"Ah, isteriku. Kamu begitu baik. Pantas ibu begitu menyayangimu. Terkadang aku kena damprat jika perang dingin denganmu." Lalu kuraih tubuh mungil itu.
"Nggak apa-apa, Mi. Abi saja akhir-akhir ini kurang perhatian kepada ibu. Abi pikir semua baik-baik saja. Abi coba bujuk untuk masuk ya?"
----------
Sudah dua minggu ibu tergolek lemah di pembaringan. Kata dokter Aziz, sebaiknya ibu bedrest di rumah sakit saja. Tapi beliau bersikeras menolak. Aku tahu, mungkin beliau tak mau merepotkanku. Juga isteriku.Â
Beberapa kali aku coba hubungi kakak-kakakku. Tapi sepertinya mereka repot semua. Aku tak tahu. Apa yang membuat repot. Sehingga belum sempat jenguk ibu.
Justeru ibu Ihah, bibi dan paman, serta adik-adik iparku yang datang. Bahkan sempat memarahi kami. Kenapa ibu tidak di bawa ke rumah sakit. Kemudian kami pun menjelaskan semua. Empat kali masuk rumah sakit. Mungkin itu membuat beliau trauma.
Ini stroke ke-empat. Kata dokter Aziz, kami harus siap dengan segala kemungkinan. Amat jarang penderita stroke kambuh sampai tiga kali. Demikian pesan beliau.
Memang yang kami rasakan demikian. Biasanya ibu tak mau didampingi saat sakit. Kini beliau begitu manja. Setiap mendengar suaraku. Beliau pasti langsung memanggil. Meski tak cukup jelas. Namun kami cukup hapal dengan panggilan itu. Panggilan yang disertai helaan nafas dalam.
"Ibu jangan dibawa ke rumah sakit ya! Ibu nggak mau rumah sakit". Berulang kali kalimat itu terucap. Kepadaku atau isteriku. Kami biasanya hanya mampu mengangguk. Sambil menahan pedih di hati.
"Ibu gak mau mati sendiri. Gak ada yang menemani. Gak ada yang menalqin. Kamu yang harus nalqin ibu ya?" Kalimat putus-putus. Terbata-bata mengucapkannya. Sebab sebagian badan ibu yang sebelah kanan 'sudah mati'.
Biasanya juga. Segera aku beranjak ke musala rumah. Bersembunyi dari tatapan nanar beliau. Menumpahkan segala beban di dada. Sebab hanya kepadaNya aku mampu mengeluh.