Mohon tunggu...
Nusyaibah Ainun Mardhiyah
Nusyaibah Ainun Mardhiyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Let it flow aja~

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Review Buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

13 Maret 2024   00:30 Diperbarui: 13 Maret 2024   00:31 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seno Aris Sasmito, S.H.I., M.H.

Fakultas Syariah Universitas Islam Negri Raden Mas said Surakarta

Nusyaibah 'Ainun Mardhiyah

222121074

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstrak : 

   Perkawinan adalah perjanjian suci antara seorang lelaki dan seorang wanita yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), rukun dan syarat perkawinan merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Syarat perkawinan menentukan keabsahan perbuatan ini sebagai ibadah. Larangan perkawinan mengatur bahwa tidak boleh ada halangan perkawinan antara pasangan suami istri. Hak dan kewajiban dalam perkawinan harus berjalan seimbang agar tercipta hubungan yang harmonis. Hak suami berkaitan dengan apa yang diberikan oleh istri kepada suami, sedangkan kewajiban berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh suami kepada istri. UU No. 1 Tahun 1947 mengatur hak dan kewajiban suami istri, termasuk nafkah materiil dan nonmateriil. Nafkah materiil mencakup kebutuhan seperti pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak-anak. Selain itu, dalam istilah fikih, putusnya perkawinan disebut “talak,” yang berarti membatalkan perjanjian dan mengakhiri hubungan perkawinan. Dengan memahami rukun, syarat, hak, kewajiban, dan konsep talak, kita dapat membangun hubungan perkawinan yang seimbang, saling menghormati dan harmonis.

Keywords: perkawinan; suami; istri; hubungan.

Pendahuluan 

Seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan di Indonesia semakin kompleks. Penting bagi individu yang ingin memasuki tahap yang lebih serius untuk memiliki pemahaman yang memadai tentang pernikahan. Pemahaman ini mencakup tujuan pernikahan, syarat dan rukun perkawinan, larangan perkawinan, pencegahan perkawinan, perjanjian dalam pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri, serta nafkah baik fisik maupun emosional. Selain itu, pemahaman tentang hukum putusnya pernikahan, berbagai bentuk perceraian, prosedur perceraian, dan konsekuensi hukumnya juga penting. Begitu pula dengan pengetahuan mengenai pernikahan campuran, nikah siri, itsbat nikah, dan harta bersama.

Hasil dan Pembahasan 

Perkawinan

1. Pengertian perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin”, dan secara istilah mengacu pada perjanjian suci antara seorang lelaki dan seorang wanita. tujuannya membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Dalam literasi fikih, pernikahan diartikan sebagai akad atau perjanjian yang mengikat diri antara dua individu dengan tujuan untuk menghalalkan hubungan kelamin berdasarkan kerelaan dan ridha Allah SWT. 

2. Tujuan Perkawinan

Menurut Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri. Tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kompilasi Hukum Islam juga menggambarkan perkawinan sebagai akad yang kuat untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan ibadah. Meskipun Undang-Undang tidak secara khusus menyebutkan tujuan pernikahan, menurut M. Quraish Shihab, perkawinan adalah perjanjian yang kokoh dan suci antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang penuh kasih sayang, tenteram, dan abadi. Kompilasi Hukum Islam menekankan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang penuh kedamaian, cinta, dan rahmat.

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan

Rukun perkawinan adalah elemen-elemen yang harus ada dalam sebuah pernikahan. Jika salah satu rukun tidak terpenuhi, pernikahan dianggap tidak sah. Beberapa rukun perkawinan meliputi:

  • Calon Suami
  • Calon Istri
  • Wali Nikah
  • Dua Orang Saksi
  • Ijab dan Qabul

Syarat perkawinan adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar pernikahan dianggap sah. Dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada perbedaan antara rukun dan syarat perkawinan. Keduanya merupakan bagian yang sulit dipisahkan. Syarat perkawinan menentukan keabsahan perbuatan ini sebagai ibadah.  

4. Larangan Perkawinan 

Pasal 18 dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan jika tidak ada larangan yang menghalanginya. Artinya, perkawinan tidak sah jika terdapat larangan tertentu. Salah satu contoh larangan tersebut tercantum dalam Pasal 39, yang melarang perkawinan antara dua pria. Larangan ini berlaku karena:

  1. Pertalian Nasab: Terdapat hubungan darah yang menghalangi pernikahan.
  2. Pertalian Kerabat Semenda: Hubungan keluarga yang dekat, seperti saudara tiri atau saudara sepupu.
  3. Pertalian Susuan: Hubungan susuan, misalnya antara anak susuan dan ibu susuan.

Semua larangan ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan dan ketentraman dalam institusi perkawinan.

 

Hak dan Kewajiban Suami Istri

  1. Hak dan Kewajiban Suami Istri: Hak dan kewajiban dalam perkawinan adalah hubungan yang saling terkait antara suami dan istri. Keseimbangan antara keduanya sangat penting untuk menciptakan perkawinan yang harmonis. Hak suami melibatkan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami, sementara kewajiban suami berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan oleh suami terhadap istri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 hingga pasal 34.

  2. Nafkah: Nafkah merujuk pada barang-barang yang harus diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Nafkah dapat dibagi menjadi dua jenis: materiil dan nonmateriil. Nafkah materiil mencakup pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur nafkah dalam pasal 34 ayat (1), yang menegaskan bahwa suami wajib melindungi istri dan menyediakan segala kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Meskipun nafkah menjadi kewajiban suami terhadap istri, istri juga memiliki hak untuk membebaskan suaminya dari kewajiban menafkahinya. Pasal 80 ayat (6) menyatakan: “Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) huruf a dan b.”

 

Putusnya Perkawinan

1. Pengertian dan Dasar Hukum Putusnya Perkawinan

    Dalam istilah fikih, putusnya perkawinan disebut dengan kata “talak,” yang berarti membatalkan ikatan dan mengakhiri perjanjian perkawinan. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak sebagai tindakan melepaskan ikatan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, putusnya perkawinan didefinisikan dalam Bab XVI Pasal 129, 130, dan 131. Istilah “putusan perkawinan” digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk merujuk pada “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah hidup sebagai suami istri.

2. Macam-macam Bentuk Perceraian

menurut KHI Pasal 114, putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Bentuk atau macam-macam perceraian dalam KHI dijelaskan dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124, sebagaimanna berikut:

a.  Talak raj”i

Talak satu atau dua, dalam talak ini suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.

b. Talak ba”in sugra

Talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam keadaan iddah.

c.  Talak ba’in kubra

Talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan telah habis masa iddahnya.

d. Talak sunni

Talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

e. Talak bid”i

Talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

f. Khulu’

Perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwadl) kepada dan atas persetujuan suaminya. Dalam pasal 124 dijelaskan khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116 KHI.

g. Li’an

Seorang  suami menuduh istri berbuat zina dan/atau mengingkari anak yang dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut.

Macam-macam perceraian menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Cerai talak

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 66 adalah seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan umtuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.

b. Cerai gugat

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 73 adalah gugatan perceraian yang diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat keadilan penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.

3. Tata Cara Melakukan Perceraian

     Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 39 menjelaskan bahwa jika pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak pada sidang, dan terdapat cukup alasan bahwa suami istri tidak akan dapat hidup rukun, maka salah satu pihak dapat mengajukan proses perceraian melalui sidang pengadilan. 

4. Akibat Hukum Perceraian 

     Perceraian pada dasarnya tidak dilarang, selama alasan-alasan perceraian tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Akibat hukum dari perceraian mencakup berbagai aspek, baik dalam hukum keluarga, hukum kebendaan, maupun hukum perjanjian. 

       a. Terhadap Hubungan Suami Istri

      erceraian memiliki konsekuensi hukum yang terkait dengan status suami atau istri. Setelah ikatan perkawinan terputus karena perceraian, baik suami maupun istri memiliki kebebasan untuk menikah lagi. Namun, bagi mantan istri, perlu memperhatikan masa iddah atau waktu tunggu. Iddah dilakukan untuk memastikan apakah istri sedang dalam keadaan hamil atau tidak.  

       b. Terhadap Pembagian Harta Bersama

      Setelah perceraian, masalah harta kekayaan sering kali menjadi perhatian. Harta bersama dapat menjadi sumber konflik, terutama ketika terjadi perceraian antara suami dan istri atau selama proses perceraian berlangsung di pengadilan agama. Berbagai masalah hukum dapat muncul terkait dengan pembagian harta tersebut. 

     c. Terhadap Nafkah

Dalam perkawinan, nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 34 ayat (1), menegaskan bahwa suami harus melindungi istrinya dan menyediakan segala kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Namun, ketika terjadi perceraian, kewajiban ini tidak berlaku lagi sesuai dengan syarat dan ketentuannya.

Undang-Undang Perkawinan, dalam Pasal 41 huruf c, mengatur kemungkinan pembiayaan setelah perceraian. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menetapkan kewajiban tertentu bagi bekas istri. Jika bekas istri tidak memiliki mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, bekas suami harus memberikan biaya hidup hingga bekas istri menikah lagi dengan pria lain.

    d. Terhadap Anak 

     Orang tua yang bercerai tidak langsung terbebas dari kewajiban terhadap anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pemeliharaan anak ditentukan berdasarkan keturunan yang sah sebagai anak kandung. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “anak yang sah” adalah yang lahir dalam atau sebagai hasil dari perkawinan yang sah. Namun, anak yang lahir di luar pernikahan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai dengan Pasal 43 ayat 1. 

Problematika Dalam Hukum Perkawinan

1. Perkawinan Campuran

   a. pengertian

     Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang memiliki kewarganegaraan berbeda di Indonesia. Dalam situasi ini, salah satu pihak adalah warga negara Indonesia (WNI), sementara pihak lainnya adalah warga negara asing (WNA). Pasal 58 dari undang-undang yang sama menyatakan bahwa dalam perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan, suami atau istri dapat memperoleh kewarganegaraan pasangan mereka, atau bahkan kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jadi, secara singkat, perkawinan campuran adalah pernikahan antara dua orang dengan kewarganegaraan yang berbeda, di mana salah satunya adalah WNI dan yang lainnya adalah WNA. 

      b. keabsahan perkawinan campuran

      Menurut Pasal 56 terkait perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia dengan salah satu pihaknya adalah orang asing, prosesnya harus mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Jika perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut hukum negara tersebut, maka ketika pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia, perkawinan mereka harus diakui keabsahannya. Prinsip ini didasarkan pada hukum perdata internasional yang mengenal konsep lex loci celebrationis, yaitu bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh hukum dari negara di mana perkawinan itu diselenggarakan. Di sisi lain, jika perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia, maka prosesnya mengikuti tata cara perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang mengenai prosedur perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip locus regit actum, yang menyatakan bahwa bentuk perbuatan hukum diatur oleh hukum negara di mana perbuatan tersebut dilakukan. 

    c. Akibat Hukum Perkawinan Campuran

  • Kewarganegaraan

      Berdasarkan Pasal 58, dalam perkawinan campuran yang melibatkan pihak-pihak dengan kewarganegaraan berbeda, seseorang yang menikah dapat kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Penting untuk dicatat bahwa status kewarganegaraan istri tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suami, dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, baik suami maupun istri memiliki potensi untuk kehilangan kewarganegaraannya akibat dari perkawinan campuran. 

  • Harta benda 

Menurut Undang-Undang Perkawinan, ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 35 hingga Pasal 37. Di sisi lain, KUH Perdata mengatur lebih rinci mengenai harta kekayaan perkawinan melalui Pasal 119 hingga Pasal 198. Dalam konteks ini, harta benda dibagi menjadi dua jenis: harta bersama (juga dikenal sebagai harta gono-gini) dan harta bawaan atau harta asal.

  1. Harta Bersama:

    • Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempermasalahkan terdaftar atas nama siapa.
    • Status harta tersebut menjadi bersama jika tidak ada perjanjian mengenai kepemilikan.
    • Suami dan istri dapat mengelola harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak.
  2. Harta Bawaan:

    • Harta bawaan adalah harta milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagai hadiah atau warisan.
    • Termasuk dalam harta bawaan:
      • Harta yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan, termasuk utang-utang yang belum dilunasi.
      • Harta yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian, kecuali ada ketentuan lain.
      • Warisan yang diterima oleh masing-masing pihak, kecuali ada ketentuan lain.
      • Hasil dari pengelolaan harta pribadi selama perkawinan berlangsung, termasuk utang-utang yang timbul dalam pengurusan harta pribadi tersebut.

     Pada Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah meskipun perolehannya merupakan perolehan dari akibat adanya harta bersana, yaitu percampuran harta dalam perkawinan.

  • Status Anak     

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, akibat dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 62. Pasal ini menyatakan bahwa status anak dalam perkawinan campuran diatur oleh Pasal 59 ayat (1) dari undang-undang yang sama.

Dalam konteks ini, anak yang lahir sebagai hasil dari perkawinan campuran memperoleh hak-hak hukum baik dari segi hukum publik maupun hukum perdata dari ayahnya. Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran, kita harus merujuk pada ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.

Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 mengikuti prinsip ius sanguinis (hak darah). Menurut Pasal 1 huruf b, seseorang dianggap memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya (seorang warga negara Indonesia) jika hubungan tersebut sudah ada sebelum anak berusia 18 tahun atau sebelum anak menikah di bawah usia 18 tahun.

Dengan demikian, keturunan dan hubungan darah antara ayah dan anak menjadi dasar untuk menentukan status kewarganegaraan anak yang lahir dalam perkawinan. Jika anak dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka kewarganegaraan ayah secara otomatis menentukan kewarganegaraan anak.

 

2. Nikah Siri 

Pengertian 

Nikah Siri adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan telah diterapkan dalam bahasa Indonesia. Secara harfiah, “nikah siri” berarti pernikahan yang dirahasiakan. Dalam pengertian istilah, nikah siri merujuk pada pernikahan yang dilangsungkan tanpa melibatkan petugas pencatat nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Akibatnya, pasangan suami-istri yang menikah secara siri tidak memiliki surat nikah yang sah. Istilah “nikah di bawah tangan” juga sering digunakan untuk menggambarkan situasi ini. Penting untuk dicatat bahwa keberadaan istilah “nikah di bawah tangan” berkaitan dengan legalitas pernikahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan.

3. Itsbat Nikah

    a. Pengertian

Itsbat adalah kata yang berasal dari bahasa Arab dan memiliki arti “penetapan,” “penyungguhan,” atau “penentuan.” Dalam konteks pernikahan, istilah ini mengacu pada penetapan atau pengakuan atas suatu pernikahan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Namun, pernikahan semacam ini belum atau tidak dicatatkan oleh pejabat yang berwenang, seperti pegawai pencatat nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA).

Proses itsbat merupakan hasil dari pengadilan agama, meskipun bukan pengadilan yang sesungguhnya. Istilah ini disebut jurisdictio voluntair, yang berarti bahwa perkara ini bersifat permohonan dan tidak melibatkan pihak lawan. Dalam kasus itsbat nikah, hanya ada pemohon yang meminta penetapan status pernikahan. Prinsip ini sesuai dengan hukum perdata internasional yang mengatur bahwa bentuk perbuatan hukum ditentukan oleh hukum negara di mana perbuatan tersebut dilakukan.

    Beberapa perkara yang bisa diajukan ke pengadilan agama, sebagai berikut:

  • Penetapan wali pengampu bagi ahli waris yang tidak mampu untuk melakukan tindakan hukum.
  • Penetapan pengangkatan wali.
  • Penetapan pengangkatan anak.
  • Penetapan nikah (itsbat nikah).
  • Penetapan wali adhal.

     b. Dasar Hukum   

Dalam sejarahnya, kewenangan pengadilan agama terkait perkara itsbat nikah awalnya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan perkawinan di bawah tangan sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan diberlakukan. Pasal 7 Ayat (2) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan bahwa jika perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akad nikah, maka itsbat nikah dapat diajukan ke pengadilan agama. Selain itu, Pasal 7 Ayat (3) KUHPerdata membatasi jenis perkara itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu:

  1. Perkawinan dalam Rangka Penyelesaian Perceraian: Itsbat nikah dapat diajukan jika terjadi perceraian.
  2. Hilangnya Akta Nikah: Jika akta nikah hilang, itsbat nikah dapat dimohonkan.
  3. Keraguan tentang Syarat Pernikahan: Jika ada keraguan mengenai sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.
  4. Perkawinan Sebelum Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: Itsbat nikah dapat diajukan untuk perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang tersebut berlaku.
  5. Perkawinan oleh Mereka yang Tidak Memiliki Halangan Pernikahan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: Jika salah satu pihak tidak memiliki halangan perkawinan menurut undang-undang.

Dengan demikian, KUHPerdata memberikan kewenangan lebih kepada pengadilan agama daripada yang diberikan oleh undang-undang, baik Undang-Undang No. 7 tahun 1974 tentang perkawinan maupun Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 

 

4. Harta Bersama 

a. Pengertian 

Diskusi mengenai harta bersama sangat penting dalam sebuah keluarga. Terkadang, pasangan suami-istri menghadapi masalah pembagian harta bersama setelah bercerai. Sayangnya, masalah ini seringkali tidak dipertimbangkan oleh calon pengantin saat akan menikah. Mereka cenderung berpikir bahwa pernikahan adalah ikatan abadi, tanpa mempertimbangkan kemungkinan perceraian. Akibatnya, masalah harta bersama baru muncul setelah perpisahan.

Istilah “harta gono-gini” lebih populer di masyarakat daripada “harta bersama,” meskipun keduanya memiliki arti yang sama. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah “gonogini” merujuk pada harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga dan menjadi hak bersama suami dan istri.

b. Dasar Hukum 

Konsep harta bersama sebenarnya tidak ada dalam hukum Islam. Istilah ini berasal dari adat istiadat dan tradisi di Indonesia, dan setiap daerah memiliki cara sendiri dalam membagi harta bersama. Meskipun demikian, konsep ini didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

Kesimpulan 

   

Perkawinan memiliki akar dari kata “kawin” dan secara istilah merujuk pada perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Rukun perkawinan adalah elemen-elemen yang harus ada agar pernikahan sah, termasuk calon suami, calon istri, wali dari calon istri, dua orang saksi, dan ijab kabul. Dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada perbedaan antara rukun dan syarat perkawinan; keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Syarat perkawinan menentukan keabsahan perbuatan ini dan juga berlaku dalam perkawinan yang bernilai ibadah.

Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa pasangan suami-istri tidak boleh memiliki halangan perkawinan tertentu untuk melangsungkan pernikahan.

Hak dan kewajiban merupakan hubungan yang saling berkaitan dalam ikatan perkawinan antara suami dan istri. Keseimbangan antara hak dan kewajiban keduanya penting untuk menciptakan pernikahan yang harmonis. Hak suami terkait dengan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami, sementara kewajiban suami berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan untuk istri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 hingga pasal 34. Nafkah dibagi menjadi dua jenis: nafkah materiil dan nonmateriil. Nafkah materiil mencakup pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak-anak. 

Putusnya perkawinan dalam istilah fikih disebut dengan kata “talak,” yang berarti membuka ikatan dan membatalkan perjanjian. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan pernikahan itu sendiri.

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak memiliki kewarganegaraan Indonesia. Menurut Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan campuran yang melibatkan kewarganegaraan yang berbeda dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istri, dan juga dapat kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan undang-undang.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun