Tekanan dari keluarga tergugat dalam perkara ini menciptakan lingkungan yang tidak mendukung dan tidak kondusif bagi penggugat. Harapan dan tuntutan yang terus menerus dari pihak keluarga tergugat dapat mengikis kepercayaan diri dan kesejahteraan emosional penggugat. Dalam banyak kasus, tekanan ini bisa memanifestasikan dirinya dalam bentuk komentar yang menyakitkan, perlakuan diskriminatif, atau bahkan campur tangan yang berlebihan dalam urusan rumah tangga pasangan. Akibatnya, penggugat merasa terisolasi dan semakin tertekan.
Selain tekanan dari keluarga, sikap kasar tergugat juga memainkan peran besar dalam memperburuk situasi. Sikap kasar ini bisa berupa kekerasan fisik, verbal, atau emosional, yang semuanya berkontribusi terhadap lingkungan rumah tangga yang tidak aman dan tidak nyaman. Sikap kasar tergugat memperparah masalah yang sudah ada, membuat penggugat merasa tidak dihargai dan tidak dilindungi dalam pernikahan tersebut. Dalam jangka panjang, perlakuan kasar ini merusak hubungan secara mendalam dan membuat rekonsiliasi menjadi hampir tidak mungkin.
Ketidakmampuan memberikan keturunan dalam situasi ini menambah lapisan ketegangan yang signifikan dalam rumah tangga. Bagi banyak pasangan, ketidakmampuan memiliki anak bisa menjadi sumber tekanan emosional yang besar. Namun, ketika dikombinasikan dengan tekanan dari keluarga dan sikap kasar dari pasangan, masalah ini menjadi lebih kompleks dan sulit diatasi. Ketidakmampuan memberikan keturunan sering kali dianggap sebagai kegagalan, baik oleh pasangan itu sendiri maupun oleh keluarga besar, yang semakin memperuncing konflik dan memperburuk ketegangan yang ada.
Dalam konteks perselisihan yang tak terelakkan ini, pengadilan memandang bahwa ketidakmampuan memberikan keturunan bukanlah satu-satunya alasan perceraian, tetapi merupakan bagian dari serangkaian masalah yang lebih besar. Pasal 116 KHI memberikan landasan hukum bagi perceraian berdasarkan perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus. Dalam perkara ini, hakim menilai bahwa kombinasi dari tekanan keluarga, sikap kasar, dan ketidakmampuan memiliki keturunan menciptakan lingkungan yang sangat merusak, sehingga perceraian merupakan solusi yang paling adil dan realistis.
Keputusan hakim untuk mengabulkan perceraian dalam perkara ini menunjukkan pemahaman mendalam tentang kompleksitas dinamika rumah tangga. Hakim mempertimbangkan semua faktor yang menyebabkan ketegangan dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan, memastikan bahwa putusan yang diambil sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, putusan ini mencerminkan fleksibilitas dan sensitivitas hukum Islam di Indonesia dalam menangani kasus-kasus perceraian yang rumit, dengan memperhatikan berbagai aspek yang mempengaruhi kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.
Pandangan hakim dalam kedua perkara ini menekankan bahwa alasan utama perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh ketidakmampuan memberikan keturunan, bukan ketidakmampuan itu sendiri. Dalam kedua kasus tersebut, hakim melihat bahwa konflik yang terjadi akibat ketidakmampuan memiliki keturunan telah mencapai titik di mana rekonsiliasi menjadi hampir mustahil. Konflik yang terus-menerus ini menciptakan lingkungan yang tidak sehat dan tidak stabil, yang pada akhirnya membahayakan kesejahteraan emosional dan psikologis kedua belah pihak.
Dalam perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, ketidakmampuan tergugat untuk memberikan nafkah yang layak serta perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk menambah kompleksitas masalah yang ada. Ketidakmampuan memberikan keturunan menjadi katalis utama yang memicu perselisihan ini. Namun, masalah-masalah tambahan tersebut memperburuk situasi dan menambah beban emosional bagi penggugat. Hakim memutuskan bahwa kombinasi dari semua faktor ini membuat pernikahan tidak dapat dipertahankan.
Sementara itu, dalam perkara nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl, tekanan dari keluarga tergugat dan sikap kasar tergugat memperburuk ketegangan yang sudah ada akibat ketidakmampuan memberikan keturunan. Hakim mencatat bahwa tekanan dan tuntutan dari keluarga tergugat menciptakan beban tambahan yang tidak adil bagi penggugat, memperdalam jurang pemisah dalam hubungan mereka. Sikap kasar tergugat semakin mengikis fondasi pernikahan, membuatnya tidak layak untuk dilanjutkan.
Pandangan hakim dalam kedua kasus ini menunjukkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang tidak dapat didamaikan adalah inti dari alasan perceraian. Hakim menilai bahwa jika konflik ini tidak dapat diselesaikan melalui mediasi atau upaya rekonsiliasi lainnya, maka perceraian menjadi solusi terbaik untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dengan demikian, tujuan utama dari keputusan ini adalah untuk melindungi kesejahteraan kedua belah pihak dan menghindari kerugian emosional yang lebih dalam.
Dalam konteks hukum Islam, terutama sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dianggap sah jika perselisihan dan pertengkaran tidak dapat diselesaikan. Pasal 116 KHI memberikan landasan hukum bagi perceraian berdasarkan perselisihan yang terus-menerus. Hakim menggunakan pasal ini untuk menilai situasi konkret yang dihadapi oleh pasangan, memastikan bahwa keputusan yang diambil sesuai dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Hakim dalam kedua perkara ini menunjukkan kepekaan terhadap dinamika rumah tangga yang rumit. Mereka mempertimbangkan tidak hanya masalah ketidakmampuan memberikan keturunan, tetapi juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi hubungan. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa ketidakmampuan memiliki anak bisa menjadi sumber konflik yang signifikan, tetapi dampaknya bisa diperparah oleh masalah-masalah lain seperti perilaku buruk atau tekanan dari keluarga.