Saya akan mengambil contoh novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Tidakkah Dian Purnomo, selaku pengarang, menyadari bahwa karyanya itu telah tersimpan suatu kemarahan sehingga ia lebih mendahulukan emosionalnya ketimbang logikanya dalam menanggapi budaya kawin tangkap yang ada di Sumba?
Melalui tokoh Magi, Dian Purnomo mencoba untuk menunjukkan kerugian perempuan yang diculik untuk nikah paksa kepada seorang tokoh bernama Leba Ali. Namun sayangnya, dalam balutan emosionalnya, Dian menghadirkan tokoh Leba Ali sebagai orang jahat, bengis, kasar, sehingga membuat Magi begitu kesal terhadap budaya itu. Perempuan mana yang ingin menikah dengan orang jahat? Tentulah semua perempuan, baik itu dipaksakan atau tidak, sudah pasti seseorang tidak mau kawin dengan orang jahat.
Sehingga melalui novelnya itu, Dian Purnomo seolah hendak mengaburkan adat kawin culik ini, dan menjadikan buku itu sebagai Magi yang melawan Leba Ali, dan bukan Magi yang melawan keterkungkungannya sebagai perempuan, yang dalam hal ini adalah adat kawin culik di Sumba. Â
Saya yakin, novel Dian Purnomo yang satu itu akan lebih baik dan lebih mendalam apabila Leba Ali digambarkan sebagai tokoh yang baik, namun Magi tetap tidak menyukainya atas dasar tidak cinta, namun orang tua Magi masih memaksa Magi untuk mengawini Leba Ali. Bukankah jikalau ceritanya jadi demikian, maka akan terlihat perjuangan Magi sebagai perempuan dalam membebaskan dirinya dari rantai-rantai yang membelenggunya atas dasar adat? Sehingga novelnya jadi lebih mendalam dalam menggali perjuangan perempuan.
Hanya di saat itulah Dian Purnomo dapat berfokus dalam menyatakan kebenarannya bahwa pada adat kawin tangkap itu terdapat suatu polemik yang dianggap membatasi ruang gerak perempuan sebagai manusia dan bukan kelas kedua pada gender yang dapat dipakai sebagai alat transaksi. Namun saya mencoba memahami Dian Purnomo, bahwa novel PYMKBH itu ditulis dengan lebih mengedepankan publisitas, karena dalam pandangan pembaca, konflik yang semakin rumit akan semakin seru.
Demikianlah yang terjadi apabila suatu karya sastra terlalu berfokus pada kebenarannya sehingga menjadikan karyanya itu sebagai sesuatu yang fanatis, menggebu-gebu, sehingga ia lupa bahwa yang menguasai dirinya kala itu adalah emosionalnya, bukan akal sehatnya.
Pada intinya, karya sastra yang terlalu berlebihan baik dalam hal berekspresi ataupun dalam mengutarakan kebenaran, akan menjadikan karya sastra itu sebagai sesuatu yang konyol. Secara ilmiah mungkin saya tidak dapat mendefinisikan sastra seperti, tapi saya akan menjelaskan sastra dalam pengertian saya sendiri dalam bentuk sebuah adegan:
 Pada sebuah persimpangan lampu merah, seorang anak kecil meninggal ditabrak oleh truk yang dikendari seorang pemabuk. Lalu akibat dari keteledorannya itu, supir truk menyesal seumur hidup sampai ia merana sakit jiwa, dan akhirnya memutuskan untuk membunuh dirinya di dalam penjara. Bukan oleh keperihan hidup di dalam penjara, tetapi ia dihantui oleh rasa penyesalannya yang mabuk itu telah membunuh seorang anak kecil yang begitu polos, begitu suci.Â
Oleh sebab itu baginya, tidak ada hukum yang pantas dalam mengadilinya atau yang dapat memaafkannya, dan dia lebih senang apabila hukumannya itu adalah hukuman mati supaya ia dapat terbebas dari penyesalannya itu.
Bagi saya, sastra adalah itu (bukan bentuk tulisannya, tapi isinya), dia merangsang dengan menggelitik, tetapi juga menyengat dengan jarum tajamnya yang menimbulkan suatu kemarahan, sekaligus dia juga menyajikan suatu simpatik di baliknya.Â
Sastra bukanlah sebuah cerita yang menghadirkan tokoh-tokoh yang sempurna di dunia yang sempurna, justru menghadirkan tokoh yang tidak sempurna di dunia yang tidak sempurna. Namun di dalam ketidaksempurnaannya itu, si tokoh (melalui pengarang) mengejar kesempurnaan atau penyelesaian. Sederhananya, karya sastra itu menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaannya, karena itulah yang sangat mewakili manusia yang tidak sempurna ini.