"Kau tinggalkan ibadahmu hanya untuk melampiaskan dendammu kepada hujan?"
"Iya benar perkataanmu Yang Mulia, benar sekali, terima kasih sudah dengan adil mengabulkan dakwaan saya, saya lega," jawab Kancut seraya tersenyum.
"Iya sama-sama, Kancut," kata Pak Hakim yang kemudian kembali bertanya, "Tetapi, bukankah lebih baik bila kau hujan-hujanan ke surau dan beribadah, ketimbang kau hujan-hujanan kemari hanya untuk melampiaskan dendammu kepada hujan yang tiada telinga untuk mendengar dan tiada mulut untuk membantah dakwaanmu, Kancut?"
Kancut hanya terdiam, para hadirin di ruang sidang itu pun ikut terdiam, dan semua mata menatap Kancut dan semua telinga menanti jawabannya. Lalu tiba-tiba, Kancut tersentak setelah lama ia berpikir panjang perihal pertanyaan itu dan kemudian ia pun menjawab dengan bodohnya, "Oh iya ya, kenapa tidak terpikirkan ..."
"Jancuk!" semua hadirin mengumpat dan menyoraki kebodohan Kanctu. Tapi Nek Ipah, yang semula termenung diselimuti dosa, mendadak terbahak-bahak tanpa henti. Hingga tak ada lagi nafas yang bisa ia tarik dan membuatnya mati di ruang sidang itu.
Kematian Nek Ipah sejatinya begitu menenangkan. Saking tenangnya, keluarga Nek Ipah sendiri tak sadar neneknya sudah meninggal.Â
Dasar, orang-orang memang gemar  mengumpat kebodohan orang lain, hingga tak menyadari kebodohan yang ada di dalam diri sendiri.[]
Banda Aceh, 2021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI