Mohon tunggu...
Mas Nuz
Mas Nuz Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis biasa.

hamba Alloh yang berusaha hidup untuk mendapatkan ridhoNya. . T: @nuzululpunya | IG: @nuzulularifin

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Fiksi Ramadan | Fitri yang Kau Rindukan

23 Mei 2019   22:45 Diperbarui: 23 Mei 2019   23:28 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ah, isteriku. Kamu begitu baik. Pantas ibu begitu menyayangimu. Terkadang aku kena damprat jika perang dingin denganmu." Lalu kuraih tubuh mungil itu.

"Nggak apa-apa, Mi. Abi saja akhir-akhir ini kurang perhatian kepada ibu. Abi pikir semua baik-baik saja. Abi coba bujuk untuk masuk ya?"

----------

Sudah dua minggu ibu tergolek lemah di pembaringan. Kata dokter Aziz, sebaiknya ibu bedrest di rumah sakit saja. Tapi beliau bersikeras menolak. Aku tahu, mungkin beliau tak mau merepotkanku. Juga isteriku. 

Beberapa kali aku coba hubungi kakak-kakakku. Tapi sepertinya mereka repot semua. Aku tak tahu. Apa yang membuat repot. Sehingga belum sempat jenguk ibu.

Justeru ibu Ihah, bibi dan paman, serta adik-adik iparku yang datang. Bahkan sempat memarahi kami. Kenapa ibu tidak di bawa ke rumah sakit. Kemudian kami pun menjelaskan semua. Empat kali masuk rumah sakit. Mungkin itu membuat beliau trauma.

Ini stroke ke-empat. Kata dokter Aziz, kami harus siap dengan segala kemungkinan. Amat jarang penderita stroke kambuh sampai tiga kali. Demikian pesan beliau.

Memang yang kami rasakan demikian. Biasanya ibu tak mau didampingi saat sakit. Kini beliau begitu manja. Setiap mendengar suaraku. Beliau pasti langsung memanggil. Meski tak cukup jelas. Namun kami cukup hapal dengan panggilan itu. Panggilan yang disertai helaan nafas dalam.

"Ibu jangan dibawa ke rumah sakit ya! Ibu nggak mau rumah sakit". Berulang kali kalimat itu terucap. Kepadaku atau isteriku. Kami biasanya hanya mampu mengangguk. Sambil menahan pedih di hati.

"Ibu gak mau mati sendiri. Gak ada yang menemani. Gak ada yang menalqin. Kamu yang harus nalqin ibu ya?" Kalimat putus-putus. Terbata-bata mengucapkannya. Sebab sebagian badan ibu yang sebelah kanan 'sudah mati'.

Biasanya juga. Segera aku beranjak ke musala rumah. Bersembunyi dari tatapan nanar beliau. Menumpahkan segala beban di dada. Sebab hanya kepadaNya aku mampu mengeluh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun