Mohon tunggu...
NURUL WULANDARI PUTRI
NURUL WULANDARI PUTRI Mohon Tunggu... -

Megister Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (UII)

Selanjutnya

Tutup

Money

Musyarakah dalam Praktik Perbankan

10 Desember 2017   13:06 Diperbarui: 10 Desember 2017   13:20 5780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Pendahuluan

Islam adalah suatu system hidup yang praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia, kapan dan di manapun tahap-tahap perkembangannya. Artinya, ajaran islam da[pat diterapkan pada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Selain itu islam adalah agama yang fitrah, yang sesuai dengan sifat dasar manusia. Aktivitas atau transaksi keuangan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk kepada ajaran Al-qur'an. Islam mempunyai hukum sendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, yaitu melalui akad-akad atau transaksi, sebagai metode pemenuhan kebutuhan permodalan dalam bisnis, dan transaksi=-transaksi untuk memenuhi tujuan hidup.

Transaksi-transaksi ini nantinya akan dapat diterapkan diantara individu muslim atau antara individu muslim dan lembaga keuangan yang berbasis syariah. Transaksi keuangan ini meliputi kerjasama (syirkah), jual beli (al bai'), sewa menyewa (ijarah), dan sebagainya.

Dalam fiqh muamalah terdapat akad kerjasama yang berbeda-beda. Di dalam pembahasan makalah ini akan dibahas tentang musyarokah yang meliputi teori dan aplikasinya dalam perbankan syariah. Musyarokah hampir sama dengan mudharabah, namun musyarokah memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu yang tidak ditemukan dalam akad mudharabah. Spesifikasi tersebut terkait dengan porsi modal, model pembagian keuntungan/kerugian, keterlibatan para pihak dalam pengelolaan dan lain-lain.

Namun dalam praktiknya dilapangan, musyarokah mengalami pergesera, yang pertama yaitu tentang adanya bagi hasil yang dihitung didepan, yang kedua dalam proses pembiayaan, yaitu misalnya ketika ada yang mengajukan pembiayaan untuk pengadaan barang, bank member modal kepada nasabah untuk membeli barang tersebut, bukankah seharusnya bank tersebut yang membeli barang tersebut kemudian melakukan akad kerja sama dengan nasabah.

B. Pengertian Musyarokah

Musyarokah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dan risiko akan ditanggung sesuai porsi kerja sama.[1] Ulama madzhab Maliki mengartikan musyarokah sebagai suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerja sama terhadap mereka. Madzhab Syafi'I dan Hambali mengartikannya sebagai hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan ulama madzhab Hanafi mengartikannya musyarokah adalah suatu akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerja sama dalam modal dan keuntungan.[2] 

C. Dasar Hukum Akad Musyarokah 

Sebagaimana dalam akad mudharabah, dasar secara tehnis operasional, al-qur'an tidak menjelaskan akad musyarokah. Maka, ayat-ayat al-qur'an yang dijadikan landasan bagi akad musyarokah adalah keumuman ayat. Ulama ahli hukum Islam mendasarkan kebolehan akad musyarokah pada beberapa ayat al-qur'an, diantaranya:

 "Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)" 

Ayat di atas sebenarnya berbicara tentang pembagian warisan. Pada harta yang ditinggal oleh seorang mayit, maka harta tersebut telah menjadi milik bersama jika jumlah ahli waris banyak. Ia sama sekali tidak membicarakan tehnis transaksi akad musyarokah. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa sejumlah harta dapat dimiliki secara bersekutu atas sebab-sebab tertentu. Pada penggambarannya kepemilikan bersama inilah yang menjadi titik temu antara ayat tersebut dengan konsep akad musyarokah.

D. Macam-macam Musyarokah

Secara garis besar musyarokah dikategorikan menjadi dua jenis, yakni musyarokah kepemilikan (syirkah al amlak) dan musyarokah akad (syirkah al 'aqd). Musyarokah kepemilikan tercipta karena adanya warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarokah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nyata, dan berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.[3]

 Musyarokah akad terjadi dengan cara kesepakatan, dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan kontribusi modal musyarokah, merekapun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarokah akad terbagi menjadi: syirkah al 'Inan, al mufawadhoh. Al a'maal, dan syirkah al wujuh.[4] 

E. Aplikasi Musyarokah dalam Perbankan Syariah 

Akad musyarokah dalam perbankan syariah dapat dipraktikan dalam bentuk antara lain:

Pembiayaan, dalam bentuk musyarokah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek tertentu. Bank dan nasabah sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai dilakukan, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. Bagi hasil harus dibagi setelah proyek dikerjakan.

Dalam perkembangannya akad musyarokah bias dipraktikkan dengan pola perkongsia mengecil atau dikenal dengan nama musyarokah mutanaqishah. Dalam perbankan, akad ini menentukan secara berangsur-angsur kepemilikan bank pada nasabah mengecil dan akhirnya asset sepenuhnya milik nasabah.

Modal ventura, pada lembaga khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarokah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.

Namun dalam realita saat ini, banyak perbankan yang menghitung bagi hasil di depan. Praktek ini telah banyak dilakukan oleh lembaga perbankan syariah maupunnon bank seperti BMT. Pihak bank sebagai pemberi modal yang akan digabung dengan nasabah, menghitung bagi hasil dengann asumsi hasil yang akan diberikan oleh nasabah dalam setiap bulannya. Atas kesepakatan kedua belah pihak, nasabah kemudian memberikan bagi hasil per bulan. Praktek seperti ini tentunya merupakan praktek yang belum pernah ada presedennya pada masa lalu, satu hal yang harus diperhatikan dari praktik ini adalah bank dengan persetujuan kedua belah pihak, harus menghitung ulang hasil yang diperoleh oleh nasabah, jika nasabah mendapatkan hasil yang lebih kecil dari yang diasumsikan, seharusnya bank siap mengembalikan dana yang diberikan nasabah setiap bulannya. Demikian juga, jika hasil yang didapatka nasabah lebih besar dari yang diasumsikan, nasabah seharuysnya siap memberikan tambahan kepada bank.

Hal ini terjadi karena bank tidak ada waktu dan tenaga untuk mengontrol usaha dari nasabah tersebut. Pembagian hasil diawal harus memenuhi prasyarat yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan akad musyarakah, jika prasayat tidak dipenuhi, maka teori-teori yang ada dalam akad musyarakah tidak dapat diterapkan secara baik.prasyarat tersebut antara lain:

Akad musyarakah harus didasari oleh kejujuran, pihak-pihak yang berakad dituntut untuk selalu berpegang teguh pada informasi yang jujur dan apa adanya. Ketidakjujuran menyebabkan tercederainya akad yang telah disepakati. Maka kejujuran merupakan elemen penting dalam akad ini.

Masing-masing pihak yang berserikat harus bersikap transparan. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan modal bersama harus didukung oleh keterbukaan dan fairness. Tidak ada lagi rahasia, khususnya dalam hal keuangan, bagi salah satu pihak. Prasyarat ini dapat diwujudkan dengan keharusan dibuatnya laporan keuangan berkala. Berdasarkan laporan keuangan ini keduanya dapat menentukan bagi hasil secara proporsional sesuai dengan kesepakatan.

Managerial yang rapi bahwa akad musyarakah adalah akad kerja sama dengan saling menjaga amanah pihak-pihak yang terlibat. Untuk itu, agar amanah tersebut tetap terjaga dengan baik diperlukan managerial yang rapi. Ketidak rapian managerial akan mengurangi tingkat akurasi data, sehingga berakibat pada berkurangnya tingkat kepercayaan antar pihak.

Dengan demikian akad musyarakah tidak dapat dijalanka tanpa prasyarat pendukung. Justru adanya prasyarat pendukung inilah yang akan menjamin terlaksananya akad musyarakah. Maka, dapat dipahami, jika lembaga perbankan syariah ketat menerapkan prasyarat dalam akad ini

 

[1] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, (Jakarta: Erlangga), 2012, hal. 106

[2] M. Yazid Afandi, Fiqh Muamalah,(Yogyakarta:Logung Pustaka), hal. 119-120

[3] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2015, hal. 211

[4] Ibid, hal. 211-213

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun