Maka, bukankah dengan menjadikan manusia terbebas dari hal-hal yang membelenggunya itu juga termasuk sebagai sikap yang mencita-citakan utopia yang mana ini juga terkandung di dalamnya suatu pretensi yang mendewakan kemuliaan pula dan mempersetankan keburukan? Jikalau begitu, bukankah orang-orang Manifes Kebudayaan secara tidak langsung juga telah menelan ludah mereka sendiri?
Dari penjabaran saya di atas, saya sampai pada kesimpulan saya, bahwa mengapa kehidupan di atas bumi ini sampai sekarang masih berlangsung adalah karena adanya kebaikan dan keburukan. Jika salah satu saja dihilangkan akan menghasilkan kekacauan.Â
Begitupula apabila yang satu berlebih akan menimbulkan konflik. Ibarat makan sayur terlalu banyak akan menimbulkan penyakit, sama halnya terlalu banyak makan lemak. Lantas jikalau demikian, ke mana sastra harus berpijak? Kepada kebaikan atau keburukan?
Sebelum itu, saya harus mempersoalkan tujuan dari kepenulisan seorang penulis. Apabila ia mendahulukan tujuannya dalam menulis, maka dapat dipastikan ia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya di dalam sastra. Maka dari situ, sastra awal-awal harus selalu menjunjung pada cara, dan tujuan dijadikan nomor dua.Â
Dengan demikian, saya menginjakkan kaki pada sastra yang mendahulukan cara daripada segalanya. Apabila tujuannya menulis adalah mencapai kesenangan batin, dia mestinya sedikit mengenyampingkan hal itu demi cara yang baik.
Lantas, seperti apa cara yang baik? Saya mengibaratkan karya sastra sebagai sistem pencernaan manusia. Baik dan buruk yang bersifat relatif itu harus seimbang porsinya. Manusia butuh vitamin dan protein, begitupula manusia butuh lemak, apabilah salah satu di antaranya berlebih akan menimbulkan penyakit berbahaya bagi tubuh. Seperti apa vitamin dan lemak ini di dalam karya sastra? Yaitu: Imajinasi (ekspresi diri) dan kenyataan (kebenaran), dan yang mana vitamin dan yang mana lemak itu kembali pada selera masing-masing.Â
Apabila ia menganggap pengekspresian diri itu lebih penting, maka itulah vitamin, dan kebenaran adalah lemak baginya. Begitupula bagi ia yang menganggap kebenaran itu yang lebih baik, maka itulah vitamin dan imajinasi itu adalah lemak. Pada intinya, keduanya tidak dapat terlepaskan, begitupun tidak dapat dilebihkan, dan harus seimbang porsinya.
Apabila karya itu bersifat imajinatif, maka ia jangan terlampau ekspresif dengan menggebu-gebu, karena akan menghasilkan suatu kebohongan yang mengaburkan kenyataan, oleh sebab itu karyanya menjadi ignoran. Begitupula yang berselera pada kebenaran, maka ia jangan terlalu menggebu-gebu, harus diseimbangi juga dengan ekspresifnya sebagai manusia supaya karyanya tidak menjadi suatu kefanatisan yang arogan.
Silakan menulis cerita tentang anak magang dan bos yang saling jatuh cinta, tapi jangan meninggalkan realitas di mana sang pengarang (untuk memuaskan hasrat imajinasinya) menjadikan anak magangnya sebagai tokoh yang terlampau pemalu dan tokoh bos yang terlalu sempurna untuk jadi manusia dengan memiliki uang banyak, tampan, sangat keren, elegan, sangat baik, dan segala tetek bengek kemuliaannya yang lain.Â
Karya-karya yang seperti itu bagi saya adalah karya yang menghina manusia, karena manusia sejatinya adalah makhluk yang menyadari dirinya tidak sempurna, dan selalu memiliki kekurangan. Ketika karya yang terlampau imajinatif seperti itu telah tercipta, seharusnya pengarang merasa malu karena dalam ignorannya itu telah menyindir manusia, dan juga pembaca harusnya merasa kesal karena telah dibodohi dengan telah membaca karya eskapis semacam itu.
Begitupula dengan karya sastra yang terlalu memuat kebenaran atau kenyataan, maka karya sastra itu akan menjadi suatu karya dari seorang pengarang yang arogan. Dia juga menghina manusia melalui karyanya, di mana kebenaran yang ditulisnya itu termuat semacam sindiran kepada orang-orang yang tidak sepaham dengan kebenarannya.