Dulu, enggak semua orang bisa jadi penulis. Namun, seiring perkembangan teknologi, semua orang bisa menulis. Setiap orang bebas menuangkan isi pikiran melalui tulisan. Riset?
Kalau dulu harus terjun ke lapangan atau bepergian ke suatu tempat untuk melakukan riset. Sekarang, riset bisa dengan mudah dilakukan meskipun kita hanya berada di satu kamar segi empat. Kita bisa pergi ke YouTube, Google, atau membaca cerita dan status update beberapa teman di Facebook. Bahkan untuk mengetahui seluk beluk suatu daerah, kita bisa menyusuri Google Maps. Setuju, kan?
Google. Adalah sebuah mesin pencarian yang paling banyak menjadi andalan. Jika kita mengetik satu kata saja, semua jawabannya ada di sana. Kemudahan teknologi membuat kita dengan cepat mencari ilmu di mana saja.
Namun, jika kita tidak menyaringnya dengan tepat, bukannya pintar, malah menyesatkan. Itulah kenapa selain mengandalkan Google, seorang penulis juga harus banyak membaca buku-buku sesuai referensi bahan tulisannya. Tanpa membaca, seorang penulis akan buta. Minim kosakata. Sehingga jika ditantang untuk menulis satu karya ilmiah dengan cepat, penulis itu akan rawan melakukan plagiarisme.
Apa yang membuat penulis melakukan plagiarism?
Minim Kosakata
Penulis punya ide, tetapi bingung bagaimana cara merangkai ide tersebut agar berkembang menjadi satu tulisan utuh. Kenapa? Karena penulis kurang baca. Seperti kita ketahui, makanan penulis adalah membaca. Tanpa membaca, penulis akan minim kosakata meskipun dia menguasai konsep tentang apa yang sebenarnya ingin dia tulis.
Dikejar Tenggat
Deadline membuat penulis melakukan jalan pintas untuk mengutip satu atau dua kalimat, kemudian ditempelkan ke dalam tulisannya.
Tidak mau berlatih menulis