Mohon tunggu...
NUZUL RAMADANI
NUZUL RAMADANI Mohon Tunggu... Penulis - Orang Biasa

Lulusan Jurusan Universitas Islam Kalimantan. Terserah apa yang kamu nilai tentangku. Jika ku bersalah, katakan saja. 👌

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Ibu atau Karir

7 April 2019   18:04 Diperbarui: 25 Juni 2019   22:33 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Hsss..”, desis ibu menahan sakit, saat perawat memasang proses memasukkan infus ke sedikit permukaan punggung tangan ibu. Aku memegang tangan ibu, memberinya kekuatan untuk bertahan, meski tak menghilangkan rasa sakit itu. Ibu tidak mau dioperasi, karena pasti biaya mahal dan ekonomi kami saat ini sedang drastis menurun. Bapak datang dengan tergesa-gesa bawaannya dan bertanya padaku dengan cepat, “Ibu kenapa Fit?”.

“Ibu tadi kecelakaan dan terjatuh bersama sepeda motornya. Kakinya tertimpa sepeda motor cukup lama, karena jalanan sepi, tidak ada yang nolong ibu pak”, jelasku pelan-pelan, karena habis menangis melihat keadaan ibu.

“Astaghfirullahhal’adzim. Maafkan bapak bu, bapak terlalu sibuk”, ucap bapak kepada ibu.

Sejak kaki ibu tidak normal lagi, aku dan adikku yang kedua—Nisa harus lebih disiplin terhadap waktu. Mengerjakan beberapa pekerjaan sebelum pergi kuliah. Membuat sarapan, mencuci piring, membersihkan rumah, dan mengantar adik ke sekolah. Terkadang, kami terlambat dan pastinya kami pernah dimarahi dosen, meski tak sering.

                        “Kak, berhenti aja nyucinya. Tinggalin aja, mandi cepat”, ujar Nisa.

                        “Bentar lah ah”, sahutku.

                        “Udah jam 08.13 ini loh. Jam berapa lagi kita pergi”, ujarnya marah.

Aku secepat mungkin mencuci piring-piring dan mangkuk-mangkuk yang kotor. Tapi tetap tidak asal-asal mencuci. Aku tidak mau sisanya ibu yang mencuci.

                        “Udah Fit, udah. Tinggalkan saja sebagian”, pinta ibu. Tapi aku tetap mencucinya, tak mendengarkan ibu. Bukannya aku tidak mau menuruti ibu, tapi aku tidak tega bila dia harus berdiri menyelesaikan piring-piring kotor ini, belum lagi mengurus adik kecil kesana-kesini, sedangkan kakinya lemah.

Selesai itu, aku mandi tak terlalu lama. Dalam waktu yang tak sampai lima belas menit, aku selesai dan siap pergi ke kampus bersama Nisa. Tidak berbedak, tidak berwangi-wangi dengan parfum atau hand-body, tidak memakai lipglos apalagi lipstik.

Pokoknya kalau sudah telat lebih daripada batas menit yang diberi dosen, pasti kami ngos-ngosan masuk kelas, karena kami lebih sering terlambat. Berjalan cepat ala-ala lari pelan. Kalau lari kencang, nanti dikira para makhluk di universitas bahwa kami sedang lomba lari berdua. Jalan tapi secepat mungkin kedua kaki ini melangkah untuk sampai di tingkat tiga, terkadang di tingkat empat. Tergantung dosennya mau dimana. Terkadang, kami juga tak hanya jadi perhatian teman-teman kelas kami, karena ulah kami yang sering telat, tapi juga bagi para makhluk yang lagi tidak ada kerjaan memperhatikan dua gadis yang melangkah dengan cepat. Kami juga malu kalau diperhatikan. Seperti lomba jalan santai, tapi cepat.

“Assalammualaikum”

                        “Wa’alaykumsalam”, sahut ibu dosen dan teman-teman kelas.

Zaini dan Ajo mengkode kami untuk duduk di posisi yang sudah mereka tinggalkan. Untung teman-teman kelas paham, kalau orang telat harus diarahkan duduknya dimana, soalnya orang telat biasanya kadang bingung, takut diperhatikan dosen atau ketahuan telat saat masih belum duduk dan tas masih dirangkul. Karena kalau kami telat dan bila dosen serius lagi nulis di papan tulis, maka kami pun diam-diam masuk kelas. Kami sekelas saling kompak.

Kami masuk dengan segera mengambil posisi tempat duduk. Tatapan kami ke ibu dosen yang melihat waktu di jam tangannya. Dalam hatiku, pasti ibu mau memarahi kami, karena kami telah telat empat puluh lima menit, sedangkan batas dari ibu dosen paling lambat masih dianggap hadir tidak lebih daripada dua puluh lima menit.

“Jam berapa ini?, kalian baru datang jam segini. Apa yang membuat kalian terlambat?”.

Kami berdua hanya diam. Bila kami bilang alasannya, pasti kami juga salah, pertanyaan yang kami pikir akan muncul ‘kenapa tidak bangun lebih pagi lagi’.

                        “Kalian tidak ibu hitung hadir”, ucap ibu dosen dengan tegas.

Bleb. Kami terima saja. Terkadang kami tidak hadir di jam kelas pertama, bila sudah terlambat sekali. Tidak mau jadi catatan dosen dua kembar yang tak seiras sering terlambat atau kami lagi tidak ingin mendengar ocehan dosen.

 Kami anggap marahnya dosen hanya angin lalu, karena itu juga kesalahan kami. Kami sekelas dan sejurusan di kampus. Aku menganggur setahun setelah tamat SMK untuk mencari pengalaman yang aku sukai dan jadilah kami mendaftar bareng di universitas yang sama.

~~

Meskipun sudah enam bulan mama menjalani terapi untuk kesembuhan kakinya, tapi tetap saja mama tidak boleh banyak kerja, karena itu akan mempengaruhi kakinya yang patah. Apalagi mama tidak dioperasi, hanya mengandalkan kesembuhan secara alami. Aku pun masih ragu akan kesembuhan mama. Jujur, aku tidak punya ilmu banyak tentang tulang, hatiku pun bertanya, apakah tidak dioperasi akan sembuh secara alami, meski dengan terapi saja. Oh entahlah, aku dan adikku yang kedua—Nisa, kami berusaha sebisa kami untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi tetap menjalani tugas kami dari dosen. Semakin naik semester, semakin banyak tugas ngampus kami. Terkadang, kami tidak punya waktu untuk belajar. Sempat mengerjakan tugas saja sudah syukur dan kalau tugas kelompok, pasti aku dan adikku—Nisa usaha untuk bisa dalam satu kelompok, karena kami satu rumah, jadi bisa saling bantu serta lebih hemat waktu. Kalaupun bisa belajar, itupun curi curi waktu, saat dosen belum datang.

Aku dan Nisa berbeda. Nisa mengikuti organisasi, sedangkan aku tidak. Nisa sedang tidak ada di rumah, ia pergi dengan rombongan organisasinya ke daerah bukit. Sedangkan ku di rumah saja. Karena hari Sabtu ini tidak ada jadwal ngampus, aku pun bersantai di kamar, setelah semua tugas rumahku selesai. Jadi, aku ingin menulis-nulis ide-ideku pada layar putih Microsoft office word di laptop kecilku dan Nisa. Tapi, ada saja hal-hal kecil yang dikerjakan lagi. Dari adik sampai kucing.

                        “Fit.., Fit”, panggil ibu.

                        “Iya buk, kenapa?”

“Itu adit mau makan. Ibu ngantuk sekali, tadi malam begadang, si kecil susah tidur”, jelas ibu.

“Iya buk”, sahutku.

                        “Fitri.., fit”, panggil bapak.

                        “Apa pak?”.

                        “Itu tuh kucing. Naik ke meja makan dia”, ujar bapak yang lagi sibuk dengan komputernya di ruang tengah.

                        “Huss.. huss..”, usirku.

Dua menit namaku di panggil lagi oleh bapak.

                        “Fit.. fit..”.

                        “Iya pak..”, sahutku.

                        “Itu kucing naik lagi”.

Aku mendengus. Kucing pun juga diurus. Aku mengusir kucing dengan sedikit emosi, karena ada-ada saja yang aku kerjakan. Yah, beginilah kalau bukan anak kos atau bukan anak orang kaya, apalagi kalau ekonomi sedang jatuh, ibu yang sedang sakit dan anggota keluarga yang banyak. Semuanya serba tangan. Masak, nyuci, menjahit sarung bantal yang sudah bolong, hampir semuanya harus dibuat dari tangan sendiri. Tidak seperti yang lainnya, kalau sudah sibuk, mau makan tinggal beli atau sesekali melaundry baju atau pakai pembantu. Terkadang di tengah-tengah mau tidur malam, aku dan Nisa sempat mengeluh. Tapi, kami teringat lagi apa kata pak Ustadz yang kami lihat di youtube, jangan mengeluh dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Karena itu ujian dari Tuhan. Meski kadang aku ingin punya waktu bebas untuk hobiku, tapi hal itu aku kesampingkan, karena kini pikiranku bahwa bekerja lebih penting daripada hobi yang belum pasti mendukung ekonomiku. Bukannya mengejar uang atau dunia, tapi yang namanya keadaan perlu uang untuk keperluan kuliah, mau gak mau kerja didahulukan daripada hobi yang belum diasah.

Selama hampir sebulan kami berusaha melamar disini disana, sebagai tamatan SMK. Mencari pekerjaan yang cocok dengan kemampuan kami dan menyesuaikan dengan waktu kami, itu sulit sekali. Tapi kami tetap sabar mencari pekerjaan yang tepat dari sosial media. Kesabaran dan pantang tak menyerah kami membuahkan hasil. Kami mendapat pekerjaan di tempat yang sama dan itu sengaja, biar bisa berangkat serta pulang bareng. Kerjanya cuma empat jam dan kami bersyukur mendapat pekerjaan yang hanya sebentar. Jadi kami bisa membagi waktu untuk urusan kuliah dan pekerjaan rumah. Kami bisa membeli keperluan kuliah dan kebutuhan kami sendiri dengan menggunakan uang gaji kami, jadi bisa mengurangi beban orang tua. Sesekali, kami membeli makanan untuk ibu, bapak, dan ketiga adik yang masih kecil-kecil.

Waktu berjalan begitu cepat. Kami semakin sibuk, sejak kami mengambil mata kuliah skripsi sekaligus PPL (Program Pengalaman Lapangan). Kami terpaksa harus mengambil cuti kerja selama masa PPL dua bulan setengah. Kami jadi semakin sibuk, malah meninggalkan pekerjaan rumah dengan terpaksa, karena harus mengejar dosen yang tengah ada keberadaanya dan PPL yang tidak bisa dicutikan. Semakin kami tidak mengambil cuti PPL, semakin cepat masa PPL kami kelar. Lelah?, pasti, tapi kami nikmati.

Akhirnya kami wisuda. Kami pun lega dan ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, layaknya teman-teman kami mendapat pekerjaan sebagai tamatan sarjana. Ada yang jadi guru, pegawai PNS, pegawai perkantoran, jadi tutor les, dan lain-lainnya. Kami tergiur seperti teman-teman lain, kami mulai sering izin cuti dan mencari pekerjaan yang lebih tinggi dari pekerjaan sebelumnya, sebagai karyawati pengetikan. Tak butuh waktu lama, kami mendapatkan pekerjaan baru. Aku bekerja di bank hingga larut malam dan adikku—Nisa bekerja di kantor hingga sore. Meski sudah bekerja yang full, kami tetap menyempatkan mengerjakan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Tapi setelah dari bekerja, kami tidak melakukan apa-apa lagi karena rasa penat yang merasuki tubuh kami.

Kami senang dengan pekerjaan full ini, kami bisa menabung setiap bulan dari sebagian gaji kami untuk pulang kampung. Kalau pulang kampung, kami harus transit pesawat lagi, jadi biaya tak sedikit untuk pulang dan kami keluarga kecil yang beranggota ramai. Jadi kami benar-benar bekerja dan jarang cuti, agar kami bisa menolong biaya sekolah adik-adik kami dan mengisi tabungan untuk pulang kampung. Bekerja dan bekerja, membuat kami lupa bahwa ibu kami punya keterbatasan untuk tidak melakukan banyak pekerjaan. Hingga suatu hari, ia hanya berbaring terus dari kami bangun hingga mau berangkat bekerja. Ibu mengeluh kakinya sakit, dan sakit bila bergerak, jadi tak kuat untuk kesana-kesini. Itu pasti terlalu banyak yang dikerjakan, semenjak kami bekerja. Tidak ada yang bisa bantu ibu, selain kami, karena keluarga kami pun jauh. Aku pun izin beberapa hari dan Nisa tetap ku suruh bekerja. Minggu depannya, Nisa yang libur dua hari dan aku pula yang bekerja.

Minggu depannya lagi, kami tidak ada yang libur selama seminggu. Tapi, di Minggu depannya, aku memutuskan untuk libur selama dua hari dengan alasan acara keluarga. Aku jadi dihitung banyak libur dalam bulan ini. Tak apa, yang penting ibu bisa terbantui adanya aku di rumah.

Kaki ibu mulai tidak sakit lagi katanya dan menyuruh kami untuk bekerja. Aku dan Nisa tidak percaya, tapi ibu begitu meyakinkan kami. Jika kami terus sering libur, nanti kami di pecat dan kalau di pecat, siapa yang akan bantu ibu untuk membantu sedikit biaya adik-adik yang sudah mulai meninggi. Kami pun normal bekerja kembali seperti semula, tanpa mengambil cuti lagi.

Pada tengah malam di hari Sabtu, aku mendengar rintihan ibu di dapur, ketika aku mau mengambil air minum.

“Haduh, ya Allah.., kakiku sakit”, rintih ibu sembari memeriksa kakinya.

Dari situ aku tahu, bahwa ibu hanya pura-pura sembuh. Aku tidak jadi mengambil air minum di dapur. Kalau aku mengambil air minum, nanti ibu berpikir jika aku berhenti bekerja, itu karena aku tak ingin ibu terlalu banyak kerja. Bila sudah seperti itu, ibu akan berbohong lagi, menunjukkan dirinya mampu mengerjakan banyak kerjaan rumah dan memintaku untuk kembali mencari pekerjaan. Aku berniat untuk berhenti dan memikirkan apa yang harus kulakukan agar tetap mendapatkan penghasilan tapi tetap bisa membantu ibu di rumah.

                        “Jadi, ibu bohong sama kita kak?”, Tanya Nisa. Aku mengangguk menjawabnya.

                        “Terus, gimana ni kak. Apa kita sebaiknya berhenti dan jualan di depan rumah?”.

“Gak usah. Kalau kita jualan di depan rumah. Nanti yang ada makin ribet. Kalau laris setiap hari alhamdulilah, tapi kan kalau usaha ini, apalagi usaha kecil belum tentu laris setiap saat. Disini juga daerahnya gak begitu rame dek”. Jelasku.

Kami terdiam beberapa saat. Masing-masing berpikir.

                        “Gini aja. Aku berhenti kerja dan kamu tetap bekerja”, ujarku.

“Ah, serius mau berhenti. Yakinlah?. Nanti aku gajian, kamu enggak. Emang kebutuhanmu sudah tidak menjadi kebutuhan lagi?. Mau tabunganmu sia-sia aja  untuk pulang ke kota kelahiran kita dan pasti nanti habis gitu aja”, ujar Nisa dan aku hanya diam pasrah.

Setelah seminggu, masuk bulan baru dan gaji pun menantikan pemiliknya. Aku sengaja menunggu seminggu lagi, agar gajiku full bulan ini. Lalu aku segera buat surat pengunduran diri, meski dengan berat hati sebenarnya, tapi aku berusaha yakin bahwa ini jalan terbaik.

 Aku pun resign dari tempat kerjaku, tanpa mendengarkan nasihat ibu untuk menyuruhku tetap bekerja. Aku dan Nisa tidak mengatakan kepada ibu, bahwa kami sudah tahu kalau kaki ibu masih sakit. Aku mulai mengembangkan hobiku yang dulu ingin kucapai. Walaupun aku tidak mendapat penghasilan lagi seperti Nisa selama sudah beberapa bulan ini. Aku mencoba untuk belajar bersabar. Yakin kalau rezeki tidak akan kemana.

Memilih ibu lebih baik daripada pekerjaanku. Daripada aku terus bekerja dan ibu sakit-sakitan mengerjakan pekerjaan rumah, serta mengurus adik-adik. Aku tidak mau ibu kenapa-kenapa. Karena hidup tanpa ibu, tak akan semangat bagiku dan bagi semua anak di dunia ini pastinya. Perlahan aku memenangkan beberapa perlombaan menulis dan aku terus belajar dan belajar untuk membuat novel, meski belum diterima di penerbit mayor.

Kegiatan menulis di rumah bisa ku lakukan setelah tugas rumah di pagi hari selesai, bapak pergi bekerja dan adik-adik pergi sekolah. Aku tenang di rumah bersama ibu. Jadi aku bisa fokus menulis tanpa panggilan bapak yang bulak-balik.

Beberapa bulan aku telah menganggur, menyebabkan banyak suara-suara yang tak menyenangkan. Dari mereka yang tak yakin membaca cerpen dan artikel yang aku publish di akun kompasiana, karena belum membuahkan hasil. Mereka anggap aku penulis abal-abal. Bagi sebagian orang menganggap, jadi penulis berarti jadi penulis terkenal yang cerita novelnya di filmkan atau mendapatkan gelar best seller pada buku si penulis, barulah itu namanya penulis. Aku mencoba mengabaikan apa yang orang-orang nilai.

Setahun aku menganggur dan hanya menulis cerpen-cerpen, artikel serta satu novel, itupun novel penerbitan indie. Namun yang membuatku bangga, cerpen-cerpen itu dihargai dari lomba, juga berhasil diterima pada beberapa majalah dan Koran. Barulah orang-orang yang menilaiku penulis abal-abal tidak meremehkanku lagi. Meski, penghasilanku dihitung selama setahun tidak seberapa dengan adikku—Nisa, aku mencoba belajar bersyukur.

Hingga akhirnya aku sukses jadi penulis terkenal, setelah menulis dua novel penerbitan indie, karena gagal terus mencoba di penerbit mayor dan novel yang ketiga kalinya, alhamdulilah diterima. Sekarang, penghasilanku dari menulis lebih lumayan dari aku bekerja sebagai pegawai bank. Karena tak hanya menulis, sesekali aku dipanggil beberapa media dan kampus-kampus sebagai pemateri dalam bidang menulis. Dari penghasilanku yang sekarang, aku juga bisa membantu biaya sekolah adikku bersama Nisa dan menggaji pembantu untuk membantu ibu, bila aku lagi benar-benar sibuk. Kalau sudah memilih ibu berarti Tuhan pun ridho, dan bila Tuhan sudah ridho, maka mendatangkan keberkahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun