Mohon tunggu...
Nusman Nagara Muzira (aga)
Nusman Nagara Muzira (aga) Mohon Tunggu... -

Karyawan Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Islam di Tanah Buton

12 Mei 2018   22:17 Diperbarui: 12 Mei 2018   22:28 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah seorang tokoh masyarakat Wawoangi, La Ode Strimah mengisahkan, pertama kali Masjid Tua Wawoangi didirikan Syekh Abdul Wahid diperkirakan tahun 1627. Kala itu, menurut sejumlah riwayat yang diketahuinya disebutkan bahwa Islam pertama masuk di Buton melalui wilayah perairan Burangasi, Kecamatan Lapandewa. Usai mendarat dan menginjakan kakinya pertama kali di selatan pulau Buton itu, beliau bergerak menuju Wawoangi.

Setelah menginjakan kakinya pertama dan menyerukan Islam kepada masyarakat lokal di Burangasi, Syekh Abdul Wahid konon diilhami dan melihat pancaran sinar terang di wilayah tempat berdirinya Masjid Tua itu. Masjid ini menjadi pusat pengkajian Islam di Wawoangi.

Dari Burangasi kemudian bergerak menuju gunung tempat berdirinya Masjid Tua Wawoangi. Usai didirikan menjadi pertama kali menyiarkan Islam di wilayah tersebut. Masyarakat sekitar kemudian diajarkan Islam. Yang tadinya konon masih menganut Agama Budha.

Seiring perkembangan zaman, pada tahun tahun 1967 saat zaman geopolitik faham PKI masuk wilayah tersebut, kala itu terjadi kerusuhan sosial politik di Sampolawa dan sekitarnya. Masjid Tua itu rusak total, ratah dengan tanah hanya tersisahkan beberapa puing.

La Ode Strimah mengisahkan pula, pada tahun 1973 masyarakat wilayah Wawoangi (Kangkele-Ndauli). Kini ada tiga Desa Wawoangi, Watiginanda dan Bangun tersebut berembuk untuk rencana dibangun kembali masjid tersebut.

Pada tahun 1989 dilakukan pembersihan lokasi pembangunan Masjid Tua itu. Pada tahun 2000 masjid tua tersebut kembali didirikan dengan dilakukan pemugaran dengan tidak merubah bentuk keasliannya.

"Dananya pertama kita dari dana swadaya masyarakat kita kumpul-kumpul, pemugaran masjid ini kita tidak lakukan perubahan bentuk, tinggi, bentuknya rangkanya tidak dilakukan perubahan. Tapi setelah berkembangnya zaman dibuatkanlah tehel ini, dulunya ini lantainya kerikil," kata La Ode Strimah yang juga pensiunan pegawai kejaksaan Baubau ini.

Dengan tidak merubah keaslian bentuk, Masjid Tua yang sakral ini berdindingkan bambu yang diikat dengan tali ijuk. Atapnya tersusun rapi terbuat dari belahan papan kayu jati. Tiang utama penyangga terbuat dari jati. Di depan pintu utama masjid ada tulisan Arab kuno. Di beberapa bagian juga ada tulisan lafadz Arab kuno.

"Tiang utamanya itu masih ada tinggal tiang utama yang tersisa pasca kerusuhan zaman PKI dulu," katanya.

Masyarakat setempat meyakini Masjid Tua ini sangat sakral dan menyimpan cerita mistis. Di atas bukit itu, kala komandang azan tiap shalat di masjid tua ini terdengar jelas hampir diseluruh wilayah kadie Wawoangi. "Dulu adzannya belum ada mike. Jadi bunyi gendang dan adzan kedengaran di wilayah Wawoangi," akunya.

Menurut Strimah, pada saat itu wilayah tersebut belum ada listrik, sehingga untuk adzan pertanda ajakan kaum muslimin shalat tidak menggunakan pengeras suara, hanya menggunakan suara alami manusia. Begitupun juga dengan bunyi gendang yang dipukul moji hampir terdengar di wilayah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun