Mohon tunggu...
Nusman Nagara Muzira (aga)
Nusman Nagara Muzira (aga) Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Islam di Tanah Buton

12 Mei 2018   22:17 Diperbarui: 12 Mei 2018   22:28 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MASJID tua Wawoangi merupakan salah satu fakta bukti sejarah masuknya siar Islam di Pulau Buton. Masjid dengan model klasik zaman old menjadi saksi masuknya peradaban Islam di tanah Buton yang menjadi negeri khalifatul khamis. 

Masjid tua itu menjadi bukti sejarah peradaban islam hingga jaya pada sistem pemerintahan kesultanan Buton. Kejayaan masa kesultanan Buton juga sangat disegani di nusantara. Terlebih dari berbagai literatur sejarah kesultanan Buton merupakan bagian dari Turki Usmani. Loh kok bisa, seperti apa peradaban islam masuk di tanah Buton?

KONON masjid ini merupakan yang pertama berdiri sejak pertama kali Syekh Abdul Wahid membawa syiar Islam di tanah Buton. Masyarakat sekitar meyakini masjid ini sangat berkat (Kabarakati Masigi Wawoangi) dan menyimpan cerita mistis.

Untuk menuju Desa Wawoangi, Kecamatan Sampolawa sekitar 1 jam dari Kota Baubau. Setengah jam dari ibukota Kabupaten Busel, Batauga. Dan Masjid Tua itu terletak di atas bukit di Desa Wawoangi.

Dari pemukiman warga dusun Laguali, Desa Wawoangi, jarak masjid barakati itu mencapai 3 kilometer. Sarana jalannya pun sudah bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun empat. Namun medannya cukup menantang, sebagian jalannya masih pengerasan. Namun sebagian diantaranya sudah teraspal. Di sepanjang jalan ada kawasan pertanian umbi-umbian dan pisang serta pertanian jangka panjang milik masyarakat.

Dari Masjid Tua itu, pemandangan hampir seluruh wilayah desa di Sampolawa dapat dilihat dari bukit Wawoangi. Dari sisi kiri masjid dapat menyaksikan pemukiman warga Kelurahan Katilombu, Jayabakti dan sekitarnya. Tampak jelas pula Desa Tira sejumlah kapal Boti alias Phinisi tampak jelas berjejer terpakir menghiasi bibir perairan Desa Tira.

Tampak jelas juga pasir putih menghiasi mata keelokan pantai Lagundi Desa Bahari.

Tampak dari depan lautan bebas laut Flores, sisi bagian selatan jika cuaca mendukung terlihat pula pulau Batuatas. Di atas bukit itu pula tampak jelas barisan rumah warga Desa Bahari, pasir putih di sepanjang desa tersebut menghiasi pandangan mata. Begitupun lautan lepas laut Banda. Di bagian barat tampak jelas benteng yang hingga kini belum digarap potensi wisatanya dinas terkait.

Masjid Tua Wawoangi ini jauh dari kebisingan kendaraan, maupun pemukiman warga. Untuk menunaikan shalat pun dijamin khusu. Kerap tiap malam Jumat, masyarakat wilayah sekitar menunaikan ritual ibadah menghadap kepada sang khalik, sang pencipta alam semesta Allah SWT.

Masjid yang kokoh berdiri di atas bukit, kesejukan alamnya, kerindangan pepohonan, menambah keheningan bila menunaikan ibadah. Angin sepoi-sepoi bertiup dari segala penjuru, udara yang masih segar alami menambah khusunya para jamaah yang ingin beribadah di Masjid Tua itu.

Di paling depan pintu masuk Masjid Tua ada makam yang diyakni Sultan Buton ke -7, La Ode Saparigau atau yang dikenal Syarifuddin Jamal. Selain itu juga ada makam La Ode Gafari (Sangia Rauro, ayah Sultan Buton ke-7, red). Dua makan tersebut berada tepat di depan dipintu utama masjid tertua tersebut. Dan beberapa makam lainya keluarga sahabat, prajurit pengawal Sultan. Di atas kuburan ini ditumbuhi cempaka.

Salah seorang tokoh masyarakat Wawoangi, La Ode Strimah mengisahkan, pertama kali Masjid Tua Wawoangi didirikan Syekh Abdul Wahid diperkirakan tahun 1627. Kala itu, menurut sejumlah riwayat yang diketahuinya disebutkan bahwa Islam pertama masuk di Buton melalui wilayah perairan Burangasi, Kecamatan Lapandewa. Usai mendarat dan menginjakan kakinya pertama kali di selatan pulau Buton itu, beliau bergerak menuju Wawoangi.

Setelah menginjakan kakinya pertama dan menyerukan Islam kepada masyarakat lokal di Burangasi, Syekh Abdul Wahid konon diilhami dan melihat pancaran sinar terang di wilayah tempat berdirinya Masjid Tua itu. Masjid ini menjadi pusat pengkajian Islam di Wawoangi.

Dari Burangasi kemudian bergerak menuju gunung tempat berdirinya Masjid Tua Wawoangi. Usai didirikan menjadi pertama kali menyiarkan Islam di wilayah tersebut. Masyarakat sekitar kemudian diajarkan Islam. Yang tadinya konon masih menganut Agama Budha.

Seiring perkembangan zaman, pada tahun tahun 1967 saat zaman geopolitik faham PKI masuk wilayah tersebut, kala itu terjadi kerusuhan sosial politik di Sampolawa dan sekitarnya. Masjid Tua itu rusak total, ratah dengan tanah hanya tersisahkan beberapa puing.

La Ode Strimah mengisahkan pula, pada tahun 1973 masyarakat wilayah Wawoangi (Kangkele-Ndauli). Kini ada tiga Desa Wawoangi, Watiginanda dan Bangun tersebut berembuk untuk rencana dibangun kembali masjid tersebut.

Pada tahun 1989 dilakukan pembersihan lokasi pembangunan Masjid Tua itu. Pada tahun 2000 masjid tua tersebut kembali didirikan dengan dilakukan pemugaran dengan tidak merubah bentuk keasliannya.

"Dananya pertama kita dari dana swadaya masyarakat kita kumpul-kumpul, pemugaran masjid ini kita tidak lakukan perubahan bentuk, tinggi, bentuknya rangkanya tidak dilakukan perubahan. Tapi setelah berkembangnya zaman dibuatkanlah tehel ini, dulunya ini lantainya kerikil," kata La Ode Strimah yang juga pensiunan pegawai kejaksaan Baubau ini.

Dengan tidak merubah keaslian bentuk, Masjid Tua yang sakral ini berdindingkan bambu yang diikat dengan tali ijuk. Atapnya tersusun rapi terbuat dari belahan papan kayu jati. Tiang utama penyangga terbuat dari jati. Di depan pintu utama masjid ada tulisan Arab kuno. Di beberapa bagian juga ada tulisan lafadz Arab kuno.

"Tiang utamanya itu masih ada tinggal tiang utama yang tersisa pasca kerusuhan zaman PKI dulu," katanya.

Masyarakat setempat meyakini Masjid Tua ini sangat sakral dan menyimpan cerita mistis. Di atas bukit itu, kala komandang azan tiap shalat di masjid tua ini terdengar jelas hampir diseluruh wilayah kadie Wawoangi. "Dulu adzannya belum ada mike. Jadi bunyi gendang dan adzan kedengaran di wilayah Wawoangi," akunya.

Menurut Strimah, pada saat itu wilayah tersebut belum ada listrik, sehingga untuk adzan pertanda ajakan kaum muslimin shalat tidak menggunakan pengeras suara, hanya menggunakan suara alami manusia. Begitupun juga dengan bunyi gendang yang dipukul moji hampir terdengar di wilayah tersebut.

Di sebelah kanan bawah bagian pintu utama masjid terdapat lubang yang bertuliskan huruf lafazd Arab kuno. Disebutkan sejumlah peneliti di bawah pintu utama terdapat lafads tulisan gundul arab yang merupakan sisa bukti sejarah Masjid Tua Wawoangi.

La Ode Strimah berharap, Masjid Tua Wawoangi dapat dijadikan sebagai aset bersejarah Kabupaten Busel sehingga bisa dijadikan obyek wisata religi.

Sejumlah foto dokumen pemugaran kembali masjid tua itu masih tersimpan rapi di kediaman La Ode Strimah. Untuk air bersih juga sudah ada disekitaran halaman masjid. Tak jauh dari masjid juga sudah didirikan baruga.

Ia menambahkan untuk menuju masjid masyarakat sekitar meyakini tak bisa berkata heran. Konon salah satu bagian potongan pukulan gendang terbagi tiga. Satu bagian ada di Masjid Ternate, sepotong di Masjid Wawoangi dan sespotongnya lagi ada di Masjid Keraton.

Semoga masjid tua ini bisa menjadi aset dan potensi budaya religi serta nilai-nilai keislaman tetap dipertahankan tidak tergerus perkembangan zaman. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun