Selain itu, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana isu-isu terkait pernikahan dan perceraian ditangani dalam sistem peradilan agama. Penelitian ini menyoroti peran hakim dalam menerapkan hukum dengan cara yang responsif terhadap kondisi nyata yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Ini juga menunjukkan pentingnya keseimbangan antara teks hukum dan interpretasi kontekstual yang dapat menjawab kebutuhan keadilan substantif.
Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menegaskan bahwa meskipun tidak ada ketentuan eksplisit dalam KHI mengenai ketiadaan keturunan sebagai alasan perceraian, hakim dapat menggunakan fleksibilitas interpretatif yang diberikan oleh Pasal 116 KHI untuk mengakui dampak dari ketiadaan keturunan sebagai bentuk perselisihan yang sah untuk perceraian. Hal ini menunjukkan dinamika penerapan hukum Islam yang dapat menyesuaikan dengan berbagai situasi dan kondisi kehidupan nyata pasangan suami istri.
Pada perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, alasan perceraian tidak terbatas pada ketidakmampuan memberikan keturunan saja. Kasus ini juga mencakup berbagai faktor lain yang secara kolektif menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang berkepanjangan antara suami dan istri. Selain masalah ketiadaan keturunan, tergugat juga dituduh tidak memberikan nafkah yang layak serta menunjukkan perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk. Kombinasi dari berbagai faktor ini menjadi dasar yang kuat bagi hakim untuk mengabulkan permohonan perceraian.
Ketidakmampuan memberikan keturunan sering kali menjadi salah satu pemicu utama ketidakpuasan dalam pernikahan, terutama dalam konteks masyarakat yang sangat menghargai keberadaan anak dalam keluarga. Namun, dalam kasus ini, ketidakmampuan memberikan keturunan hanyalah salah satu dari beberapa alasan yang secara keseluruhan menyebabkan keretakan hubungan. Tindakan tergugat yang tidak memenuhi kewajiban nafkah menambah beban emosional dan finansial pada pihak penggugat, memperburuk situasi.
Selain ketidakmampuan memberikan nafkah yang layak, perilaku buruk tergugat seperti berjudi dan mabuk menciptakan lingkungan rumah tangga yang tidak sehat dan penuh konflik. Kebiasaan berjudi dapat mengakibatkan masalah keuangan yang serius, sementara perilaku mabuk sering kali berujung pada tindakan kekerasan atau perilaku destruktif lainnya. Kedua perilaku ini jelas bertentangan dengan tanggung jawab moral dan legal seorang suami dalam pernikahan.
Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan seluruh aspek yang diajukan oleh penggugat, tidak hanya fokus pada satu alasan saja. Penggabungan berbagai faktor negatif yang dialami oleh penggugat menunjukkan bahwa masalah dalam pernikahan mereka bersifat kompleks dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan berfokus pada satu isu. Pertimbangan ini menunjukkan pendekatan holistik yang digunakan oleh hakim dalam mengevaluasi situasi yang dihadapi oleh pasangan tersebut.
Perkara ini juga menyoroti pentingnya pemenuhan kewajiban dasar dalam pernikahan, seperti memberikan nafkah yang layak dan menjauhkan diri dari perilaku buruk. Ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban ini, hubungan pernikahan menjadi tidak stabil dan penuh konflik. Dalam konteks ini, ketiadaan keturunan hanya memperparah ketegangan yang sudah ada, tetapi bukan satu-satunya faktor yang memicu perceraian.
Hakim dalam kasus ini menggunakan Pasal 116 KHI sebagai landasan hukum untuk mengabulkan perceraian. Pasal ini menyebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus tanpa ada harapan untuk bisa berdamai lagi adalah alasan yang sah untuk perceraian. Dalam kasus nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl, jelas terlihat bahwa kombinasi dari ketidakmampuan memberikan keturunan, tidak memberikan nafkah yang layak, serta perilaku buruk tergugat memenuhi kriteria perselisihan yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Pendekatan yang digunakan oleh hakim ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas KHI dalam menghadapi berbagai situasi yang dihadapi oleh pasangan suami istri. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang menyebabkan perselisihan, hakim dapat memberikan putusan yang lebih adil dan sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi oleh pihak-pihak yang terlibat. Ini juga menunjukkan bahwa sistem peradilan agama berupaya untuk responsif terhadap kebutuhan keadilan substantif bagi para pihak yang berperkara.
Secara keseluruhan, perkara nomor 379/Pdt.G/2021/PA.Btl menunjukkan bahwa dalam kasus perceraian, tidak jarang ditemukan kombinasi berbagai faktor yang secara kolektif menyebabkan keretakan hubungan pernikahan. Ketidakmampuan memberikan keturunan, tidak memberikan nafkah yang layak, serta perilaku buruk seperti berjudi dan mabuk adalah faktor-faktor yang saling terkait yang berkontribusi pada perselisihan yang tidak dapat diselesaikan. Pendekatan holistik dalam menilai kasus perceraian seperti ini sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan keadilan dan kesejahteraan bagi kedua belah pihak.
Dalam perkara nomor 960/Pdt.G/2021/PA.Btl, alasan perceraian tidak hanya berkutat pada ketidakmampuan memberikan keturunan, tetapi juga melibatkan tekanan dari keluarga tergugat dan sikap kasar tergugat, yang memperburuk keadaan. Tekanan dari keluarga tergugat sering kali menambah beban emosional dalam pernikahan, terutama jika keluarga tergugat menuntut adanya keturunan sebagai bagian dari harapan mereka terhadap pernikahan tersebut. Ketidakmampuan memenuhi harapan ini dapat menyebabkan ketegangan tambahan yang berat bagi pasangan.