Aruna dan Lidahnya pun filmnya selesai dibuat, dan membuat sebuah dunia baru bagi film Indonesia.
Media Pemersatu
Semua pasti punya teman, yang suka kita ajak berdiskusi ramah temeh hingga masalah yang berat sekalipun. Dalam diskusipun, karena latar belakang teman dan diri kita yang berbeda tiap detiknya, pasti pun akan menimbulkan pemikiran dan pemahaman yang berbeda terhadap topik yang didiskusikan.
Terkadang kita sependapar, terkadang kitapun berbeda pendapat.
Namun tidakkah kita sadari, bahwa media penghubung waktu dan ruang diskusi itu adalah makanan dan atau minuman?
Perkenalkan kami berempat yang berada dalam foto adalah kelompok tiga, dalam #tantanganKomik nonton bersama film Aruna dan Lidahnya.
Acara nonton bareng bersama KOMIK kali ini memang berbeda dari nonton bareng pada umumnya, karena kali ini, sebelum menonton film Aruna dan Lidahnya. Kamipun bersama-sama menikmati wisata kulineran di seputar bioskop lokasi pemutaran film dan menuangkan perasaan kami akan makanan maupun minuman yang telah kita santap.
Dalam foto, masing-masing menampilkan raut ekspresi wajah terbaiknya. namun tahukah kalian, dibalik waktu pengambilan foto ini. Jika waktu dimundurkan barang seperkian menit saja. Mungkin ekspresi terbaik ini berubah wujud menjadi diskusi seru, mengapa tempat ini yang dipilih untuk menjalani wisata kulineran. Tempat yang "konon" harganya lebih mahal, dibandingkan tempat wisata kulineran lain, yang dipilih oleh kelompok yang lainnya , dengan penekanan dugaan konon harganya lebih murah.
Perdebatanpun nyaris terjadi karena sudut pandang yang berbeda. Yang satu lebih memandang pada nilai harga, sedangkan yang satu lagi lebih menekankan pada mudahnya akses bertemu bagi yang datang terlambat. Yang lain, sibuk dengan pikirannya masing-masing dan terbenam dalam pesona kenikmatan makanan atau minuman yang sedang disantap.
Adegan ini ada juga esensinya pada film Aruna dan Lidahnya. Adegan dimana berkumpul bersama, saat pikiran sedang sibuk dengan pendapatnya masing-masing serta diskusi yang berbuah pada perbedaan pendapat, namun belum meletup menjadi puncak keributan.
Kembali pada foto , maka dalam waktu sekian menit ke depannya, kamipun sibuk berpose nan manis , seolah menampilkan semua baik-baik saja dan akur-akur saja. Semua terlihat sedang bahagia, karena kenyang dan nikmatnya makanan dan minuman yang telah maupun sedang disantap.
Diskusi, perdebatan, dialog yang berbeda maupun sama pun seolah terbalut dalam benang merah yang universal, yaitu makanan dan minuman. Walaupun berbeda, kami tetap berada di ruang itu karena makanan dan minuman.
Makanan dan minuman pun menjadi media pemersatu
Berbagi bersama
Bagi yang sudah menonton film Aruna dan Lidahnya, tentu ingat akan momen di saat Aruna dan Bono ataupun Nad dan Farish, Â saling berbagi makanan yang sedang dimakannya dari satu mangkuk atau piring, dicicipi bersama-sama sambil mengomentari cita rasa makanan tersebut, pembuatan , komposisi hingga tiba-tiba berbagi hal yang hanya dirasakan saja menjadi sebuah ucapan yang membentuk pemikiran kebersamaan ataupun momen perpisahan.
Momen itu hanya dapat terjadi saat dunia makanan dan minuman menyatu dan membuka pikiran terdalam serta mengakibatkan rasa jujur mengungkapkan isi hati dan perasaannya. Terlebih jika makanan dan minuman itu terasa cocok sekali dengan citra rasa indra perasa kita. Namun apabila tidak sesuai, maka rasa pun seolah menjadi rasa yang hanya kita sendiri fahami artinya dan bagi yang lain seolah hal yang absurd
Ah, anda bingung membaca tulisan saya?
Biasakanlah, karena dalam tiap scene film Aruna dan Lidahnya , banyak sekali bahasa filsafat bermain dan dengan digawangi oleh sang sutradara , Edwin. Bahasa filsafat ini terbalut dan tersimpul dalam, yang hanya dapat difahami setelah menonton untuk kesekian kalinya film Aruna dan Lidahnya, serta obrolan santai hingga serius akan film ini.
Jika hanya menonton sekali, yang ada rasakan mungkin hanya laper baper saja.
Namun bagi kamu yang ingin melihat tontonan santai tanpa mau memutar otak, film ini juga masih bisa dinikmati. Namun baiknya tentu bersama teman-teman, agar dapat saling menggosip dan yang penting "tidak kelaparan " sendirian saat sedang dan sehabis menonton film Aruna dan LidahnyaÂ
Imajinasi Liar
Dalam artikel awal mengenai fil ini : artikel awal
Telah saya ceritakan bahwa dunia imajinasi manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Bagaimana kita melihat imajinasi Aruna yang liar akan obsesinya pada makanan , Â menjelma dalam permainan mimpi yang absurd dan aneh bagi penonton yang melihatnya.
Disini saya merasa takjub akan penggambaran imajinasi ini, namun agak kecewa pada teknik penerapannya. Ingin berandai-andai saja.
Jika saat penggambaran imajinasi aruna dalam film, diberi pembuka atau penanda , agar kita bersiap-siap memasuki dunia mimpi, mungkin banyak penonton yang tidak rancu dalam mengetahui adegan yang dimaksud .
Sebagai contoh:
1.Adegan Aruna berjalan ke dapur , membuka lemari es, menatap nanar dan akhirnya mengambil potongan jeruk nipis dan memerasnya dengan tangan langsung ke dalam mulutnya.
Adegan ini sempat menimbulkan tanda tanya, di beberapa obrolan dengan teman-teman. Ada yang tidak menyadari kalau adegan ini adalah termasuk dalam mimpi dari imajinasi Aruna.
2. Ataupun adegan saat Nad dan Bono masuk ke dalam kapal, minum , bergoyang dan terbuai dengan lagu disko. Bagi yang peka, langsung faham akan bahasa perlambang, namun bagi yang tidak, dan radar pemikiran mungkin sudah bolot ataupun tak mau ambil pusing , maka walaupun sudah dijelaskan berulang kalipun , tetap saja tidak faham.
"oh, tidak ...."
Itulah sebabnya nilai jatuh pada 8/10
Apapun itu, tak lupa nikmatilah kebersamaan dalam hidup ini, seperti yang teman-teman KOMIK lakukan . Cek dulu yuk
Jadi kamu sudah nonton bareng film Aruna dan Lidahnya berapa kali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H