Malam yang semakin tenggelam dalam kegelapan dan alam kian mengutuk Utah, tak membuat mereka kehilangan bencinya kepada tua bangka keparat yang sudah membunuh, dan memperkosa seorang pria tak bersalah. Berangsur-angsur mereka menuju kudanya masing-masing dan mengejar Brown.
Sementara itu, Blondie, bandit yang beruntung juga tidak beruntung, kini merasa hina. Ia lebih mengharapkan sebuah kematian daripada aib yang melekat seumur hidupnya. Dan ia memilih mendatangkan kematiannya sendiri.
Sebenarnya dendam Brown Tua sudah tuntas, tapi ia belum puas, karena yang ia tahu Blondie belum mati. Tapi ia mengalah pada egonya malam itu, nyawanya sendiri kini sedang terancam. Sejatinya ia berhasil menghilang dalam kabut kegelapan kutukan yang menyambut pergantian bulan itu. Salju yang menebal cepat, membuat para pria yang mengejarnya memilih untuk menunda aksi mereka. Tapi sayangnya, stallion Brown perlahan kehilangan tenaga. Lantas kuda itu terjatuh ke tanah. Lelaki tua itu tak punya pilihan, selain melangkahkan kakinya satu persatu menuju kabin persembunyian keluarganya yang tak jauh lagi.
Darah yang semula mengucur seperti aliran sungai, kini telah membeku. Brown sedikit bersyukur. Tapi perlahan-lahan, ia mulai kehilangan harapannya untuk selamat. Bukan karena luka, bukan pula tulang yang patah, ia menatap kematiannya dengan membeku di tengah hutan pinus selama badai Utah yang tak tahu kapan akan berakhir itu. Selama harapan itu masih menyala bagai lilin yang hampir habis, terlebih Brown Tua masih mengharapkan Natal di tahun itu, membuat kaki tua bekas kejayaan masa mudanya terus terlangkah.
Terlangkah. Jatuh. Terlangkah. Jatuh. Terlangkah. Sampai di satu pohon, ia lagi-lagi terjatuh dengan sendi yang perlahan membiru. Dan dia bersandar pada pohon itu. Dia menyerah. Brown Tua mencium kaki badai dengan tersenyum. Lantas terharu dan mencium kalung Yesus tatkala melihat, seekor bayangan rusa putih, menghantarkannya menuju Tuhan di langit kelam.
***
Keesokan harinya pukul sepuluh, matahari bersinar terang dan menyengat, melelehkan butiran es di pohon-pohon pinus yang sudah berputihan salju. Anak gadis Brown Tua dan ibunya tengah mencari kayu-kayu basah untuk dikeringkan di dalam kabin dan berharap menemukan tupai atau kelinci untuk persediaan apabila badai salju kembali menerpa, syukur-syukur rusa untuk perbekalan menanti ayah mereka pulang.
Malangnya, mereka tak menemukan apa-apa, selain seonggok jasad membeku telah hancur berkeping-keping dimakan serigala.
"Oh Tuhan, malang sekali pria itu," kata Nona Brown, lalu meraih putrinya dalam pelukan. []
Padang, 1 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H