakatan secara umum dan dianggap kurang adil karna tidak mengangkat isu -- isu dan konflik yang terjadi di Negara Bosnia dan Herzegovina. Bab ini berfokus pada perjuangan para kaum feminisme yang menuntut hak dari para wanita untuk mendapatkan keadilan dan pertanggung jawaban dari peristiwa kelam yang terjadi pada wanita di zaman perang.

Chapter 6

SEEKING GENUINE RECONCILIATION

Melalui tuntutan yang di publikasikan oleh Kim Hak Sun, terbukalah sebuah era reformasi dari para wanita korban kekejaman Jepang, melalui tuntutan ini pula para wanita mulai memahami paham feminisme. Dengan adanya permohonan maaf secara terbuka oleh Pemerintah Jepang serta dengan adanya pembentukan Asian Women Foundation menjadi sebuah hasil yang baik bagi para korban Jugun Ianfu. Berbeda dengan beberapa negara korban jajahan Jepang yang memutuskan untuk berdamai dengan Pemerintah Jepang, konflik antara Jepang dan Korea Selatan masih berlanjut. Korea Selatan memutuskan untuk mengingat kekejaman Jepang dalam menghancurkan harkat dan martabat dari para wanita korban Jugun Ianfu di Korea Selatan. Bab ini di isi dengan pro dan kontra dari berbagai sudut pandangan terhadap konflik antara Jepang dan Korea Selatan, selain itu bab ini juga berisikan pandangan -- pandangan Negara lain terhadap kebijakan yang ada di Negara Jepang baik di masa peperangan hingga ke masa setelah peperangan.

Buku The Comfort Women : Historical, Political, Legal and Moral Perspectives, secara garis besar menunjukkan perjuangan para wanita korban kekejaman Jepang di masa perang, dimana perjuangan ini melahirkan pemahaman tentang pentingnya hak asasi dari seorang wanita dan peristiwa tersebut juga menjadi cikal bakal menjamurnya paham feminisme, buku ini menjelaskan tentang upaya -- upaya yang dilakukan oleh para korban dalam menuntut hak nya, dan juga upaya -- upaya dari para feminis dalam mewujudkan hak asasi dari para wanita korban kekejaman seksual saat perang dan setelah perang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun