Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, akibat dari perkawinan campuran diatur dalam Pasal 62. Pasal ini menyatakan bahwa status anak dalam perkawinan campuran diatur oleh Pasal 59 ayat (1) dari undang-undang yang sama.
Dalam konteks ini, anak yang lahir sebagai hasil dari perkawinan campuran memperoleh hak-hak hukum baik dari segi hukum publik maupun hukum perdata dari ayahnya. Untuk mengetahui status anak yang lahir dalam perkawinan campuran, kita harus merujuk pada ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.
Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 mengikuti prinsip ius sanguinis (hak darah). Menurut Pasal 1 huruf b, seseorang dianggap memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya (seorang warga negara Indonesia) jika hubungan tersebut sudah ada sebelum anak berusia 18 tahun atau sebelum anak menikah di bawah usia 18 tahun.
Dengan demikian, keturunan dan hubungan darah antara ayah dan anak menjadi dasar untuk menentukan status kewarganegaraan anak yang lahir dalam perkawinan. Jika anak dilahirkan dalam perkawinan yang sah, sesuai dengan Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka kewarganegaraan ayah secara otomatis menentukan kewarganegaraan anak.
2. Nikah Siri
Pengertian
Nikah Siri adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan telah diterapkan dalam bahasa Indonesia. Secara harfiah, “nikah siri” berarti pernikahan yang dirahasiakan. Dalam pengertian istilah, nikah siri merujuk pada pernikahan yang dilangsungkan tanpa melibatkan petugas pencatat nikah atau Kepala Kantor Urusan Agama (KUA). Akibatnya, pasangan suami-istri yang menikah secara siri tidak memiliki surat nikah yang sah. Istilah “nikah di bawah tangan” juga sering digunakan untuk menggambarkan situasi ini. Penting untuk dicatat bahwa keberadaan istilah “nikah di bawah tangan” berkaitan dengan legalitas pernikahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dalam Undang-Undang Perkawinan.
3. Itsbat Nikah
a. Pengertian
Itsbat adalah kata yang berasal dari bahasa Arab dan memiliki arti “penetapan,” “penyungguhan,” atau “penentuan.” Dalam konteks pernikahan, istilah ini mengacu pada penetapan atau pengakuan atas suatu pernikahan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Namun, pernikahan semacam ini belum atau tidak dicatatkan oleh pejabat yang berwenang, seperti pegawai pencatat nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA).