Idul Fitri kurang sehari. Tak juga kakak-kakak atau keponakan menjenguk ibu. Terbuat dari apa hati mereka? Sangkaku masih saja tak percaya.
Hingga dua hari lebaran berlalu. Kondisi ibu semakin drop. Meskipun sempat bersemangat minta duduk. Wajahnya berseri-seri. Tak menampakkan rasa sakitnya di pagi  Idul Fitri. Bahkan meminta aku, isteriku, dan anak-anak untuk pergi shalat 'id.
Pun saat para tetangga berdatangan. Untuk menjenguk sekaligus bermaaf-maafan. Beliau begitu bersemangat. Meski terkadang kami batasi. Nafas ibu pasti tersengal-sengal saat 'banyak' bicara. Hingga benar-benar kami tidak perkenankan. Ibu menerima para tamu.
Fitri yang kami nantikan. Kesucian yang kami harapkan. Mampu  meleburkan perasaan apatah. Diantara kami tujuh bersaudara. Ternyata belum mampu menembus batas-batas ego kami.
Hingga malam itu pun tiba. Sepulang shalat Isya' berjamaah di masjid. Isteriku menyambutku dengan terisak.
"Aku takut, Bi. Ibu terdiam sejak minta minum tadi. Ada apa dengan ibu, Bi?" Lalu aku pun segera menuju kamar ibu. Sambil berpesan agar tak seorangpun memasuki kamar.
Aku ucapkan salam. Nampak nafas ibu tersengal. Dari sudut kelopak mata. Bulir-bulir bening terjatuh. Mulut mengatup. Sementara cuping hidung pelahan-lahan menutup.
Segera aku bisikkan di telinga kanan beliau lafaz-lafaz talqin: Laa ilaa ha illallah. Sambil sesekali wajahku tak mampu aku tahan untuk menciuminya.
Hingga nafas panjang. Panjang sekali terembus. Dan benar-benar aku pastikan ibu telah meninggalkan kami semua. Memastikan bahwa aku telah menalqinnya. Sesuai keinginan beliau.
Maafkan aku ibu. Aku belum sempat membahagiakanmu.
----------