Bandit itu memang tak bisa berkutik apa-apa saat Brown Tua menodong mereka secara bergantian. Bukan karena Brown adalah mantan Wild Bunch, melainkan mereka mengenali pak tua itu sebagai seorang sharpshooter handal yang tak pernah melewatkan sasarannya selama ini di kota kecil itu.Â
Meskipun itu puluhan tahun yang lalu, tapi mereka masih gelagapan dengan kemampuan Brown Tua dan revolver-nya. Terlebih mereka juga telanjang bulat dan berkeringat. Holster-holster setia mereka tergeletak di atas meja di samping lemari. Tuan Brown sangat sigap. Satu langkah tiba-tiba ke arah meja itu, akan melayangkan satu tembakan tepat di kepala. Sembari terus menodong, ia mengambil sebuah kursi dan duduk dengan tenang di samping pintu.Â
Gadis telanjang yang masih tengkurap lemas, diperintahnya untuk berpakaian dan keluar hanya dengan sebuah tatapan yang cukup tajam. Padahal ia terlihat seperti hampir mati beberapa menit yang lalu, tapi gadis itu sanggup berlari terbirit-birit meninggalkan ruangan yang dingin, sedingin tanah Alaska di bulan Januari, dan meninggalkan pintu dengan tertutup rapat.
Brown Tua sangat ingin menyalakan sigaret yang ia gulung tadi sesaat sebelum makan malam. Tapi ia tak ingin ada kecacatan dalam tindakannya. Meskipun suara ingar bingar pertarungan bar terdengar redup, tapi rasanya ruangan itu penuh akan sunyi yang tak berujung. Tuan Brown benar-benar mampu mengendalikan dirinya.
Satu bandit bermulut monyong, yang semula ketakutan kini dengan sombong berkata, "apa yang kan kau lakukan tua bangka?" Brown tidak menjawab. Lantas ketika si mulut monyong itu berjalan ke arahnya dengan tangan membentang, Brown menembak dari duduknya tanpa emosi. Kegaduhan di lantai bawah berhasil menyembunyikan suara tembakannya.
"Kau gila!" kata si berambut pirang dan paling tampan. Ia kaget. Tapi tak bisa berkutik ketika melihat temannya mengerang, menangis kesakitan karena satu peluru menempel di kelaminnya sekarang. Dan si mulut monyong yang cukup tersiksa, kini berharap Tuan Brown mau menembaknya di kepala.
Si bandit yang paling tenang, dengan topi berhias bulu elang yang dibanggakannya, kini bertindak seperti kerasukan setan. Ia dengan brutal berlari ke arah Brown Tua dan melompat agar tangannya mampu menjatuhkan revolver di tangan Brown.Â
Tapi pak tua itu tak panik. Lantas bangkit mengelak, bandit itu terjatuh dengan wajah menghadap lantai kayu. Brown Tua menginjak-injak kepalanya sampai ia tak lagi berkutik.Â
Dan si bandit pirang kini menangis. Telinganya tak tahan mendengar suara erangan si monyong. Dan matanya tak tahan melihat sahabat yang paling disayanginya, kini memiliki wajah serupa anus kuda yang berdarah.
Ia ingin bersimpuh memohon ampun kepada pak tua itu, tapi takut Brown gegabah dan menembaknya tak sengaja. Ia benar-benar kedinginan. Bukan karena telanjang diembus angin kencang dari satu lubang di kamar itu, melainkan sebuah ketakutan besar menyelimuti seluruh tubuhnya. Lantas ketika si monyong kehabisan suara, Brown Tua berjalan dan menginjak wajahnya habis-habisan.Â
Setelah itu, ia mulai berani mengambil sigaret gulung dari kantung kemejanya, lantas mencoba menyulutnya dengan korek kayu yang digesek ke tapak sepatu. Lantas ia mengumpat.Â