Aku adalah waktu, yang membuatmu berlalu cepat dari seorang balita dengan rompi dan topi menjadi tua dan dikafani. Aku adalah hal yang selalu menjadi buah imajinasimu di kala susah. Di mana kau berharap, aku bisa kau kendalikan dengan mudah.Â
Kau tak ingin melewatkan hal-hal indah yang terjadi dalam kehidupanmu. Perempuan berkepang dengan gaun biru muda yang sedari tadi kau perhatikan menghembus kepulan asap pada gelas kopi itu menjadi salah satu alasan kau ingin membunuhku.Â
Kau tak ingin ia pergi meninggalkan selembar uang biru tanpa nomor telepon di atas meja. Kau ingin bergerak ke sana. Tetapi apalah daya, untuk berdamai denganku saja kau susah apalagi memikat wanita.
Sebenarnya kau bisa membunuhku, tapi kau tak bisa menghentikanku. Aku bisa jadi adalah deru nafas yang keluar dari lubang hidungmu. Bisa jadi aku adalah ibumu sepuluh tahun lalu. Bahkan bisa jadi, aku adalah kau sendiri. Tapi tiada yang tahu, kau dan aku sebenarnya menyatu.Â
Kemana kau melangkah aku ada di sana, ikut melangkah satu jarak di belakangmu, dan berharap kau sadar apa saja yang terjadi di sekitarmu berlalu dengan begitu lambat. Tiap detiknya bisa kau nikmati keberadaannya.Â
Tapi tidak, kau malah menyia-nyiakannya dan berkata seakan-akan aku melangkah sepuluh jarak lebih jauh di hadapan. Ketahuilah aku tercipta karena kau juga, apa yang terjadi dengan kita tanpa ada aku di sana?
Kau tahu apa yang lucu, manusia? Bisa jadi aku adalah kekasihmu. Aku tahu kau tak mencintaiku, tapi kau tak bisa melupakanku, itulah sebabnya kau rela beli jam mahal-mahal supaya kau merasa bangga bila bertemu dengan orang-orang hipokrit yang ikut menyertai jalannya cerita dalam hidupmu.Â
Atau aku yang sejatinya begitu mencintaimu, mengidolakanmu, sampai-sampai aku tak bisa lepas dan berlari di kehidupan yang maha bebas buatku ini?
Oh Tuhan, seandainya ia benar tahu isi hatiku, bisalah kau berpuas hati sebab kau adalah ciptaan kesayangannya. Apalah aku yang tak berfisik, dilihat dan dirasakan saja susah, tetapi dianggap sumber masalah kepada seluruh kehidupan yang berlangsung selama 2021 tahun ini, belum lagi dihitung dengan tahun-tahun yang tak terhitung keberadaannya.Â
Tetapi tak mengapa, aku adalah satu-satunya hal yang membimbingmu menuju sesuatu. Tanpa aku kau terlena, tanpa aku kau binasa. Aku adalah anjing yang mengejarmu di sepanjang gang menuju rumahmu dulu, tanpa aku kau mungkin berada di rumahmu sepuluh tahun lagi.Â
Tapi lihatlah, peluh dan denyut jantung yang bisa saja merenggut nyawamu kala itu membuktikan bahwa kau punya daya mencapai rumah hanya dalam dua menit.
Ingatkah kau kepada adikmu? Yang seumur hidup tak pernah mendengar suara merdu dari mulutmu ketika menyatakan bagaimana perasaanmu sebenarnya kepadanya, tapi kau bilang akulah yang merenggutnya dari kehidupanmu, kanker tak ada apa-apanya dibandingkan aku, bla bla bla, itu terserah kepadamu.Â
Aku juga tak bisa protes, bahkan otak saja ku tak punya, bahkan tindakan untuk melawan pernyataan orang lain terhadap kau saja ku tak tahu sinonimnya adalah protes.Â
Aku selalu berharap menjadi dirimu, memiliki Tuhan dalam melepas segala keluh kesah, dan pegangan harapan. Lihat aku, aku sungguh menyedihkan, tidak ada apa-apa yang bisa kulakukan selain menjaga satu jarak langkah di belakangmu.
Suatu hari aku mencoba mengandaikan diriku menjadi sesosok manusia, apa yang pertama kali kan kulakukan sekiranya hal itu bisa terjadi? Menonton TV? Menyenangkan, tapi apakah hal itu sama seperti aku membunuh diriku sendiri? Membaca buku? Kuno.Â
Bagaimana dengan menulis, sudah lama sekali aku tak melihatmu menulis segala hal yang terjadi dalam satu hari hidupmu di dalam sebuah catatan klasik.Â
Suatu hari kau pernah bilang kepada ibu bahwa kau ingin aku untuk tak berlalu melewati kehidupanmu, dan menulis adalah salah satu caranya, untuk menapaki setiap langkah sehingga langkah yang telah terlewati serasa kembali dilangkahi, begitulah bahasanya, maaf aku tak bisa menulis dengan benar karena aku adalah waktu, tunggu, bagaimana bisa sebuah waktu menulis? Sedang otak tak punya, fisik tak punya.Â
Oh aku tahu, sudah sering sekali aku terlupa dan kembali teringat lalu terlupa kembali mengenai hal ini, aku dan kau adalah satu kesatuan, apa yang kau katakan datang daripadaku, apa yang kau ludahi adalah ludahku.Â
Sedari tadi, dua jam dari diriku sudah kau lewati tanpa apa-apa, selain sebuah tulisan singkat yang berjumlah tak lebih dari 1000 kata ini mengenai diriku sendiri.Â
Seharusnya dua jam yang telah berlalu beberapa menit lalu ini bisa kau manfaatkan untuk berbuat lebih banyak hal yang lebih positif daripada sebuah tulisan yang hanya berdiam di dalam laptopmu tanpa kau gunakan kemana-mana.Â
Contohnya seperti mendekati perempuan itu sebelum taksi yang ditunggunya datang sebentar lagi. Tapi kau memilih diam, dan melanjutkan tulisan ini dengan harapan perempuan itu yang menghampirimu lebih dulu.
Mustahil kawan, ia bahkan tidak menganggapmu ada di kedai kopi itu. Kau bagaikan telinga perempuan itu, yang ia sendiri saja tak bisa melihatnya kecuali ketika bercermin.Â
Sehina-hinanya tai ayam yang terinjak, lebih hina kau yang tak berani mempermalukan diri demi keinginanmu sendiri. Malah berharap Tuhan datang menggerakkan kaki perempuan itu melaju ke arahmu dan meminta selembar tisu untuk titik-titik keringat di dahinya dan kau bisa berkenalan dengannya.
Ya ampun, dasar manusia, lemah, bergantung pada sesuatu, padahal kedua kakinya sendiri kuat berdiri. Kukatakan padamu, manusia, harapan tanpa usaha itu seperti dandelion yang tengah mengawang ditiup angin, kecil sekali kemungkinan ia akan hinggap di hidungmu tanpa kau sendiri yang meraihnya dengan tangan dan menempatkannya ke hidungmu. Tetapi bukan berarti tak ada kemungkinan dandelion itu rusak karena cengkeraman tanganmu terlalu keras.
Aku sebentar lagi akan jadi bulan-bulananmu bila kakimu masih kau gerak-gerakkan di bawah meja. Sebentar lagi ia kan pergi, benar-benar sebentar lagi, sebab kini perempuan itu sedang berbicara dengan seseorang di seberang telepon sambil mencelingak-celingukkan kepalanya. Apa yang kan kau perbuat? Oh, lihatlah, kau tengah berdoa dengan putus asa.Â
Tuhan tertawa melihatmu melakukan itu, Ia sendiri sudah lebih dulu memberikan petunjuk untukmu, dengan mendatangkan keinginan yang sangat besar untuk berkenalan dengan perempuan itu, tapi kau memilih untuk tetap menunggu. Dan berdoa.
Oh lihatlah lagi, sebuah taksi biru sudah berhenti di depan kedai, gadis itu bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu keluar dengan tergesa-gesa setelah membereskan meja yang sebelumnya berantakan oleh buku dan lembaran-lembaran.Â
Lantas ketika ia hendak menutup pintu, gagangan tasnya tersangkut pada besi dan menghamburkan benda-benda yang ada dalam pelukannya, termasuk telepon genggam terbanting ke lantai.
Entah apa yang terpikirkan olehmu kala itu, kau lantas bangkit dari kursi, dan...
Kini kau duduk dengan hati yang teramat senang. Setelah berkali-kali kau tak percaya melihat secarik kertas kecil berisi nomor telepon wanita itu.Â
Sayangnya aku tetap menjadi bulan-bulananmu sebab aku telah membuatmu begitu cemas sedari tadi lamanya, malah kau bisa mendapatkannya dengan sangat mudah hanya karena sebuah momen yang sangat kebetulan terjadi di dekatmu.
Lihatlah dirimu sendiri dari pantulan layar yang ada di hadapanmu, kau mengucap syukur sebanyak-banyaknya kepada Tuhan. Rencana Tuhan memang tidak ada yang bisa menebak, mungkin itulah mengapa mereka sangat mencintai Tuhan mereka sampai-sampai ada orang mati karena membela Tuhannya. Â
Ah, aku tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Mungkin karena aku bukan seorang manusia, yang memiliki tangan, kaki untuk berjalan ke manapun yang aku mau, melainkan sebuah angan-angan dari sesosok waktu yang telah berlalu. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H