Mohon tunggu...
gahpraja
gahpraja Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Penulis muda cerpen dan karya sastra lainnya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mencari Nirmala

15 November 2023   08:41 Diperbarui: 15 November 2023   09:25 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

NIRMALA! Jika kalian mendengar teriakan dari perempuan tua nan lusuh dengan rambut ikalnya berantakan mengitari seluruh kampung kami di Tajurhalang. Maka sebaiknya kalian menghindar, seperti pada orang gila umumnya, Nek Wiranti, biasanya akan mencegat salah satu perempuan dan mengajaknya pulang ke 'rumah' dimana kami sendiri tidak tahu persis rumah yang diucapkan Nek Wiranti.

Nirmala! Nirmala! Sebutnya sambil memegang beberapa bongkah lilin yang mungkin ia curi dari warung Pak Srimin, sepupu ketua kampung yang berulang kali menyuruh saudaranya itu membawa Nek Wiranti jauh dari kampung. Pernah juga Nek Wiranti mencuri sekotak lilin, salah satu warga hendak menyergapnya. Namun, Pak Srimin memilih tidak ambil repot.

"Buat apa lapor polisi, toh dia pun orang yang rada-rada," tuturnya sambil mengangkat telunjuk ke dahi lalu memiringkannya ke kanan. Saudaranya itu terlalu sibuk dengan proyek tol yang digadang-gadang walikota.

Ustad Ranuma, mengatakan kepada kami sebaiknya Nek Wiranti jangan dijadikan bahan permainan atau membuatnya semakin terpojok. Mengingat warga akhir-akhir ini warga sering mengganggu Nek Wiranti dengan mengambil lilin yang berada di tangannya, membawanya kabur sampai Nek Wiranti berlari dan tersungkur di jalan. Lebih suci apabila kami membantunya memberi makan, kalau bisa merawatnya hingga ke rumah sakit jiwa. Namun, siapa peduli?

Kadang Nek Wiranti lewat di pos ronda ketika malam, sudah menjadi kebiasaan salah satu pemuda menyahut dengan aroma kopi menyeruak dari mulutnya, "Oi....Nirmala ada di sebelah sana!"

Lantas Nek Wiranti tergopoh-gopoh sambil sumringah menuju arah yang ditunjuk orang itu. Dan....Tadaa! Mereka terbahak-bahak. Kosong. Cuman gang buntu yang dilihat Nek Wiranti. Ia mendengus kesal.

Mendengar hal itu, Ustad Ranuma datang di sore hari, anak perempuan Pak Srimin tengah membereskan warungnya. Melihat hujan yang sebentar lagi datang, Ustad Ranuma buru-buru mencegat Wirnata masuk.

"Wirnata," ucapnya tersengal-sengal.

Wirnata menoleh, dilihatnya Ustad Ramunu yang langsung duduk di atas dipan rumahnya. Wirnata meletakkan minuman saset yang ia jinjing ke lantai, memandang peluh keringat Ustad Ramunu deras mendahului hujan.

 "Saya mau berbicara sebentar dengan kamu."

Wirnata mengangguk. Mengambil kursi yang ia tarik dari balik pintu.

Pasal Nek Wiranti yang berjalan tanpa alas kaki di aspal diterpa terik matahari gerang membidik kulitnya yang tambah gosong adalah mantan salah satu ibu-ibu pengajian yang selalu diadakan Ustad Ramunu setiap hari jumat. Nek Wiranti masih berumur tiga puluh tahun, dan saat itu Ustad Ramunu belum menikah.

Nek Wiranti merupakan janda setelah Omonu, lelaki berandalan yang dikenal warga sebagai tukang sabung ayam serta pemabuk di rumah bordil yang kini telah dilenyapkan. Mulanya, Omonu mencuri uang warisan yang ditinggalkan kepada Wiranti setelah kematian kedua orang tuanya di kota. Omonu lantas hilang tanpa kabar, meninggalkan Wiranti bersama janin yang masih dikandungnya. Sendirian.

Ustad Ramunu menyarankan agar Wiranti bekerja di binatu kampung sebelah. Gajinya mungkin terbilang mencukupi kebutuhan ia dan anaknya. Walau Ustad Ramunu tiap-tiap pulang pengajian memberikannya bantuan, biasanya berupa beras, maupun uang mentah.

Sampai pada hari persalinan, Wiranti melahirkan bayi perempuan yang ia beri nama Nirmala, menurutnya ia ingin bayi perempuan itu diberi kehidupan yang sempurna, lebih sempurna dari kehidupannya sekalipun. Tepat pada 11 November, hari itu Nirmala tumbuh dari suapan ibunya yang banting tulang. Tanpa peran seorang ayah.

Bertahun-tahun terlewati, Nirmala menginjak usia remaja. Enam belas tahun, namun dirinya tidak sesuai dengan harapan Wiranti. Mungkin, karena ia terlalu sibuk bekerja dan membiarkan anaknya itu bebas meliar. Nirmala bahkan ikut tawuran antar sekolah dimana hal itu lumrah dilakukan laki-laki. Mulutnya yang tersumpal asap rokok menyimpan narkoba di bawah ranjang. Tato-tato hitam yang membaluti sekujur tubuh. Wiranti meledak-ledak. Wajahnya merah padam.

"Ibu tak pernah mengajarkanmu seperti ini!" jerit Wiranti membanting pintu.

"Kenapa? Ibu tidak suka? Bukankah selama ini ibu tidak memperhatikanku, hah?"

Wiranti tergeming. Nirmala keluar menanggalkan punggung pada kedua mata yang tak disadarinya melelehkan air mata perlahan.

***

"Jadi hari ini adalah hari ulang tahun Nirmala?" Wirnata mencerna cerita yang diutarakan Ustad Ramunu cukup panjang.

   "Tentu."

Wirnata menelan ludah.

"Ustad minta tolong sama kamu," ia memegang lengan Wirnata penuh keyakinan. "Kamu....," lanjutnya berbisik pelan. Wirnata hanya manggut-manggut, menyetujui perintah Ustad Ramunu yang terkesan memaksa.

Esoknya,  Wirnata di sore buta kala langit mendung seperti biasanya musim hujan, mencoba mencari Nek Wiranti yang katanya mengganggu para anak-anak kecil bermain layangan. Kali ini, kinerja matanya nihil. Tak ada tanda-tanda Nek Wiranti, ia juga bertanya pada ibu-ibu yang berada di sana.

Pertigaan gang yang disusuri Wirnata saat kembali pulang, bersebelahan dengan pasar kaget di antara kali besar yang mencuat toko kue di tepi jalanan. Suara krsk-krsk-krsk gesekan kantung plastik mendekat, Wirnata berdegup. Dari belakang seayunan tangan menepuk pundak.

"Nirmala?" Wirnata menurunkan bola matanya, dua bongkah lilin berbentuk satu dan tujuh dijinjing wajah Nek Wiranti berbinar sembari menunggu jawaban.

Ah, ingin ia berkata bukan, namun ulah perintah Ustad Ramunu yang membelokkan lidahnya lantas spontan berkata, "Iya."

Ditarik lengan Wirnata hingga menginjak pekarangan rumah yang ditutupi rumput setinggi pinggang orang dewasa. Dinding berkerak dan mengeluarkan selipan sayap kelelawar. Mengantarkan bau hampa yang dihembuskan rumah kosong Nek Wiranti di belakang perkebunan pisang. Rumah yang sama sekali belum diketahui warga.

"Duduklah," Nek Wiranti merogoh-rogoh reruntuhan laci yang masih bisa dibukanya dengan lancar. Mengambil sebatang korek api, lalu ia menyulutkannya pada lilin yang kini berbentuk angka tujuh belas.

***

Sirene mengejar kawanan remaja di pinggir gedung terbengkalai yang merupakan sarang mereka membuahi gagak hitam. Sehabis pengaduan warga, adanya tawuran melukai mereka yang tak sengaja melintas. Sepucuk surat terselip di sakunya yang terguncang-guncang dibawanya lari, bersembunyi di semak belukar. Dimasukkan lengannya untuk mengambil surat tersebut, namun ia terkejut karena melihat surat itu telah jatuh di tengah jalan. Motor polisi melindasnya habis, melekatkan bunyi sirene bergaung-gaung kian menipis. Ia keluar menepis semak-semak, membidik jarinya ke arah selembaran kertas luluh lantak yang membiarkan alisnya tidak berkedip.

"Untuk Nirmala," batinnya mengikuti satu per satu kata yang ia baca.

Nun jauh sana, di bawah lampu remang-remang. Seorang ibu berpeluh keringat terbaluti daster kumal yang belum ia cuci berhari-hari, menaruh kue cantik berhiasi krim stroberi yang memantulkan cahaya lilin berkibar. Mengibarkan perayaan mereka yang malah menjadi sebuah perpisahan.

Ia melihat kanan-kiri, memastikan tidak ada lagi petugas yang mengejar mereka. Menyeruaklah teriakan dari salah satu kawannya meminta tolong, rombongan yang dulu kalah tarung bersama mereka mengangkat-ngangkat tinggi parang yang mereka pawai sambil meneriakkan yel-yel penuh semangat. Memenuhi jalan, dan menjadikannya sebagai mangsa yang lezat. Bagai rusa yang hilang arah.

"Hari ulang tahunmu merayakan kebahagiaan kita menjadi satu keluarga yang utuh. Maka, pulang menjadi tanda bahwa kamu telah memaafkan ibu."

Lima hari ia memilih lari, lima hari pula ia tidak diketahui. Nek Wiranti mencari Nirmala.

Melemparkan sasaran pada tikungan yang mengarah ke rumahnya. Semestinya ia menyebrang menggunakan aba-aba. Klakson bus berbunyi. Tubuh berlumur itu digotong ramai-ramai menuju danau kampung.

***

"Tiuplah," suruh wanita tua itu padanya, Wirnata mengambil napas, menyiapkan udara yang akan disemburkannya ke sebatang lilin tertancap di atas bolu berjamur.

"Sebentar," cegat Nek Wiranti seketika. Matanya membelalak.

"Kau bukan Nirmala."

Sesuai dengan instruksi Ustad Ramunu, Wirnata tersenyum tipis. "Nirmala bilang, ia telah memaafkan ibu."

"Sungguh?"

Wirnata mengeluarkan segulungan kertas yang hampir hancur. Sedikit robek. Namun, tulisan getah daun di sebelah kanannya bisa dibaca dengan mata normal. Terlihat: "Aku akan pulang!" dengan nada Nirmala yang penuh girang saat itu di situasi genting bermain petak umpat dengan polisi.

Nek Wiranti memejamkan mata.

"Tak apa, tiuplah."

Wirnata melenyapkan api itu. Asap mengudara menandakan umur Nirmala genap tujuh belas tahun. Hari ini, adalah hari yang kami sebut hari ulang tahun di kampung. Dimana Nek Wiranti mengulang tahun-tahun yang sama seperti sebelumnya. Tahun-tahun tanpa sosok Nirmala. Sosok yang ia rindukan untuk lilin yang takkan pernah apinya padam ditiup. (*)

***

Gagah Pranaja Sirat, penulis muda yang telah beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen selama masa perdana SMA-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun