Artinya: Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW bersabda: "Allah SWT berfirman ada tiga golongan yang aku (Allah) musuhi (perangi) pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah (memberi gaji) atas namaKu lalu mengingkarinya, seseorang menjual orang merdeka lalu memakan harganya (hasil penjualannya), dan seseorang yang memperkerjakan pekerja itu kemudian pekerja itu menyelsaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya."Â (HR. Bukhari).
Suatu produksi tidak akan berjalan lancar tanpa adanya faktor-faktor produksi yang mendukung. Ada 4 faktor yang penting adalah tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen. Keempat-empatnya sangat berperan dalam kelangsungan produksi tanpa adanya tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen maka produksi tidak berjalan dengan efektif.
Demikian halnya tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting. Keberadaan tenaga kerja tidak boleh begitu saja dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan kesejahteraannya.Â
Hal yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja adalah upah. Penentuan upah merupakan salah satu penentu efisien atau tidaknya kerja seorang tenaga kerja seperti yang sering terjadi di Indonesia sekarang tidak sedikit perusahaan yang menghentikain aktifitas produksinya karena para karyawan berdemo menuntut kenaikan upah.
Baca juga : Perspektif Hukum Islam dalam HAM
Agama Islam memberikan pedoman bagi kehidupan manusia dalam bidang perekonomian tidak memberikan landasan yang bersifat praktis, berapa besarnya upah yang harus diberikan kepada buruh untuk mencukupi kebutuhan hidup. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil tema analisisis fiqih tentang upah dalam artikel ini.
Upah dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun atau ajrn yang berarti memberi hadiah atau upah. Kata ajrn mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala. Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu.Â
Upah diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.
Menurut Afzalur Rahman memberikan pengertian bahwa upah merupakan sebagian harga dari tenaga (pekerjaan) yang dibayarkan atas jasanya dalam produksi.Â
Baca juga : Hak Asasi Manusia dalam Penalaran Hukum Islam di Indonesia
Sedangkan menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan upah adalah hak pekerja buruh buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja (majikan) kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukannya.[1]
 Pemberian upah dalam konsep hukum Islam termasuk dalam pembahasan fiqih muamalah. Upah didapatkan oleh seorang pekerja sebagai bentuk imbalan dari majikan atau pemberi kerja atas pekerjaan yang telah diselesaikannya.Â
Upah dalam fiqih muamalah juga termasuk dalam istilah ju'alah yang berartikan sebuah keharusan melakukan sesuatu secara mutlak sebagai bayaran tertentu atas suatu pekerjaan tertentu. Sebagian ulama mendefinisikan ju'alahsebagai kewajiban membayar upah tertentu atas pekerjaan yang berat walaupun bayarannya belum pasti. Afzalur Rahman menjelaskan bahwa dalam hukum Islam, upah terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
 Upah minimum
 Upah tertinggi
 Upah sebenarnya
       Upah harus berupa mal mutaqawim, yaitu harta yang halal untuk dimanfaatkan. Besarnya upah harus disepakati secara jelas oleh kedua belah pihak. Sedangkan mempekerjakan buruh dengan upah makan merupakan contoh upah yang tidak jelas, karena mengandung unsur jahalah (ketidak-pastian).
Baca juga : Tinjauan Hukum Islam terhadap Arisan Online
Ijarah[2]Â seperti ini menurut jumhur ulama selain al-Malikiyah, adalah tidak sah. Sedangkan fuqaha' al-Malikiyah menetapkan keabsahan ijarah tersebut sepanjang ukuran upah yang dimaksud dapat diketahui berdasarkan kebiasaan[3]
       Jika kewajiban dari pekerja sudah dipenuhi kepada majikan, maka untuk itu hak pekerja tidak boleh diabaikan tanpa memberikan gaji sesuai waktu yang dijanjikan untuk memenuhi haknya sebagai pekerja. Sepanjang ia tidak menyalahi mengerjakan pekerjaan yang diwajibkan kepadanya karena ia disewa sebagai pekerja, serta diberi gaji.Â
Pekerja berhak mendapatkan bayaran gaji secara penuh walau terpaksa terjadi penundaan waktu pembayaran gaji. Namun tidak boleh dikurangi dari jumlah yang diperjanjikan.
Dalam tingkatan tersebut ditetapkan berdasarkan pada prinsip keadilan dalam masyarakat dengan perjanjian yang disepakati bersama baik dalam penentuan besaran upah yang didapatkan ataupun aturan yang lainnya.
Istilah upah di Indonesia dijelaskan dan diatur di dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hal tersebut didefinisikan sebagai hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai bentuk imbalan dari pengusaha atau majikan atau pemberi kerja kepada buruh atau pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut perjanjian kerja dengan kesepakatan antar kedua belah pihak yang saling terlibat.
Para ulama telah menetapkan syarat upah, yaitu: pertama, berupa harta tetap yang dapat diketahui. Kedua, tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut. Upah (ujrah) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:[4]
Upah yang telah disebutkan (ajr al-musamma), yaitu upah yang telah disebutkan pada awal transaksi, syaratnya adalah ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan (diterima oleh kedua belah pihak).
Upah yang sepadan (ajr al-misli) adalah upah yang sepadan dengan kerjanya serta sepadan dengan kondisi pekerjaannya. Maksudnya adalah harta yang dituntut sebagai kompensasi dalam suatu transaksi yang sejenis pada umumnya.
Menurut hadits yang dituliskan di atas, ditegaskan bahwa waktu pembayaran upah haruslah sangat diperhatikan. Keterlambatan pembayaran upah dikategorikan sebagai perbuatan dzalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh nabi pada hari kiamat.Â
Dalam hal ini Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan. Seorang karyawan berhak mendapat upah dengan layak. Layak bermakna cukup, sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal).
Yusuf al-Qardawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut: Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaanya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.Â
Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) kare[5]na setiap hak dibarengi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan upah secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi. Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam "peraturan.kerja" yang rnenjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Berdasarkan penjelasan al-Qardawi di atas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak pekerja, apabila bekerja dengan baik, jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja yang dicontohkan oleh Syaikh al-Qaradawi dengan tidak bekerja tanpa alasan yang jelas maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan.
Hal ini menjelaskan bahwa selain hak pekerja, maka pekerja memperoleh upah atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari pekerja dengan baik. Bahkan al-Qardawi mengatakan bahwa bekerja dengan baik merupakan kewajiban pekerja/ pekerja atas hak upah yang diperolehnya.Â
Demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja pekerja pekerja yang, diperolehnya. Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan.
[1] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam : Penerejemah Soeroyo Nascangin, (Jakarta: Daba Bhakti Wakaf, 1995), 68
[2] Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-iwad, yaitu ganti atau upah. Dalam islam berarti jenis akad   mengambil manfaat dengan kompensasi Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara cet 1, 2006), 203
[3] Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. Jilid iv (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 401
[4] Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 230.
Konsep Ujrah menurut Hukum Islam
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits Ekonomi
Yang diampu oleh Ahmad Fauzi, S.Pd, M.E.I
Oleh. Nushaibah Azizah
E20182271
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H