The Comfort Women Historical, Political, Legal and Moral Perspective, merupakan sebuah buku yang menggambarkan situasi dari para wanita penghibur di zaman penjajahan jepang (Jugun ianfu). Buku ini menjelaskan tentang perjuangan dari para wanita tersebut dalam mengembalikan harga diri dan martabat mereka sebagai seorang perempuan. Dalam buku ini para wanita yang dipaksa menjadi seorang wanita penghibur di masa penjajahan jepang menuntut permohonan maaf secara terbuka dan juga kompensasi atas perlakuan dari pihak Jepang yang menjatuhkan harga diri para wanita tersebut. Tak hanya itu buku ini pun turut menjelaskan dampak politik yang di terima oleh pihak jepang di masa sesudah penjajahan, serta dalam buku ini dijelaskan pula pandangan -- pandangan negara lain terhadap perilaku jepang di masa itu.
Introduction
WHY RAISE THE ISSUE NOW? Â
Jugun Ianfu merupakan istilah atau sebutan yang diberikan Jepang kepada para wanita penghibur yang dipaksa untuk melayani tentara Jepang pada Perang Dunia ke II. Wanita -- wanita penghibur ini berasal dari berbagai daerah jajahan Jepang pada waktu itu, mereka di ambil dari negara nya dan kemudian di tempatkan di Ianjo (dikenal juga dengan "Comfort Station" atau "Pusat Kenyamanan"). Para wanita yang dipaksa untuk menjadi Jugun Ianfu ini kebanyakan diambil dari negara -- negara asia seperti Filipina, Burma (sekarang Myanmar), Indonesia, Malaysia dan China. Adanya paksaan dari pihak Jepang kepada wanita -- wanita ini menyebabkan para wanita tersebut mengalami kesulitan dalam menjalani kesehariannya bahkan setelah perang berakhir, banyak dari wanita tersebut mengalami trauma secara psikologis dan secara fisik akibat peristiwa tersebut.
Kesulitan yang dialami oleh para Jugun Ianfu tersebut menimbulkan keinginan untuk menuntut keadilan, sampai di tahun 1991, Kim Hak Sun yang merupakan seorang wanita mantan Jugun Ianfu dari Korea Selatan mempublikasikan kasusnya dan menuntut kompensasi serta permohonan maaf dari pihak pemerintah Jepang atas perilaku Jepang yang merugikan dirinya. Aksi yang dilakukan oleh Kim Hak Sun ini kemudian di ikuti oleh para mantan Jugun Ianfu yang lainnya, mereka menuntut hal yang sama seperti Kim Hak Sun yaitu kompensasi dan permohonan maaf dari Pemerintah Jepang atas kekejaman mereka di masa perang. Kebanyakan wanita yang berani menuntut hak nya berasal dari negara Korea Selatan, adanya tuntutan dari wanita -- wanita tersebut menyebabkan terjadinya konflik antar negara Jepang dan Korea Selatan dimana pemerintah Korea Selatan menuntut pemerintah Jepang untuk meminta maaf dan membayar para wanita yang menjadi korban dari kekejaman Jepang di masa perang dunia ke II, tuntutan ini ditunjukkan oleh pihak Korea Selatan dengan membangun sebuah patung perdamaian atau patung Sonyeosang di depan gedung kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan. Menghadapi hal ini perdana menteri Jepang Abe Shinzo menyampaikan permohonan maaf nya dan beliau berjanji akan memberikan kompensasi sebesar satu miliar yen kepada yayasan penyembuhan luka dan psikologis para korban Jugun Ianfu yang di naungi oleh pemerintah Korea Selatan.
Chapter 1
POINT OF CONTENTION
Berbeda dengan Kim Hak Sun dan Negara Korea Selatan beberapa wanita yang turut menjadi wanita penghibur di era perang dunia ke II tidak berani menuntut Jepang atas tindakan keji yang Jepang lakukan kepada mereka, beberapa negara jajahan Jepang pun tidak ikut menuntut Jepang atas tindakan nya di masa itu. Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak menuntut jepang atas perbuatannya dahulu, pemerintah Indonesia lebih memilih untuk tidak mempermasalahkan masalah tersebut guna melindungi reputasi dari korban dan keluarga korban jugun ianfu. Adanya peningkatan area jajahan Jepang menyebabkan bertambahnya jumlah tentara jepang, hal ini pun turut menjadi faktor peningkatan Jugun Ianfu. Untuk memenuhi kebutuhan sexual para tentara, pemerintah Jepang mengirimkan para Jugun Ianfu ke area jajahan nya, mayoritas wanita -- wanita yang dikirim oleh pemerintah Jepang berasal dari Korea Selatan, Taiwan dan Jepang.
Berbanding terbalik dengan Kim Hak Sun, para Jugun Ianfu yang berasal dari Jepang lebih memilih untuk diam. Tidak adanya pergerakan dari para mantan Jugun Ianfu yang berasal dari Jepang ini dilatar belakangi oleh budaya patriarki yang ada di Jepang, dimana masyarakat Jepang itu sendiri menganggap bahwa sudah sepatutnya wanita -- wanita itu melayani lelaki Jepang. Munculnya golongan feminis menimbulkan kontra terhadap pihak Jepang itu sendiri, kelompok feminis menuntut Jepang untuk mengakui kesalahannya dan mengakui bahwa Jepang pada masa itu telah merendahkan para wanita. Dengan adanya budaya patriarki yang merajalela menjadikan kasus ini menjadi sebuah isu yang penuh dengan pro dan kontra, banyak yang menganggap bahwa "pelacuran" berlisensi merupakan hal yang wajar dan sudah sepatutnya wanita "memuaskan" para laki-laki, dan ada pula yang menganggap bahwa adanya Jugun Ianfu merupakan pelanggaran moral dan hak dari wanita itu sendiri.
Chapter 2
UNIQUENESS AND UNIVERSALITY