Nun jauh sana, di bawah lampu remang-remang. Seorang ibu berpeluh keringat terbaluti daster kumal yang belum ia cuci berhari-hari, menaruh kue cantik berhiasi krim stroberi yang memantulkan cahaya lilin berkibar. Mengibarkan perayaan mereka yang malah menjadi sebuah perpisahan.
Ia melihat kanan-kiri, memastikan tidak ada lagi petugas yang mengejar mereka. Menyeruaklah teriakan dari salah satu kawannya meminta tolong, rombongan yang dulu kalah tarung bersama mereka mengangkat-ngangkat tinggi parang yang mereka pawai sambil meneriakkan yel-yel penuh semangat. Memenuhi jalan, dan menjadikannya sebagai mangsa yang lezat. Bagai rusa yang hilang arah.
"Hari ulang tahunmu merayakan kebahagiaan kita menjadi satu keluarga yang utuh. Maka, pulang menjadi tanda bahwa kamu telah memaafkan ibu."
Lima hari ia memilih lari, lima hari pula ia tidak diketahui. Nek Wiranti mencari Nirmala.
Melemparkan sasaran pada tikungan yang mengarah ke rumahnya. Semestinya ia menyebrang menggunakan aba-aba. Klakson bus berbunyi. Tubuh berlumur itu digotong ramai-ramai menuju danau kampung.
***
"Tiuplah," suruh wanita tua itu padanya, Wirnata mengambil napas, menyiapkan udara yang akan disemburkannya ke sebatang lilin tertancap di atas bolu berjamur.
"Sebentar," cegat Nek Wiranti seketika. Matanya membelalak.
"Kau bukan Nirmala."
Sesuai dengan instruksi Ustad Ramunu, Wirnata tersenyum tipis. "Nirmala bilang, ia telah memaafkan ibu."
"Sungguh?"