Melihat perkembangannya, polemik yang ada di dalam kebudayaan Indonesia tampaknya tidak pernah usai. Berpuluh tahun lalu pernah terjadi pergulatan ideologi antara Lekra dan Manifes Kebudayaan.Â
Selepas Indonesia merdeka, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) muncul sebagai organisasi yang mengajak para seniman dan pekerja kebudayaan untuk terjun langsung ke lapangan dalam upayanya mengedepankan kebudayaan atas dasar cita-cita yang berkerakyatan. Namun, dikarenakan adanya seniman-seniman yang tidak sepakat dengan ideologi tersebut, Manifes Kebudayaan muncul sebagai tandingan.Â
Dalam surat semacam "manifesto", mereka menyebutkan bahwa seniman atau para pekerja kebudayaan (budayawan) harus independen dan terbebas dari tujuan politis.
Singkatnya, barang seni atau budaya yang diakui oleh Lekra adalah seni yang "setia pada kebenaran" dan tidak memiliki batasan-batasan kreativitas (bentuk dan gaya). Karena bagi Lekra, "berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada kebenaran adalah satu-satunya jalan bagi seniman-seniman, sarjana-sarjana, maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya". Lekra menjunjung tinggi sikap politik di dalam karya seni.
Sedangkan menurut Manifes Kebudayaan, sikap Lekra dianggap sebagai bentuk fetisy dalam berkarya atau berbudaya, di mana fetisy ini dimaksud sebagai sesuatu yang mempunyai pretensi kesenian revolusioner dan dianggap sebagai sikap pendewaan atas sesuatu.Â
Oleh sebab itu, Manifes Kebudayaan menyebut kesenian fetisy itu sebagai "kesenian dengan pengabdian palsu". Seniman-seniman Manifes Kebudayaan "tidak mendewakan revolusi, karena kami tidak mempunyai pengabdian palsu, sebaliknya kami pun tidak mempersetankan revolusi, karena kami tidak pula mempunyai pengabdian palsu."
Dalam perjuangannya mengedepankan humanisme universal, mereka tidak mempunyai pretensi apa-apa, dengan kata lain bersikap apolitis dalam berseni. Ringkasnya, paham Manifes Kebudayaan adalah paham yang tidak mengorbankan politik bagi estetik, dan sebaliknya, tidak pula mengorbankan estetik untuk politik.
Adanya sejarah dari keduanya adalah sesuatu yang menandakan bahwa kita adalah bangsa yang masih menganggap seni dan budaya sebagai sesuatu yang penting. Terlebih, sebagai negara yang terdiri atas berbagai macam budaya yang terus harus diwariskan turun-temurun, bangsa ini tidak boleh luput dalam memperjuangkan kebudayaan. Namun, saya akan tegaskan menurut pendapat saya, bahwa antara Lekra dan Manifes Kebudayaan, tidak ada di antara dua itu yang lebih buruk atau lebih baik.
Ideologi Lekra di satu sisi baik karena mereka hendak mengedepankan barang-barang seni yang berkedudukan atas kepentingan rakyat, namun di satu sisi, saya menemukan suatu sikap fanatisme sehingga menjadikan ideologi Lekra yang realisme sosialis, sebagai sesuatu yang kasar dan keras dalam memanusiakan manusia, sehingga tidak manusiawi jadinya. Â
Di satu sisi, Manisfes Kebudayaan yang mengedepankan humanisme universal yang mengutamakan kebebasan berekspresi atas dasar manusia melawan unsur-unsur yang membelenggu manusia itu sendiri, sehingga memberikan kesan menggugah dalam balutan manusiawinya. Namun di lain sisi, ia juga bersifat meromantisasi kepedihan yang membelenggu manusia, sehingga membuka potensi masyarakat untuk mendayu-dayu dalam kemalangannya.
Tujuan dari ideologi Manifes Kebudayaan adalah "membebaskan manusia dari rantai-rantai yang membelenggunya" yang terkesan utopis, namun di bagian lain, mereka menolak setiap bentuk utopia karena menyadari bahwa "dunia ini bukan surga", yang apabila "politik telah jadi sempurna, maka tidak perlu lagi kesuasteraan dan kesenian, tidak perlu lagi estetika".
Maka, bukankah dengan menjadikan manusia terbebas dari hal-hal yang membelenggunya itu juga termasuk sebagai sikap yang mencita-citakan utopia yang mana ini juga terkandung di dalamnya suatu pretensi yang mendewakan kemuliaan pula dan mempersetankan keburukan? Jikalau begitu, bukankah orang-orang Manifes Kebudayaan secara tidak langsung juga telah menelan ludah mereka sendiri?
Dari penjabaran saya di atas, saya sampai pada kesimpulan saya, bahwa mengapa kehidupan di atas bumi ini sampai sekarang masih berlangsung adalah karena adanya kebaikan dan keburukan. Jika salah satu saja dihilangkan akan menghasilkan kekacauan.Â
Begitupula apabila yang satu berlebih akan menimbulkan konflik. Ibarat makan sayur terlalu banyak akan menimbulkan penyakit, sama halnya terlalu banyak makan lemak. Lantas jikalau demikian, ke mana sastra harus berpijak? Kepada kebaikan atau keburukan?
Sebelum itu, saya harus mempersoalkan tujuan dari kepenulisan seorang penulis. Apabila ia mendahulukan tujuannya dalam menulis, maka dapat dipastikan ia akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya di dalam sastra. Maka dari situ, sastra awal-awal harus selalu menjunjung pada cara, dan tujuan dijadikan nomor dua.Â
Dengan demikian, saya menginjakkan kaki pada sastra yang mendahulukan cara daripada segalanya. Apabila tujuannya menulis adalah mencapai kesenangan batin, dia mestinya sedikit mengenyampingkan hal itu demi cara yang baik.
Lantas, seperti apa cara yang baik? Saya mengibaratkan karya sastra sebagai sistem pencernaan manusia. Baik dan buruk yang bersifat relatif itu harus seimbang porsinya. Manusia butuh vitamin dan protein, begitupula manusia butuh lemak, apabilah salah satu di antaranya berlebih akan menimbulkan penyakit berbahaya bagi tubuh. Seperti apa vitamin dan lemak ini di dalam karya sastra? Yaitu: Imajinasi (ekspresi diri) dan kenyataan (kebenaran), dan yang mana vitamin dan yang mana lemak itu kembali pada selera masing-masing.Â
Apabila ia menganggap pengekspresian diri itu lebih penting, maka itulah vitamin, dan kebenaran adalah lemak baginya. Begitupula bagi ia yang menganggap kebenaran itu yang lebih baik, maka itulah vitamin dan imajinasi itu adalah lemak. Pada intinya, keduanya tidak dapat terlepaskan, begitupun tidak dapat dilebihkan, dan harus seimbang porsinya.
Apabila karya itu bersifat imajinatif, maka ia jangan terlampau ekspresif dengan menggebu-gebu, karena akan menghasilkan suatu kebohongan yang mengaburkan kenyataan, oleh sebab itu karyanya menjadi ignoran. Begitupula yang berselera pada kebenaran, maka ia jangan terlalu menggebu-gebu, harus diseimbangi juga dengan ekspresifnya sebagai manusia supaya karyanya tidak menjadi suatu kefanatisan yang arogan.
Silakan menulis cerita tentang anak magang dan bos yang saling jatuh cinta, tapi jangan meninggalkan realitas di mana sang pengarang (untuk memuaskan hasrat imajinasinya) menjadikan anak magangnya sebagai tokoh yang terlampau pemalu dan tokoh bos yang terlalu sempurna untuk jadi manusia dengan memiliki uang banyak, tampan, sangat keren, elegan, sangat baik, dan segala tetek bengek kemuliaannya yang lain.Â
Karya-karya yang seperti itu bagi saya adalah karya yang menghina manusia, karena manusia sejatinya adalah makhluk yang menyadari dirinya tidak sempurna, dan selalu memiliki kekurangan. Ketika karya yang terlampau imajinatif seperti itu telah tercipta, seharusnya pengarang merasa malu karena dalam ignorannya itu telah menyindir manusia, dan juga pembaca harusnya merasa kesal karena telah dibodohi dengan telah membaca karya eskapis semacam itu.
Begitupula dengan karya sastra yang terlalu memuat kebenaran atau kenyataan, maka karya sastra itu akan menjadi suatu karya dari seorang pengarang yang arogan. Dia juga menghina manusia melalui karyanya, di mana kebenaran yang ditulisnya itu termuat semacam sindiran kepada orang-orang yang tidak sepaham dengan kebenarannya.
Saya akan mengambil contoh novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Tidakkah Dian Purnomo, selaku pengarang, menyadari bahwa karyanya itu telah tersimpan suatu kemarahan sehingga ia lebih mendahulukan emosionalnya ketimbang logikanya dalam menanggapi budaya kawin tangkap yang ada di Sumba?
Melalui tokoh Magi, Dian Purnomo mencoba untuk menunjukkan kerugian perempuan yang diculik untuk nikah paksa kepada seorang tokoh bernama Leba Ali. Namun sayangnya, dalam balutan emosionalnya, Dian menghadirkan tokoh Leba Ali sebagai orang jahat, bengis, kasar, sehingga membuat Magi begitu kesal terhadap budaya itu. Perempuan mana yang ingin menikah dengan orang jahat? Tentulah semua perempuan, baik itu dipaksakan atau tidak, sudah pasti seseorang tidak mau kawin dengan orang jahat.
Sehingga melalui novelnya itu, Dian Purnomo seolah hendak mengaburkan adat kawin culik ini, dan menjadikan buku itu sebagai Magi yang melawan Leba Ali, dan bukan Magi yang melawan keterkungkungannya sebagai perempuan, yang dalam hal ini adalah adat kawin culik di Sumba. Â
Saya yakin, novel Dian Purnomo yang satu itu akan lebih baik dan lebih mendalam apabila Leba Ali digambarkan sebagai tokoh yang baik, namun Magi tetap tidak menyukainya atas dasar tidak cinta, namun orang tua Magi masih memaksa Magi untuk mengawini Leba Ali. Bukankah jikalau ceritanya jadi demikian, maka akan terlihat perjuangan Magi sebagai perempuan dalam membebaskan dirinya dari rantai-rantai yang membelenggunya atas dasar adat? Sehingga novelnya jadi lebih mendalam dalam menggali perjuangan perempuan.
Hanya di saat itulah Dian Purnomo dapat berfokus dalam menyatakan kebenarannya bahwa pada adat kawin tangkap itu terdapat suatu polemik yang dianggap membatasi ruang gerak perempuan sebagai manusia dan bukan kelas kedua pada gender yang dapat dipakai sebagai alat transaksi. Namun saya mencoba memahami Dian Purnomo, bahwa novel PYMKBH itu ditulis dengan lebih mengedepankan publisitas, karena dalam pandangan pembaca, konflik yang semakin rumit akan semakin seru.
Demikianlah yang terjadi apabila suatu karya sastra terlalu berfokus pada kebenarannya sehingga menjadikan karyanya itu sebagai sesuatu yang fanatis, menggebu-gebu, sehingga ia lupa bahwa yang menguasai dirinya kala itu adalah emosionalnya, bukan akal sehatnya.
Pada intinya, karya sastra yang terlalu berlebihan baik dalam hal berekspresi ataupun dalam mengutarakan kebenaran, akan menjadikan karya sastra itu sebagai sesuatu yang konyol. Secara ilmiah mungkin saya tidak dapat mendefinisikan sastra seperti, tapi saya akan menjelaskan sastra dalam pengertian saya sendiri dalam bentuk sebuah adegan:
 Pada sebuah persimpangan lampu merah, seorang anak kecil meninggal ditabrak oleh truk yang dikendari seorang pemabuk. Lalu akibat dari keteledorannya itu, supir truk menyesal seumur hidup sampai ia merana sakit jiwa, dan akhirnya memutuskan untuk membunuh dirinya di dalam penjara. Bukan oleh keperihan hidup di dalam penjara, tetapi ia dihantui oleh rasa penyesalannya yang mabuk itu telah membunuh seorang anak kecil yang begitu polos, begitu suci.Â
Oleh sebab itu baginya, tidak ada hukum yang pantas dalam mengadilinya atau yang dapat memaafkannya, dan dia lebih senang apabila hukumannya itu adalah hukuman mati supaya ia dapat terbebas dari penyesalannya itu.
Bagi saya, sastra adalah itu (bukan bentuk tulisannya, tapi isinya), dia merangsang dengan menggelitik, tetapi juga menyengat dengan jarum tajamnya yang menimbulkan suatu kemarahan, sekaligus dia juga menyajikan suatu simpatik di baliknya.Â
Sastra bukanlah sebuah cerita yang menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna di dunia yang sempurna, justru menghadirkan tokoh yang tidak sempurna di dunia yang tidak sempurna. Namun di dalam ketidaksempurnaannya itu, si tokoh (melalui pengarang) mengejar kesempurnaan atau penyelesaian. Sederhananya, karya sastra itu menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaannya, karena itulah yang sangat mewakili manusia yang tidak sempurna ini.
Sastra sebagai penghubung antara emosi seseorang dengan dunia di dalam ataupun di luar dari dirinya sendiri, yang disajikan secara estetik (tanpa muslihat, tanpa manipulasi), sehingga dapat memantik pembaca untuk menyelami jiwa seseorang. Kalau tidak salah, Wellek dan Warren pernah mengatakan bahwa sastrawan itu dapat menandingi para psikolog, karena dia mampu menggali emosi manusia tanpa melewati proses pendidikan teknis.
Novel Crime and Punnishment contohnya, karya Dostoevsky yang sangat menggali kejiwaan manusia melalui tokohnya Raskolnikov. Atau kalau dalam kesusastraan Indonesia dapat kita lihat melalui cerita-cerita pendek dan novelnya Budi Darma.Â
Dengan ide yang sederhana, almarhum Budi Darma dapat menyajikan tabiat-tabiat manusia dari beragam rupa secara telanjang dalam balutan bahasa yang tidak diromantisasi. Lantas dengan cara itu, ia mampu menggairahkan imajinasi, menggugah, dan sekaligus menguji pikiran pembaca terhadap realitas di sekelilingnya.
Oleh sebab itu, sastra hadir untuk kebersamaan, ia adalah sekumpulan manusia-manusia yang berjuang dan mempersatukan umat manusia itu adalah kesenangannya.Â
Menurut saya, apa yang dikatakan oleh Albert Camus dalam pidato penyerahan hadiah nobelnya harus diilhami oleh seorang penulis, bahwa "Sang seniman menempa dirinya terhadap orang lain, di tengah-tengah antara keindahan yang tidak dapat ia tinggalkan dan komunitas yang tidak dapat ia tinggalkan. Itu sebabnya seniman sejati tidak mencela apa pun: mereka wajib memahami, bukan menghakimi."
Bagi Camus, ada dua yang menjadi keagungan dari karya sastra, yaitu mengabdi pada kebenaran dan mengabdi pada kebebasan. Tugasnya adalah menyatukan orang sebanyak mungkin, karena karya seni tidak sepantasnya berkompromi dengan kebohongan dan tidak menghamba pada sosok tuan, dengan kata lain, bertentangan atas perbudakan dan penindasan.
Jikalau melihat pandangan Albert Camus ini, bukankah ia mengambil posisi di tengah-tengah antara Lekra dan Manifes Kebudayaan? Di mana karya sastra harus menjunjung kebenaran sekaligus ia tidak mengungkung seseorang dalam suatu keterbatasan tertentu, dan menjunjung kebebasan setinggi-tingginya.
Referensi:
- Buku Lekra vs Manikebu karya Alexander Supartono yang diterbitkan STF Driyarkara di Jakarta tahun 2000.
- Krisis Kebebasan, buku kumpulan esai Albert Camus yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, tahun 2013.