Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Dendam Berdarah Menyambut Desember

20 Desember 2021   19:47 Diperbarui: 20 Desember 2021   20:17 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jonathan Brown tertatih-tatih di jalan tak bertapak pada sebuah hutan pinus di tengah malam. Badai salju pertama itu menghantam seluruh penjuru Utah tanpa ampun. 

Gubernur di Salt Lake, sedang terlelap nyenyak bersama istrinya, sedangkan Brown Tua melangkah untuk hidup di antara salju-salju ganas menuju kabin yang sekarang menjadi tempat sembunyi istri dan putrinya.

Ia sudah melangkahkan kaki tuanya cukup lama. Meninggalkan sebuah kota kecil yang menggila jauh di belakangnya. Ia berpikir, tak pernah ada kata terlambat untuk sebuah makan malam. 

Di perutnya yang kelaparan, tersembunyi segumpal darah segar yang mengeras. Ia percaya, dirinya takkan mati meskipun luka tusuk itu terasa amat dalam merobek kulitnya. 

Untuk pertama kali dalam hidupnya selepas pensiun, Brown Tua menghadapi segala halnya tanpa pengaruh alkohol. Sayangnya malam itu, ia akan menyambut kematiannya sendiri dengan penuh kesadaran atas tubuh dan pikirannya.

Beberapa jam sebelumnya, Brown Tua masih memiliki kuda. Dan kehormatannya sebagai mantan anggota Wild Bunch masih terpampang di dahinya. Namun semuanya lenyap sekaligus selepas ia menunggangi stallion-nya cepat dengan melewatkan makan malam bersama keluarga kecilnya, menuju saloon yang biasa ia kunjungi. Setelah mengetahui, anaknya yang masih remaja telah dirudapaksa oleh sekumpulan pria. Dan sekarang, hidup dan mati pria-pria itu ada di tangannya.

Sejatinya Brown Tua seorang pemabuk ulung sedari dulu, bertambah parah selepas hidupnya dihantui Wild Bunch yang tak terima ia kabur begitu saja dengan sekarung uang hasil perampokan kereta api terakhir mereka. Sekarang, nama Butch Cassidy hanya tinggal legenda bagi Utah. Tetapi Brown Tua selalu bisa mengendalikan omongannya, ia tak pernah mengoar-ngoar kejayaannya bersama orang itu. 

Lagian semua juga sudah orang tahu, ia pernah menjadi anak buahnya. Ada luka tapal kuda di lengannya, dan itu membuat orang-orang merasa gentar. Tapi malam itu, kedatangannya ke saloon bukan untuk menenggak beberapa gelas tequila, tapi memburu.

Sebenarnya ia tak peduli pada para penjahat yang berkeliaran di sekitarnya. Bagaimana pun juga ia masih dianggap penjahat, perbuatannya sampai sekarang belum dibayar. 

Namun, sherrif kota kecil itu tak ingin menangkap Brown Tua, karena ia banyak membantu seisi kota dengan uangnya. 

Brown memanglah tua, tapi tidak pikun. Ia tahu para bandit itu ada di sana. Beberapa wajah di satu foto sepia yang ditunjukkan oleh putrinya, sering kedapatan berkeliaran di kota kecil itu memburu para pelacur di saloon Edward.

Ia mengikat kuda hitamnya di depan bangunan kayu yang sudah berdiri sejak cukup lama. Dua lelaki mabuk dengan wajah penuh bulu dan bercak hitam batubara melumuri tangan dan wajahnya, menyapa hangat Brown Tua. Si buncit keriput dan bau babi itu mengangkat botol minumnya. Brown Tua hanya mengutuk mereka dalam hati.

Ia membuka pintu saloon dengan cukup elegan, mengusap ujung topi cowboy yang tak berdebu dan menyapa Edward yang sedang mengelap meja bar. Saloon sekaligus rumah bordil itu menyambutnya dengan tatapan menyedihkan. Brown Tua berdiri gagah. 

Dengan sepatu boot kulit ia melangkah sambil memandangi satu persatu orang di sana. Orang yang ditatap Brown Tua tak berani membalas lama-lama. Brown Tua yang tak melihat wajah yang dicarinya, lantas memilih untuk duduk di sebuah meja bundar. Permainan kartu sedang berlangsung di meja itu. 

Mejanya panas. Pria-pria menyembunyikan ekspresi mereka. Kecuali si yang mengenakan topi putih. Sedari tadi mengeluh, yang selalu diakhiri dengan sebuah cengengesan polos kepada orang-orang berwajah susah yang melingkari meja itu.

Si penambang tua di meja itu berkata selepas angin kencang menerpa wajahnya, "sepertinya angin terkutuk ini akan membawa salju dari kutub utara."

"Tutup mulutmu, bodoh! Salju kutub utara tak sekejam salju di Utah. Terlebih di bulan Desember." sanggah pria brewok yang mulai kepanasan karena terlalu banyak minum. "Kecuali seseorang mati malam ini," dia menatap tajam si penambang. Penambang malang itu menelan ludahnya dalam-dalam.

Brown Tua menunggu permainan usai sebelum bisa ikut main. Ia menyaksikannya sembari menyesap air lemon yang baru datang. Ia tak peduli saat meja sedikit terjungkat karena orang-orang yang percaya kartunya lebih besar, kalah oleh si topi putih yang sedari tadi menggertak dengan keluhan. 

Faktanya, royal flush di tangannya, dan itu mengejutkan para pria di sana. Dengan sangat gembira, ia memeluk chip-chip yang terkumpul ke arahnya dengan wajah menyebalkan.

"Maaf, tapi mau bagaimana lagi?" ujarnya dengan kegembiraan yang tak bisa ditahan.

Kemudian, pria gemuk brewok yang merasa paling jantan, tak senang, lantas menyeberangi meja dengan merangkak di atasnya dan melompat ke tubuh si topi putih. Sayang sekali, si topi putih itu hanya remaja dengan tubuh kurus. Ia tak berdaya. Tulang-belulangnya terasa remuk di kepala Brown Tua.

Meja itu kini berantakan, kartu dan chip bertebaran di lantai. Orang-orang menatap heran kepada meja itu. Tapi tak ada reaksi. Hingga salah seorang yang sedari tadi diam dengan tenang memainkan kartu, tiba-tiba menyeringai lantas bersorak: "Berantam!"

Saloon menjadi heboh. Orang-orang yang semula tenang ngobrol-ngobrol sambil minum, kini memukul orang-orang tak bersalah. Nyatanya semua orang saling memukul. Gelas-gelas berlemparan, suara pecahan beling tersebar di penjuru tempat. Uniknya, tak satupun yang mengeluarkan revolver. Mereka lebih memilih bersenang-senang ketimbang menyelesaikannya dengan kontak senjata yang tak ada seru-serunya.

Para pemain musik yang semula tak bergairah, kini kian mengencangkan permainannya. Edward bersembunyi di bawah meja. Ia punya Winchester yang terisi peluru. Tapi apa daya, bila ia menembak satu orang, semua orang menembaknya. Jadi ia hanya diam di sana dan memejamkan mata. 

Di antara ingar-bingar itu, ada satu orang yang tak menyentuh dan tak tersentuh oleh siapa pun. Brown Tua masih tenang, duduk dengan mata penuh dendam, menantikan pintu-pintu kamar di lantai dua terbuka. Tapi sepertinya, orang-orang di dalamnya sedang asyik bercinta, sehingga keributan di bawah tak mengganggu mereka.

Lantas Brown Tua yang tak sabaran, berjalan menaiki tangga. Ia melempar satu orang yang hendak meninjunya ke bawah, dan orang itu menimpa piano yang sekarang patah dan tak lagi mengeluarkan suara. Kini satu suara yang menganggu telah hilang di telinganya, meninggalkan suara tapak-tapak sepatu boot, benda-benda kayu patah, pecahan beling, dan teriakan para pemabuk.

Oh Tuhan, kau tak bisa membayangkan betapa baunya saloon itu sekarang.

Di lantai atas, hanya ada kamar-kamar yang tertutup pintu. Sedikit damai di sana, meskipun ada juga teriakan orang yang berdiri di pagar pembatas, menonton sambil menyemangati perkelahian di lantai bawah.

Kaki-kaki Brown Tua tiada yang mengganggu. Ia terus berjalan sembari mengetuk pintu dengan sopan dan menanti suara muncul dari dalam. Tapi selalu saja tak ada suara, yang mana membuat Tuan Brown terpaksa mendobrak dan menemukan adegan seks yang brutal dan aneh. Pastilah pasangan itu kaget dan memaki haram jadah kepadanya, tapi Brown Tua hanya meludah di ambang pintu. Lantas lanjut ke pintu selanjutnya, dan begitu seterusnya.

Sampai pada pintu paling pojok. Sebuah kamar yang di hadapannya ada jendela besar menyeruakkan cahaya bulan dan angin jahat yang bertiup kencang. Ia tak punya firasat orang-orang yang dicarinya ada di dalam sana, tapi ia tak punya pilihan selain mencobanya. Namun sekarang, ia tak lagi mau bertindak sopan. Lantas mengeluarkan revolver dari holsternya. 

Telinganya menempel pada permukaan pintu kayu. Ia mendengar suara kasur berderit, raungan para pria, dan desahan lemas dari seorang wanita. Kali ini ia tak ingin datang mengejutkan, ia mengharapkan sebuah endap-endap yang mematikan. Dan pintu semoga tak dikunci. Benar saja, pintu memang tak dikunci saat Brown menyentuh gagang bundar itu. 

Tampaknya Yesus yang bergelantungan di lehernya, menjawab permohonan Brown. Dia memutar gagangnya dengan perlahan, kemudian melangkah teramat pelan. Di matanya, ia tak melihat apa-apa, selain para pria yang dicarinya, sedang memperkosa seorang pelacur malang.

Brown yang sudah lama tak melakukannya, kini kembali membidik dengan penuh ketenangan. Namun jari telunjuk itu belum mendapat izin dari Brown untuk melakukan tugasnya, jadi ia hanya menanti, menanti, dan menanti. Sebab lelaki tua itu tidak merasa puas bila hanya membunuh mereka dalam sekejap. Ia membutuhkan satu kepuasan maksimal sebelum ajal menjemputnya, yang hanya bisa didapat dari ketiga bandit itu.

Bandit itu memang tak bisa berkutik apa-apa saat Brown Tua menodong mereka secara bergantian. Bukan karena Brown adalah mantan Wild Bunch, melainkan mereka mengenali pak tua itu sebagai seorang sharpshooter handal yang tak pernah melewatkan sasarannya selama ini di kota kecil itu. 

Meskipun itu puluhan tahun yang lalu, tapi mereka masih gelagapan dengan kemampuan Brown Tua dan revolver-nya. Terlebih mereka juga telanjang bulat dan berkeringat. Holster-holster setia mereka tergeletak di atas meja di samping lemari. Tuan Brown sangat sigap. Satu langkah tiba-tiba ke arah meja itu, akan melayangkan satu tembakan tepat di kepala. Sembari terus menodong, ia mengambil sebuah kursi dan duduk dengan tenang di samping pintu. 

Gadis telanjang yang masih tengkurap lemas, diperintahnya untuk berpakaian dan keluar hanya dengan sebuah tatapan yang cukup tajam. Padahal ia terlihat seperti hampir mati beberapa menit yang lalu, tapi gadis itu sanggup berlari terbirit-birit meninggalkan ruangan yang dingin, sedingin tanah Alaska di bulan Januari, dan meninggalkan pintu dengan tertutup rapat.

Brown Tua sangat ingin menyalakan sigaret yang ia gulung tadi sesaat sebelum makan malam. Tapi ia tak ingin ada kecacatan dalam tindakannya. Meskipun suara ingar bingar pertarungan bar terdengar redup, tapi rasanya ruangan itu penuh akan sunyi yang tak berujung. Tuan Brown benar-benar mampu mengendalikan dirinya.

Satu bandit bermulut monyong, yang semula ketakutan kini dengan sombong berkata, "apa yang kan kau lakukan tua bangka?" Brown tidak menjawab. Lantas ketika si mulut monyong itu berjalan ke arahnya dengan tangan membentang, Brown menembak dari duduknya tanpa emosi. Kegaduhan di lantai bawah berhasil menyembunyikan suara tembakannya.

"Kau gila!" kata si berambut pirang dan paling tampan. Ia kaget. Tapi tak bisa berkutik ketika melihat temannya mengerang, menangis kesakitan karena satu peluru menempel di kelaminnya sekarang. Dan si mulut monyong yang cukup tersiksa, kini berharap Tuan Brown mau menembaknya di kepala.

Si bandit yang paling tenang, dengan topi berhias bulu elang yang dibanggakannya, kini bertindak seperti kerasukan setan. Ia dengan brutal berlari ke arah Brown Tua dan melompat agar tangannya mampu menjatuhkan revolver di tangan Brown. 

Tapi pak tua itu tak panik. Lantas bangkit mengelak, bandit itu terjatuh dengan wajah menghadap lantai kayu. Brown Tua menginjak-injak kepalanya sampai ia tak lagi berkutik. 

Dan si bandit pirang kini menangis. Telinganya tak tahan mendengar suara erangan si monyong. Dan matanya tak tahan melihat sahabat yang paling disayanginya, kini memiliki wajah serupa anus kuda yang berdarah.

Ia ingin bersimpuh memohon ampun kepada pak tua itu, tapi takut Brown gegabah dan menembaknya tak sengaja. Ia benar-benar kedinginan. Bukan karena telanjang diembus angin kencang dari satu lubang di kamar itu, melainkan sebuah ketakutan besar menyelimuti seluruh tubuhnya. Lantas ketika si monyong kehabisan suara, Brown Tua berjalan dan menginjak wajahnya habis-habisan. 

Setelah itu, ia mulai berani mengambil sigaret gulung dari kantung kemejanya, lantas mencoba menyulutnya dengan korek kayu yang digesek ke tapak sepatu. Lantas ia mengumpat. 

Ia lupa, kini tapak sepatunya telah basah karena darah. Ia pun kembali menyimpan sigaretnya. Kemudian duduk di ranjang yang tak lagi beralaskan sprei bekas kotoran hina para bandit itu. Ia duduk dengan tenang di sana, memandang si pirang yang masih telanjang dengan ketakutan. Kemudian Brown Tua kaget, bandit pirang itu tiba-tiba tersungkur memeluk lututnya.

"Lepaskan, haram jadah!" Brown sedikit memberontak, yang disambut dengan sebuah pengakuan yang terucap dengan isak tangis:

"Aku melakukannya, aku yang melakukannya, aku yang menghinakan anak perempuanmu." Si pirang menangis. "Aku benar-benar minta maaf, aku akan bertanggung jawab. Apa pun itu. Asal tolong, aku tak ingin mati..."

Di matanya terpampang secercah harapan untuk hidup, dan mata itu membuat Brown Tua naik pitam. Lantas menyimpan revolver, dan mencekiknya dengan keras hingga tubunya terjepit di tembok. 

Namun sayang, Yesus di lehernya tak mengizinkan Brown Tua membunuh orang yang sudah mengakui kesalahannya dan yang memohon ampun. Tiba-tiba datang sekawanan bandit tertawa-tawa, dengan sempoyongan dan babak belur.

"Hei, Blondie, di mana pelacur itu?"

Tapi senyam-senyum penuh alkohol itu tak bertahan lama. Mereka langsung menemukan dua tubuh bergelimang darah terkapar di lantai. Sialnya, mereka melihat Brown Tua seperti hendak memperkosa Blondie yang sudah terjepit di tembok kamar dengan telanjang. Dengan segera, segerombolan kawan itu mengumpat, satu orang berlari ke arah tangga.

"Seorang tua bangka memperkosa teman kami!!!" teriaknya.

Brown Tua yang tak mengharapkan kedatangan mereka, langsung disambut dengan todongan-todongan revolver. Dan satu orang di antaranya, berlari hendak menusuk Tuan Brown dengan pisau. Tuan Brown dengan sigap melompat ke jendela. Terkutuknya Brown Tua, pisau itu berhasil merobek sedikit perutnya. Ia terjatuh ke tanah dengan keras, dengan luka beling dan pisau di perut. 

Dua orang yang tengah bersantai dengan tequila di depan saloon tadi, terperanjat, lantas terheran-heran ketika melihat jendela yang telah pecah di lantai atas, telah ada dua wajah sedang celingak-celinguk mencari Brown Tua yang menderita. Ia merasa ada tulang yang pantah di punggungnya. Ia berjalan dengan terpincang ke arah kudanya.

Tak berselang lama kemudian, hiru pikuk kegaduhan kini tergantikan dengan umpatan yang serempak. Saat orang-orang keluar dari saloon, Brown sudah melaju dengan kudanya cukup jauh. Tapi orang-orang itu tak peduli. 

Malam yang semakin tenggelam dalam kegelapan dan alam kian mengutuk Utah, tak membuat mereka kehilangan bencinya kepada tua bangka keparat yang sudah membunuh, dan memperkosa seorang pria tak bersalah. Berangsur-angsur mereka menuju kudanya masing-masing dan mengejar Brown.

Sementara itu, Blondie, bandit yang beruntung juga tidak beruntung, kini merasa hina. Ia lebih mengharapkan sebuah kematian daripada aib yang melekat seumur hidupnya. Dan ia memilih mendatangkan kematiannya sendiri.

Sebenarnya dendam Brown Tua sudah tuntas, tapi ia belum puas, karena yang ia tahu Blondie belum mati. Tapi ia mengalah pada egonya malam itu, nyawanya sendiri kini sedang terancam. Sejatinya ia berhasil menghilang dalam kabut kegelapan kutukan yang menyambut pergantian bulan itu. Salju yang menebal cepat, membuat para pria yang mengejarnya memilih untuk menunda aksi mereka. Tapi sayangnya, stallion Brown perlahan kehilangan tenaga. Lantas kuda itu terjatuh ke tanah. Lelaki tua itu tak punya pilihan, selain melangkahkan kakinya satu persatu menuju kabin persembunyian keluarganya yang tak jauh lagi.

Darah yang semula mengucur seperti aliran sungai, kini telah membeku. Brown sedikit bersyukur. Tapi perlahan-lahan, ia mulai kehilangan harapannya untuk selamat. Bukan karena luka, bukan pula tulang yang patah, ia menatap kematiannya dengan membeku di tengah hutan pinus selama badai Utah yang tak tahu kapan akan berakhir itu. Selama harapan itu masih menyala bagai lilin yang hampir habis, terlebih Brown Tua masih mengharapkan Natal di tahun itu, membuat kaki tua bekas kejayaan masa mudanya terus terlangkah.

Terlangkah. Jatuh. Terlangkah. Jatuh. Terlangkah. Sampai di satu pohon, ia lagi-lagi terjatuh dengan sendi yang perlahan membiru. Dan dia bersandar pada pohon itu. Dia menyerah. Brown Tua mencium kaki badai dengan tersenyum. Lantas terharu dan mencium kalung Yesus tatkala melihat, seekor bayangan rusa putih, menghantarkannya menuju Tuhan di langit kelam.

***

Keesokan harinya pukul sepuluh, matahari bersinar terang dan menyengat, melelehkan butiran es di pohon-pohon pinus yang sudah berputihan salju. Anak gadis Brown Tua dan ibunya tengah mencari kayu-kayu basah untuk dikeringkan di dalam kabin dan berharap menemukan tupai atau kelinci untuk persediaan apabila badai salju kembali menerpa, syukur-syukur rusa untuk perbekalan menanti ayah mereka pulang.

Malangnya, mereka tak menemukan apa-apa, selain seonggok jasad membeku telah hancur berkeping-keping dimakan serigala.

"Oh Tuhan, malang sekali pria itu," kata Nona Brown, lalu meraih putrinya dalam pelukan. []

Padang, 1 Desember 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun