"Saya ingin mendakwa hujan!" teriak Kancut dengan berlari tergopoh-gopoh menghadap Pak Hakim yang tengah sibuk mengurus permasalahan Nek Ipah, pencuri  buah cokelat kebun orang. Setelah sebelumnya, Kancut dengan bersusah-payah  menerobos dua orang berbadan kekar yang tak lain tak bukan adalah penjaga pintu ruang sidang. Kancut tak peduli terhadap sekelilingnya, ia tak peduli mata-mata yang memandangnya. Ia tak peduli lensa-lensa yang mengarah kepadanya. Ia tak peduli. Kegeramannya kepada hujan agaknya sudah menyunat urat malu Kancut.
Setelah teriakan Kancut itu, sontak ruang sidang mendadak riuh oleh suara-suara ocehan para penonton sidang yang berbisik-bisik kepada orang yang di sampingnya menanyakan perihal apa yang sedang terjadi. Keadaan ruang sidang itu pun tampaknya sudah seperti di dalam perut paus yang keroncongan, bergemuruh tanpa arti.
Pak Hakim yang matanya rabun itu mengernyitkan dahinya, mencoba memusatkan pandangannya kepada Kancut. Terperanjatlah Pak Hakim yang mulia itu memandangi Kancut yang ternyata datang basah-basahan dengan peci putih melekat di kepala dan kain sarung melingkar di pinggang. Tak lupa sendal jepit bertali hijau itu yang menjadi alas kaki Kancut di hadapannya. Setelah 30 tahun ia menjadi hakim, tampaknya hanya Kancut yang tak peduli etika berpakaian menghadap hakim yang dianggap mulia oleh orang-orang. Kancut tak peduli waktu dan tak peduli apapun. Bahkan sosok Nek Ipah yang tua renta itu saja berpakaian rapi dengan gaun merah terang dan renda-renda sebagai motifnya. Dan itu yang membuat Pak Hakim tertarik perhatiannya kepada Kancut, sejenak lembaran atau berkas kasus pencurian cokelat orang oleh Nek Ipah ditutupnya dengan enteng. Dengan amat penasaran Pak Hakim bertanya, "ini menarik, kenapa saudara ingin mendakwa hujan? Sedang hujan tak pernah salah."
Kancut yang tak terima mendengar perkataan Pak Hakim pun protes, "Siapa bilang hujan itu selalu suci, nyatanya ia setan berbentuk air!"
"Loh, kenapa?"
"Hujan membuatku tak solat jumat! Mampus aku! Bilang apa aku kepada Tuhan bila suatu hari nanti aku ditanya oleh-Nya?"
Pak Hakim tersentak dan terkekeh-kekeh, "Woalah, Saya kira apa,"
Ruang sidang pun seketikas dipenuhi gelak tawa hadirin ruang sidang. Pak Hakim pun masih menertawakan alasan Kancut mendatanginya itu, sampai-sampai perutnya yang buncit mendadak terasa sakit akibat terbahak-terbahak.
"Terus bagaimana, Yang Mulia?" Tanya Kancut seraya berkacak pinggang, ia sedikit tersinggung ketika melihat seisi ruang sidang itu menertawakannya. Kecuali Nek Ipah.
Bukannya menjawab, Pak Hakim malah kembali bertanya dengan masih ada tersisa tawa di dadanya, "Saudara siapa nama?"
"Kancut, Yang Mulia,"
"Kancut?" Tanya Pak Hakim lagi coba meyakinkan.
Kancut hanya mengangguk pelan.
Ruang sidang kembali riuh oleh tawaan para hadirin. Yang semula ruang sidang itu diisi oleh isak tangis keluarga Nek Ipah bercampur kebencian Keluarga Diman yang menuntut buah cokelatnya yang dicuri itu berubah menjadi hura-hura yang mengasyikkan. Sampai-sampai salah seorang keluarga Nek Ipah sampai sujud syukur akibat kedatangan Kancut bak malaikat penyelamat bagi neneknya dari ruang sidang yang menyeramkan.
Mendengar jawaban Kancut, Pak Hakim kembali tertawa bersama hadirin, kemudian muncul lagi pertanyaan di kepala Pak Hakim, "Kancut, ya? Apa sebab namamu Kancut?"
"Haruskah kujelaskan?" Tanya Kancut kebingungan.
"Oh iya harus, karena agak aneh terdengar nama itu, dan orang tua mana yang memberi nama anaknya Kancut," jawab Pak Hakim dengan terkekeh-kekeh.
"Baiklah Pak Hakim dan para hadirin, jika memang Yang Mulia memaksa, maka akan sedikit saya ceritakan dari mana nama Kancut itu muncul," Kancut mulai bercerita, "Dulu ketika umur saya baru satu tahun, rumah kami kebakaran, sedang orang tua saya tengah pergi ke surau beribadah sholat isya. Ditinggalnya saya seorang diri di rumah. Tiba-tiba tersulut api dari batang rokok bapak saya yang tak padam sempurna di asbak, mengenai salah satu colokan listrik yang berdekatan. Seketika api menyambar dahsyat, dilahapnya dinding-dinding ruang tamu dengan ganas, sedang aku dititipnya di kamar. Tatkala api mulai menjalar ke dalam kamar, orang tua saya pulang. Mengucaplah mereka ketika disaksikannya api sudah sampai genteng, bapak dengan paniknya segera mencampakkan sajadahnya ke tanah, lalu menerobos masuk ke kamar melalui jendela. Dipecahkannya kaca jendela itu, lalu kemudian mendapati saya tengah merengek-rengek kepanasan. Dilihatnya sekeliling kamar, tak ada benda yang basah untuk menyelimuti saya. Kemudian ia menengok ke kamar mandi, ternyata ada tumpukan kancut di dalam ember yang tengah direndam. Ide yang terbilang bodoh, tetapi efektif pun muncul di kepala Bapak, entah kenapa bisa muncul ide seperti itu. Diselimutinyalah saya oleh kancut-kancut yang basah itu kemudian diselamatkannya saya keluar. Ketika sampai di luar, Ibu yang kepanikan; yang sedari tadi terus mengucap-ngucap tanpa membantu pun akhirnya berucap syukur tatkala aku berhasil selamat oleh bantuan kancut yang basah, Ibu pun terperanjat seraya berkata, "Woalah kancut-kancutku, untung belum ku jemur. Kalau sudah ku jemur akan jadi apa kancutku, eh anakku maksudnya." Dan  sejak itulah saya dipanggilnya Kancut. Dan saya tidak pernah malu, sebab memang kancut Ibu yang sudah menyelamatkan saya  dari kobaran api itu. Dan saya bersyukur karena itu."
Mendengar cerita Kancut, seisi ruang sidang memberikan tepuk tangan bercampur tawa. Dengan setengah terbahak, Pak Hakim memuji kisah itu dan meminta Kancut mengirimkan salamnya kepada Bapak Kancut. Kancut pun merasa senang dan bangga. Lalu tiba-tiba, Kancut teringat tujuannya ia datang basah-basahan ke ruang sidang tak lain tak bukan adalah untuk mendakwa hujan.
"Pak Hakim, bagaimana dakwaan saya kepada hujan?"
Pak Hakim menepuk jidatnya, "Oh iya hampir saya lupa,"
Lalu setelah itu, Pak Hakim meminta sidang terhadap kasus Nek Ipah ditunda tiga bulan dan tak satupun hadirin yang membantah, bahkan keluarga Diman pun tidak. Agaknya masalah Kancut ini betul-betul menarik perhatian para hadirin.
"Baiklah," ujar Pak Hakim, "ceritakan sedikit tentang hujan yang ingin kau dakwa itu selagi hujan masih mengguyur, agar ia mendengar dakwaanmu."
"Jadi begini, Pak Hakim," kata Kancut hendak bercerita lagi, "Tadi siang, semua orang juga tahu kan kalau matahari begitu terik bersinar. Saya pun bergegas bersiap-siap untuk solat jumat, saya mandi, saya menyikat gigi, mengenakan baju terindah saya, memakai wewangian, lalu kemudian saya berkaca, memandangi diri saya di seberang sana dan bertanya, apakah sudah cukup begini untuk menghadap-Nya? Namun, hati saya bilang belum, sebab ada satu air yang tak sengaja tiba-tiba menetes di ujung kulup yang saya pikir itu najis. Kembalilah saya melepas pakaian saya, saya kembali mandi, menyikat gigi, kemudian kembali mengenakan baju terindah yang saya punya, kembali memakai wewangian, dan terakhir kembali saya memandangi diri saya di seberang cermin.Â
Tatkala saya pikir sudah cocok menghadap-Nya, saya pun bergegas keluar rumah. Saya lihat langit, masih terbuka lapang tanpa awan, membuat matahari bersinar sangat terang. Tetapi, sandal jepit bertali hijau yang saya kenakan kinil tak ada di sana, di teras. Kembalilah saya masuk ke dalam mencari sandal itu, sedang azan pertama 15 menit lagi kan berkumandang. Kesana kemari, ke segala penjuru rumah saya mondar-mandir mencari sandal itu, dan tak ada di mana-mana. Pupus sudah harapan saya untuk solat jumat. Saya termenung, duduk di lantai melipatkan kaki saya. Lalu tak lama kemudian, saya terkejut mendapati kaki saya ternyata sedari tadi mengenakan sandal itu kemana-mana, ah sialan."
Para hadirin dibuatnya terbahak-bahak lagi. Begitupun Pak Hakim, Diman, dan keluarga Nek Ipah, mereka tak mampu menahan tawanya. Seisi ruang itu, semuanya tertawa. Kecuali Nek Ipah, yang sedari tadi terus diselimuti dosa-dosa telah mencuri buah cokelat Diman. Ia hanya termangu menatap langit-langit. Hatinya berulang-ulang mengucap, meminta ampunan kepada Tuhan atas perbuatannya. Ia tak peduli akan cerita Kancut yang penuh lelucon itu. Ia tak peduli, yang ia pedulikan sedari tadi adalah dosanya yang tak habis-habis.
"Setelah mendapatkan sandal jepit, saya yang dengan penuh semangat mengejar saf pertama pun bergegas keluar rumah. Dan hampir jantungan saya dibuatnya tatkala melihat langit bergemuruh menurunkan hujan yang teramat deras, disambarnya petir-petir kepada saya yang alhamdulillah berhasil saya elak. Alam seakan-akan melarang saya pergi ke surau itu. Lalu dengan penuh amarah saya pun mengutuk hujan. Gara-garanya saya tak bisa berjalan ke surau. Saya tak peduli terhadap gemuruh itu, saya tak takut kalau-kalau saya tak berhasil mengelak sambaran petir-petir itu, toh kalau memang mati, ya mati syahid. Tapi, hujan sialan itu nyatanya berhasil mematahkan niat saya pergi ke surau. Saya mengumpat sebanyak-banyaknya. Oleh sebab itulah, dengan penuh dendam saya kepada hujan, datanglah keinginan saya untuk mendakwanya. Dengan hujan-hujan saya berlari menuju ruang sidang ini, dan inilah saya. Saya mohon betul kepada Yang Mulia, kabulkanlah dakwaan saya kepada hujan, tolong!"
Pak Hakim kebingungan memikirkan solusi atas keinginan Kancut itu. Di putar balikkan otaknya yang bergelar doktor hukum itu untuk mencari titik temu permasalahan hujan Kancut ini. Lalu, dengan hujan yang masih mengguyur kota kala itu, Pak Hakim bertanya dengan lantang yang menggemakan satu ruangan, "Hujan! Apa bantahanmu terhadap dakwaan yang sampai kepadamu?"
Tak ada jawaban dari hujan, ia terus mengguyur dengan derasnya tanpa henti. Pak Hakim pun bertanya lagi dengan lantang, "Hujan! Apa bantahanmu terhadap Kancut yang malang itu?"
Masih tak ada jawaban dari hujan. Pak Hakim bertanya lagi untuk terakhir kalinya, "Hujan! Oh, hujan! Ada dakwaan sampai kepadamu dan kau diam saja?"
Masih hujan tiada membalas, disisakannya ruangan sidang itu dengan gemuruh hujan yang menghantam genting-genting itu. Agaknya hujan memang salah, pikir Pak Hakim sebab hujan tak mampu membantah dakwaan itu. Akhirnya dengan berat hati, Pak Hakim pun menjatuhkan hukuman penjara kepada hujan selama satu tahun, dan mengatakan bahwa dosa Kancut tiada solat jumat itu dipertanggung jawabkan oleh hujan yang bisu itu.Â
Ketukan palu menandakan keputusan sudah bulat, dan seisi ruangan bertepuk tangan. Kancut lega. Dendamnya tersampaikan. Ia bersyukur. Namun, ketika Pak Hakim hendak menutup kasus Kancut yang mendakwa hujan itu, tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepalanya. Ia pun bertanya kepada Kancut yang tengah berbahagia, "Kau datang kemari hujan-hujanan?"
Kancut menjawab, "Iya, Yang Mulia."
"Kau tinggalkan ibadahmu hanya untuk melampiaskan dendammu kepada hujan?"
"Iya benar perkataanmu Yang Mulia, benar sekali, terima kasih sudah dengan adil mengabulkan dakwaan saya, saya lega," jawab Kancut seraya tersenyum.
"Iya sama-sama, Kancut," kata Pak Hakim yang kemudian kembali bertanya, "Tetapi, bukankah lebih baik bila kau hujan-hujanan ke surau dan beribadah, ketimbang kau hujan-hujanan kemari hanya untuk melampiaskan dendammu kepada hujan yang tiada telinga untuk mendengar dan tiada mulut untuk membantah dakwaanmu, Kancut?"
Kancut hanya terdiam, para hadirin di ruang sidang itu pun ikut terdiam, dan semua mata menatap Kancut dan semua telinga menanti jawabannya. Lalu tiba-tiba, Kancut tersentak setelah lama ia berpikir panjang perihal pertanyaan itu dan kemudian ia pun menjawab dengan bodohnya, "Oh iya ya, kenapa tidak terpikirkan ..."
"Jancuk!" semua hadirin mengumpat dan menyoraki kebodohan Kanctu. Tapi Nek Ipah, yang semula termenung diselimuti dosa, mendadak terbahak-bahak tanpa henti. Hingga tak ada lagi nafas yang bisa ia tarik dan membuatnya mati di ruang sidang itu.
Kematian Nek Ipah sejatinya begitu menenangkan. Saking tenangnya, keluarga Nek Ipah sendiri tak sadar neneknya sudah meninggal.Â
Dasar, orang-orang memang gemar  mengumpat kebodohan orang lain, hingga tak menyadari kebodohan yang ada di dalam diri sendiri.[]
Banda Aceh, 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI