Mohon tunggu...
Nurul Wahyuni
Nurul Wahyuni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang individu yang teliti, pekerja keras, dan optimis yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dinamis, dengan pemahaman dan pendekatan yang melihat big picture dari suatu masalah. Memiliki pengetahuan luas dalam bekerja sama dengan orang banyak dan kolaborasi proyek dengan berbagai tim dari latar belakang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Biarkan Intoleransi Menghancurkan Kita

27 Juli 2022   16:20 Diperbarui: 27 Juli 2022   16:23 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan" (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015) Pernyataan Paus diatas disampaikan ketika berkunjung ke Benua Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Ditangan kaum muda inilah sebuah bangsa akan maju dan berkembang, sekalipun para elitnya bergelimang kekuasaan dan harta kekayaan.

Kita tentu tidak ingin negara ini bergelimang darah karena pertumpahan warga sesama anak bangsa bahkan saudara setanah air. Kita tidak ingin yang terjadi di Timur Tengah, Afrika maupun di beberapa negara di Eropa seperti Perancis, Turki, dan Irlandia melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengatasnamakan kesucian Tuhan buat mereka. Kita telah dibuat ngeri melihatnya. Kita tak sanggup melihat kekejaman yang dipraktekkan atas nama Tuhan. Timur Tengah dan beberapa negara Eropa bergolak. 

Indonesia tidak boleh terjadi seperti itu. Salah satu kuncinya adalah sesama umat beragama menghindarkan sikap arogan, menindas, menelikung serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir, sesat serta harus pula dimusnahkan. Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan pada kita, akan kafir atau beriman. Beriman atau kafir akan mendapatkan tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk surga atau neraka. Itu hak Tuhan belaka. Kenapa kita sering melihat adanya orang meributkan dengan keras ketika seseorang atau kelompok tidak berbuat seperti dikehendaki oleh pihak lain yang berbeda, sehingga otoritas Tuhan seakan-akan berpindah tangan pada kelompok tersebut. Terjadinya kekerasan antara agama di Indonesia, dan di tempat lain tidak pernah berhenti pada analisis dan tindakan untuk mencegahnya lebih luas.

Mengapa orang bersedia melakukan aksi-aksi teror-kekerasan atas nama agama atau sebagai teroris? Apakah alasan-alasan yang menjustifikasi aksi terorisme di Indonesia? Siapakah mereka para pelaku teror di muka bumi itu? Berdasarkan pertanyaan sederhana ini, jawaban sederhana yang dapat diajukan disini adalah mereka itu dapat perorangan, kelompok maupun organisasi bahkan lembaga (individual atau negara). Dimanakah mereka melakukan aksi teror, sebagai target sasaran teroris. Serta pertanyaan sampai kapankah aksi-aksi terorisme akan berlangsung dilakukan di sebuah wilayah, menjadi pertanyaan penting yang hendak diuraikan dalam karangan ini. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, ada beberapa asumsi yang dapat menjelaskan mengapa semua itu terjadi.

Dengan perspektif sosial politik, ekonomi, dan psikologi dalam melihat adanya kekerasan atas nama agama atau bahkan terorisme di Indonesia ternyata hal tersebut dari segi aktor atau kelompok pelaku adalah ada beberapa kelompok agama (Islam, Kristen, Hindu, dan Yahudi) yang bersedia melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap pihak lain dan sekaligus sebagian membenarkan perilaku kekerasan tersebut. Para aktor pelaku kekerasan datang dari pelbagai kelompok yang memiliki alasan masing-masing. Terdapat alasan teologis sampai alasan sosial dan juga alasan pragmatis karena tidak memiliki dasar argumen yang memadai tentang perbuatan yang dikerjakan tentang kekerasan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan radikalisme-terorisme terdapat banyak penyebab. Faktor-faktor tersebut adalah faktor politik, ekonomi, psikomagic dan budaya (agama). Hal itu menjadi dasar legitimasi yang sering muncul dipermukaan ketika seserorang mengamati tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia bahkan di luar negeri. Dasar pijakannya beragam namun ujungnya satu saja yakni kekerasan atas nama agama.

Penyebab Radikalisme-Terorisme

Jika kita perhatikan terjadinya kekerasan atas nama agama, para ahli dalam hal sosiologi agama, politik maupun ilmu sosial lainnya memberikan penjelasan sekurang-kurangnya terdapat beberapa penyebab mengapa orang bersedia melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, sekalipun sebagian ahli agama melarangnya. Beberapa penyebab seperti yang akan saya kemukakan disini adalah penyebab yang sudah lazim dipahami oleh masyarakat dan para akademisi atau intelektual, tetapi tidak mengapa untuk mengulang penjelasan para ahli tersebut saya akan kemukakan dengan ringkas.

Pertama, persoalan pemahaman keagamaan. Oleh sebab karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad. (Falahuddin, 2016). Pemahaman keagamaan merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme) yang dilakukan. Kedua, radiakalisme-terorisme juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara. Sebuah rezim politik dan partai tertentu dianggap berlaku tidak adil kepada sekelompok masyarakat. Ketiga, radikalisme-terorisme juga buruknya dalam hal penegakan hukum sehingga menimbulkan apa yang sering disebut sebagai ketidakadilan hukum.

Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan maksimum, sehingga menumbuhkan kejengkelan dalam perkara hukum yang ada dalam sebuah negara. Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga apparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. Peristiwa penembakan apparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Poso, Mataram, Solo, Mataram dan Jakarta adalah bukti-bukti yang menjelaskan kalau posisi dianggap tidak adil dalam menegakkan hukum. Keempat, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah.

Oleh sebab itu, pendidikan semacam itu merupakan masalah lain lagi yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama. Oleh sebab itu harus dipikirkan kembali pendidikan agama yang bersifat transformatif dan pembebasan pada umat manusia. Pendidikan agama tidak hanya mengajarkan persoalan jihad dalam makna kekerasan atau perang tetapi jihad dalam makna yang luas seperti memberantas kemiskinan, memberantas mafia hukum, memberantas politik uang dan partai yang buruk adalah jihad yang sesungguhnya harus dilakukan.

Laporan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) tahun 2017 menyebutkan bahwa prilaku intoleran dan sikap radikal dalam beragama ditemukan bahwa perilaku tersebut muncul disebabkan oleh kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat yang semakin melebar. Hal ini menyebabkan munculnya suasana ketidakadilan yang dirasakan oleh warga masyarakat. Akibatnya ini, sebagian masyarakat mulai mencari cara untuk memberontak terhadap keadaaan. Sumber masalah yang lain penyebab perilaku radikal adalah penegakan humum yang lemah.

Beberapa pelaku kriminal di Indonesia seperti koruptor sering mendapatkan hukuman yang ringan atau malah bebas dari jeratan hukum. Hal ini mengakibatkan masyarakat merasa tidak malu melakukan perilaku kriminal yang sama, karena menilai hukuman kepada pelaku tindakan koruptor yang merugikan banyak masyarakat terbilang sangat ringan. Dua hal ini, yaitu disparitas ekonomi yang melebar dan penegakan hukum yang lemah menjadi dua faktor munculnya perilaku radikal (PPIM, 2017). Menurut Ali Fauzi ada enam isu utama yang sering melatari konflik-konflik agama, yang kadang tidak bisa berdiri sendiri dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya dan bersifat tumpang-tindih satu sama lain (Fauzi, 2017); Pertama, Isu moral, mencakup antara lain isu-isu di seputar perjudian, minuman keras (miras), narkoba, perbuatan asusila, prostitusi, pornografi/pornoaksi.

Isu-isu moral lainnya seperti antikorupsi juga bisa dimasukkan ke dalam isu keagamaan selama isu tersebut melibatkan kelompok keagamaan dan/atau dibingkai oleh para aktor yang terlibat dalam slogan atau ekspresi keagamaan. Kedua, Isu sektarian, yang melibatkan perseteruan terkait pemahaman ajaran dalam suatu komunitas agama maupun status kepemimpinan dalam suatu kelompok agama. Dalam Islam, misalnya, kelompok Ahmadiyah adalah di antara kelompok kelompok agama yang kerap memicu berbagai insiden konflik. Sedangkan dalam komunitas Kristen, konflik kepemimpinan gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) menjadi contoh yang mewakili isu sektarian ini.

Ketiga, Isu komunal, yang melibatkan perseteruan di antara komunitas agama yang berbeda, seperti konflik Muslim-Kristen di Poso, Sulawesi Tengah. Isu seperti penodaan agama, seperti dalam kasus karikatur tentang Nabi Muhammad, masuk ke dalam kategori isu komunal ini. Keempat, Isu terorisme, yang terkait dengan aksi-aksi serangan teror dengan sasaran kelompok keagamaan atau hak milik kelompok keagamaan tertentu, maupun serangan teror yang ditujukan terhadap warga asing maupun hak milik pemerintah asing.

Contohnya adalah pengeboman di Bali, yang dilakukan oleh kelompok Imam Samudra, dan berbagai serangan bom di Jakarta. Kelima, Isu politik-keagamaan, yang melibatkan sikap anti terhadap kebijakan pemerintah Barat atau pemerintah asing lainnya dan sikap kontra ideologi/kebudayaan Barat atau asing lainnya. Termasuk ke dalam isu politik-keagamaan di sini adalah isu penerapan Syariah Islam atau Islamisme, serta pro-kontra menyangkut kebijakan pemerintah Indonesia yang berdampak pada komunitas keagamaan tertentu.

Dan keenam, Isu lainnya, meliputi isu subkultur keagamaan mistis seperti santet, tenung dan sebagainya, maupun isu-isu lainnya yang tidak termasuk dalam 5 (lima) kategori sebelumnya.

Belajar Toleransi dari Suku Dayak

Banyaknya suku Dayak yang beragama Protestan di Mamahak Teboq tidak serta merta mendominasi para minoritas pendatang. Mereka bahkan menganggap saudara mereka, apapun etnis dan sukunya, apapun agama dan kepercayaannya. Istilah penduduk asli dan pendatang pun seakan tidak ada dan tidak pernah menjadi permasalahan serius. Para pendatang pun merasa kampung tersebut bagaikan kampung halaman sendiri. Meski terdapat beberapa kendala dalam bahasa, karena beberapa tetua kampung tidak dapat berbahasa Indonesia, namun seiring berjalannya waktu hal tersebut tidak menjadi hambatan yang berarti dalam hidup berdampingan.

Sedikitnya ada beberapa fenomena yang dapat dijadikan indikasi toleransi di Mamahak Teboq. Pertama, seluruh warga, baik yang menetap maupun karyawan perusahaan yang tinggal di camp, dilibatkan dalam berbagai upacara-upacara adat. Salah satu upacara yang rutin dilakukan adalah Tarian Hudoq yang diselenggarakan tiap sebelum dan sesudah panen.

Dalam perayaan ini, semua elemen masyarakat dilibatkan, baik sebagai panitia persiapan maupun sebagai peserta. Namun perayaan adat ini masih menghormati kepercayaan kaum Muslim yang tidak memakan babi, meminum buraq (sejenis tuak yang berasal dari fermentasi tape singkong), bermain judi dan sabung ayam. Penduduk setempat yang masih menjalankan berbagai ritual tersebut juga tidak pernah memaksa mereka yang muslim untuk bergabung dengan kegiatan mereka yang dipandang haram dalam agama Islam.

Kedua, pesta pernikahan. Menurut tradisi setempat, pernikahan antar suku Dayak dan non-Dayak tidak pernah dipermasalahkan. Adapun untuk pernikahan di desa ini, pesta digelar selama 7 hari 7 malam dengan berbagai hiburan dan sajian. Di sekeliling tempat pesta juga berdiri sejenis pasar malam yang menjual berbagai macam makanan.

Dalam momen ini, pihak tuan rumah juga mengundang seluruh kalangan untuk dapat hadir dalam pesta. Makanan yang disediakan pun beragam dan terpisah. Bagi tamu yang beragama muslim, mereka menyediakan tempat khusus dan tertutup untuk sajian makan. Makanan yang dihidangkan pun makanan yang halal dikonsumsi oleh muslim, yang dimasak oleh orang muslim dan menggunakan peralatan masak dan makan yang khusus. Mereka menghormati kepercayaan muslim yang tidak mengkonsumsi daging babi. Karena bagi mereka, acara-acara besar seperti ini tidaklah sempurna tanpa adanya daging babi guling, daging babi panggang dan makanan olahan babi lainnya, juga tak lupa dengan buraq berliter-liter.

Ketiga, pembangunan rumah ibadah yang terlepas dari konflik dan sengketa. Penduduk asli di sana tidak mempermasalahkan berdirinya masjid di tengah-tengah kampung mereka, lengkap dengan pengeras suaranya. Meski jumlah muslim yang menunaikan shalat Jum'at hanya sedikit (saat itu penulis menghitung tidak lebih dari 40 pria), penghuni sekitar masjid tidak keberatan dengan suara adzan dan khutbah dengan pengeras suara yang bergema di seluruh desa.

Saat ramadhan tiba, para pekerja non-muslim juga ikut menyesuaikan diri dengan jam kerja muslim yang berpuasa. Mereka ada yang membantu memasakkan makanan sahur, makanan untuk berbuka dan tidak makan dan minum langsung di depan pegawai yang muslim. Masyarakat muslim, khususnya pegawai camp juga siap bergotong royong memperbaiki gereja yang rusak. Sebelum tahun 2010, pegawai camp merenovasi gereja yang berada di sekitar pemukiman pegawai. Gereja tersebut rusak parah dan sudah lama tidak terpakai, namun atas masukan beberapa pegawai dan penduduk sekitar, pihak perusahaan berinisiatif merenovasi gereja tersebut dengan bantuan berbagai pihak. Keadaan toleransi yang demikian tidak berarti bebas 100% dari berbagai gesekan dan tindakan intoleransi meski hanya sedikit sekali.

Sedikitnya ada 3 hal yang menjadi riak-riak dalam lautan keberagaman di Mamahak Teboq. Pertama, tradisi warga setempat untuk memelihara anjing dan babi terkadang menganggu aktivitas warga lainnya, khususnya yang muslim. Anjing dan babi tersebut dibiarkan berkeliaran di berbagai tempat, tidur di teras rumah penduduk muslim, buang air di berbagai tempat bahkan pernah menggigit warga sekitar. Anjing sendiri mendapat tempat yang terhormat di mata penduduk setempat. Bila seekor anjing mati tertabrak kendaraan, sengaja atau tidak sengaja, maka ganti rugi yang dikenakan sangat besar. Biaya ganti rugi akan semakin besar bila yang mati adalah anjing betina atau sedang hamil.

Ganti rugi dikalikan jumlah puting susu anjing tersebut. Kedua, adanya kelompok masyarakat Bugis yang tinggal dan menetap di tengah kampung yang menolak membaur dengan warga Dayak. Mereka acapkali menolak menghadiri undangan pernikahan atau perayaan adat yang diadakan warga setempat. Masyarakat Bugis yang beragama Islam ini juga sangat jarang terlihat berinteraksi dengan warga setempat yang beragama Kristen. Mereka lebih memilih berinteraksi dengan mereka yang satu suku dan suku agama.

Sikap ini sudah dipahami oleh warga setempat dan sering membuat mereka malas untuk bergaul dengan masyarakat Bugis. Namun dalam berbagai upacara dan perayaan, mereka tetap menyertakan undangan bagi mereka meski kemungkinan untuk dapat dihadiri kecil. Ketiga, adanya provokasi dari luar. Berbagai LSM yang mengatasnamakan keluarga Dayak dari luar Mamahak Teboq merasa desa tersebut sudah terekspolitasi oleh kegiatan perusahaan.

Mereka banyak menuntut ganti rugi dan kompensasi kepada perusahaan dengan berbagai dalih dan alasan, yang mana hal tersebut tidak pernah diminta oleh penduduk setempat. Seperti sengketa kayu ulin, proposal pembelian alat berat dan berbagai masalah ekonomi lainnya. Hal ini juga berpotensi menggoyahkan pondasi kerukunan yang telah terbangun. Namun warga desa tidak terprovokasi dan tetap menjalin hubungan baik dengan perusahaan dan seluruh pegawainya.

Belajar Toleransi dari Mamahak Teboq

Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaiman kuatnya kultur damai dan toleransi di Mamahak Teboq. Meski riak-riak intoleransi muncul karena interest satu dua kelompok, namun tidak dapat meruntuhkan nilai-nilai toleransi yang ada. Pada bahasan ini, penulis mencoba memaparkan sebab-sebab kuatnya toleransi dan kokohnya kerukunan di Mamahak Teboq dengan menggunakan teori tiga dimensi konflik, yaitu simbolik, relasional dan struktural. Pada dimensi simbolik, ditemukan adanya memori damai yang telah tertanam sejak dahulu kala. Penduduk asli dari suku Dayak tidak pernah memiliki momen buruk dengan para pendatang dan sudah menjadi tradisi mereka untuk selalu membantu dan menghormati tamu.

Berdasarkan kepercayaan dan tradisi mereka, manusia adalah sahabat alam dan seisinya. Bila dengan alam yang berbeda spesies saja mereka harus berbuat baik, mengapa dengan pendatang yang masih satu spesies tidak dapat berdamai? Inilah penyebab mengapa kekerasan komunal di Sampit, meski melibatkan suku Dayak tidak merambat ke suku-suku Dayak lain. Pada dimensi relasional, sebab lahirnya toleransi di desa lebih terasa. Dalam kehidupan sehari-hari, tingkat interaksi penduduk asli dan penduduk sekitar cukup tinggi. Selain upacara adat dan perayaan pernikahan, mereka juga sering bertemu di pasar, di taksi (sebutan untuk perahu yang digunakan menyusuri sungai Mahakam), saat memancing, saat mencari buah-buahan di hutan dan saat di ladang.

Keberadaan koperasi perusahaan juga cukup memudahkan warga sekitar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dibandingkan menunggu kapal sembako yang berlabuh sebulan sekali atau ke pasar yang terletak cukup jauh. Di koperasi inilah, interaksi kecil antara penduduk asli dan pegawai perusahaan sering terjalin. Selain itu, ibu-ibu dan anak-anak sekitar sering duduk bersama di siang dan sore hari untuk bercengkrama dan menco' (makan rujak buah bersama). Saat perayaan hari-hari besar, seperti Idul Fitri dan Natal, terdapat tradisi saling mengunjungi mereka yang merayakannya.

Saat Idul Fitri tiba, penduduk sekitar berbondong-bondong mengunjungi saudara mereka yang muslim. Sebaliknya, saat perayaan Natal tiba, kelompok muslim juga mengunjungi rumah mereka yang merayakan. Bila tidak dapat ke seluruh rumah, mereka cukup menghadiri perayaan besar yang diadakan di tanah lapang di desa. Diluar hari-hari besar tersebut, mereka juga sering mengunjungi kerabat yang sedang sakit atau ditimpa musibah seperti kebakaran atau meninggalnya sanak keluarga mereka. Mereka juga membantu memanggil pak Mantri (juru rawat perusahaan) untuk memberi pertolongan pertama. Pengurusan jenazah juga dilakukan bersama-sama tanpa memperdulikan perbedaan etnis dan agama yang ada.

Jalinan relasional ini semakin diperkuat dengan adanya forum-forum formal yang memungkinkan adanya interaksi antar penduduk asli dan pendatang. Dalam bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan sosial budaya, perusahaan sering mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan langsung penduduk sekitar, baik sebagai obyek maupun subyek. Selain memberikan bantuan materiil berupa sarana ibadah, sarana pendidikan, dan dana pendidikan, pihak perusahaan juga mengadakan pengobatan gratis, posyandu, fogging di sekitar desa, dan mengajar di sekolah-sekolah yang ada. Semua kegiatan yang masuk dalam rangkaian program "Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)" ini semakin menciptakan hubungan dan interaksi yang semakin intens dan hangat. Berbagai isu-isu intoleransi dapat langsung dikonfirmasi dan diklarifikasi dalam berbagai forum tersebut. Sayangnya, hal ini belum dapat menggugah kesadaran suku Bugis Muslim di tengah desa untuk ikut berbaur dengan masyarakat lainnya.

Peran Negara dalam Menjaga Persatuan Antar Agama

1. Kebebasan Beragama dan Kebebasan dari Agama

Dapat dikatakan bahwa kebebasan beragama (Freedom of Religion) berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukanlah Kebebasan dari agama (Freedom from Religion). Oleh sebab itu, negara berkepentingan agar agama tumbuh subur dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga oleh sebab itu negara c.q. pemerintah diidealkan memberikan dukungan dan bantuan sehingga agama dapat tumbuh subur di Indonesia. Dengan demikian, negara harus berperan dalam memberikan pelayanan kepada semua komunitas beragama agar umatnya dapat tumbuh dan menjalankan keyakinan keagamaannya dengan baik. 

Negara berkepentingan untuk memastikan agar agama berperan efektif dalam membangun karakter dan perilaku berkualitas dari seluruh warganegara, sehingga beban negara sendiripun menjadi lebih ringan dalam membangun kualitas perilaku ideal warganegaranya guna mendorong kemajuan peradaban bangsa ke tingkat yang semakin tinggi di masa depan. Namun, tentu saja, negara juga tidak dapat memaksa seseorang, sekelompok, atau segolongan orang untuk bertuhan dan/atau beragama tertentu, negara tidak boleh ikut campur dalam urusan-urusan internal umat beragama. Karena itu memang tidak dapat dihindari adanya kebutuhan dan bahkan keharusan untuk membedakan, dan memisahkan mana urusan-urusan yang dapat ditangani oleh negara atau pemerintah, dan mana urusan yang tidak boleh dicampuri oleh negara/pemerintah sebagai persoalan internal agama-agama yang harus diselesaikan oleh komunitas agama itu sendiri secada independen.

2. Official Requirements

Terkait dengan penyebutan kata 'Tuhan', baik menurut formula 'nominatio-dei' (naming of God) atau pun 'invocatio-dei' (calling on God) dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, juga diperlukan pemisahan yang tegas terkait dengan status hukum warga negara dan aparat penyelenggara negara. Para pejabat, aparat, atau petugas penyelenggara negara di semua tingkatannya haruslah berfngsi sebagai pelayan bagi warga negara. Karena itu, bagi mereka dapat dikenakan tuntutan persyaratan yang berbeda dan lebih tinggi. Inilah yang disebut dengan 'official requirement' atau persyaratan jabatan yang salah satunya tercermin dalam kewajiban pengucapan sumpah atau janji jabatan.

Bagi tiap-tiap para pejabat penyelenggara negara di semua tingkatannya, diharuskan untuk berketuhanan Yang Maha Esa dan beragama, sebagai syarat untuk menduduki jabatan tertentu (official requirement). Bunyi sumpah atau janji selalu dikaitkan dengan penyebutan nama Tuhan, dengan sebutan menurut tradisi yang berlaku di masing-masing komunitas agama. Karena itu, siapa saja yang menjadi pejabat publik dan termasuk pegawai negeri sipil berarti sudah pernah bersumpah atau berjanji dengan atau atas nama Tuhan, sehingga oleh sebab itu tidak dapat tidak haruslah konsisten dengan sumpah atau janjinya sebagai cermin orang yang percaya klepada Tuhan YME dan beragama.

Jika yang bersangkutan tidak bertuhan atau beragama, berarti ketika mengucapkan sumpah atau janji jabatan, ia telah berbohong, dan karena itu dapat dijatuhi sanksi tertentu sesuai dengan aturan hukum dan etika yang berlaku. Pendek kata, sangatlah wajar apabila kepada pejabat penyelenggara negara dikenakan kewajiban untuk bertuhan dan beragama sebagaimana mestinya untuk menjadi contoh bagi rakyat atau warganegara biasa agar juga hidup Berketuhanan Yang Maha Esa dan beragama. Sebaliknya, sebagai warga negara biasa, keharusan demikian tidak dapat dibenarkan karena doktrin kebebasan beragama dalam arti yang lebih luas.

Lagi pula, untuk diterima menjadi warganegara, juga tidak diperlukan persyaratan yang berkaitan dengan Tuhan dan anutan keagamaan semacam itu. Palingpaling, yang diperlukan hanya janji setia kepada konstitusi dan lambang-lambang negara, tetapi tidak dipersyaratkan mengenai, misalnya, "harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa", atau semacamnya. Persyaratan untuk menjadi warganegara di negara lain juga demikian, tidak dipersyaratkan harus ber-Tuhan dan/atau beragama.

3. Kebebasan sebagai Human Right dan Citizens' Right

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kandungan pengertian kebebasan beragama bagi pejabat, aparat, atau petugas penyelenggara kekuasaan negara memang berbeda dari kebebasan bagi warga negara biasa (citizen's right) atau sebagai manusia pada umumnya (human right). Kebebasan asasi manusia dan kebebasan setiap warga negara lebih utuh dan luas daripada kebebasan para penyelenggara negara. Karena itu, bagi mereka haruslah dijamin kebebasannya untuk bertuhan atau tidak percaya kepada Tuhan, bebas untuk beragama atau tidak percaya kepada agama apapun sama sekali. Untuk menjadi warga negara Indonesia tidak dipersyaratkan harus bertuhan atau beragama apapun juga. Warga negara biasa dapat (i) Bertuhan Yang Maha Esa dan beragama sebagaimana dikenal dalam masyarakat; (ii) Bertuhan Yang Maha Esa tetapi tidak percaya kepada agama seperti paham 'theism' atau 'deisme' dalam filsafat; (iii) Beragama tetapi tidak bertuhan, seperti yang menjadi ciri beberapa agama kultural; ataupun (iv) tidak percaya kepada tuhan dan tidak percaya kepada agama apapun yang biasa dikenal sebagai 'atheis'; Yang penting warga negara Indonesia 14 tidak memerangi dan memusuhi orang yang beragama dan/atau yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti orang komunis, atau orang yang menghina Tuhan dan agama secara terang-terang didepan umum. Tuhan tidak akan merasa terhina, agama juga tidak akan terpengaruh oleh adanya hinaan. Tetapi kesengajaan menghina keyakinan orang bertuhan dan beragama adalah perbuatan jahat, karena melecehkan dan merendahkan keyakinan orang yang percaya.

4. Kewajiban Negara dan Tugas Pemerintahan

Namun demikian, dengan dengan menjamin ruang bebas bagi setiap warga negara di luar penyelenggara negara untuk tidak bertuhan dan/atau beragama, bukan berarti bahwa negara mengganggap hal itu sebagai seuatu yang ideal dan diidealkan. Yang ideal tetaplah orang yang percaya kepada Tuhan YME dan beragama. Karena itu, para pejabat penyelenggara diharuskan bertuhan dan beragama, karena harus menjadi contoh bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa yang ideal itu menurut Pancasila dan UUD 1945 adalah ber-Tuhan YME dan beragama. Karena itu, tugas dan peran pemerintahan serta para pemegang jabatan sebagai penyelenggara negara adalah untuk:

a) melayani, mendukung dan membantu warganegaranya, penduduk, dan semua orang yang ada dalam wilayah kekuasaannya menjalankan ajaran agamanya melalui fasilitasi dan dukungan administrasi pemerintahan dalam rangka pembentukan perilaku ideal dalam bermasyarakat, sehingga terbentuk pula perilaku ideal warga dalam bernegara; 

b) menjaga kerukunan hidup bersama antar umat beragama dan antar kelompok internal umat bersama yang dapat atau ternyata mengganggu ketertiban dan ketenteraman yang lebih luas, dalam rangka kerukunan hidup berbangsa dan bernegara; dan

c) yang lebih pentingnya lagi menjadi contoh atau teladan bagi masyarakat luas dalam berperilaku ideal sesuai tuntunan agama atau prinsip-prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa yang diyakini masingmasing untuk peningkatan peri-kehidupan bersama dalam wadah negara. Di samping itu, dalam hukum hak asasi manusia, pemangku kewajiban di bidang hak asasi manusia pada pokoknya sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. 

Semua penjelasan dalam komentar umum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan bahwa upaya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia sepenuhnya adalah kewajiban negara. Dalam kaitan dengan hal itu, negara dinilai memiliki 3 kewajiban, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil). Dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945 juga ditegaskan, yaitu: "perlindungan (protection), pemajuan (promotion), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment) hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah". 

Ketiga kata tersebut kembali ditegaskan dalam Pasal 71 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: "Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia". Indonesia juga telah meratifikasi 2 kovenan tentang hak asasi manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, pada tanggal 30 November 2005.

Kedua kovenan ini telah disahkan masing-masing dengan UU No.11/2005, dan UU No.12/2005. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, harus diingat bahwa kita telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Sehubungan dengan itu, ada 2 jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara, dalam hal ini, yaitu

(i) negara harus menghormati hak-hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, karenanya tidak boleh melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur-tangannya yang dapat disebut sebagai violation by action atau disebut juga violation by commission;

(ii) negara haruslah bertindak aktif meskipun secara terbatas untuk melindungi hak-hak tersebut, jika tidak, berarti negara lalai, lupa, atau absen. Hal inilah yang disebut sebagai pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). 

Di samping itu, tentu ada pula langkah yang mestinya dilakukan oleh setiap pemerintahan yang bertanggungjawab, yaitu membersihkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari norma-norma yang bertentangan dengan hak asasi manusia, termasuk dalam urusan kebebasan beragama. Karena itu, diperlukan 'executive review' terhadap semua produk hukum yang berlaku untuk memastikan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dapat diwujudkan. Membiarkan kebijakan hukum nasional tetap memelihara pasal-pasal yang bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusi itu, termasuk yang bertentangan dengan kovenan Internasional yang sudah diratifikasi tersebut di atas, adalah bentuk pelanggaran juga oleh pemerintah/negara sesuai dengan tingkat kewenangan dan tanggungajwabnya masing-masing yang tidak boleh dibiarkan di masa mendatang.

Penutup

Terjadinya kasus-kasus intoleransi merupakan tantangan tersendiri. Ketaatan beragama belum berkorelasi dengan sikap dewasa memahami, menghormati, menerima, dan mengakomodasi mereka yang berbeda. Ekslusivisme dan ektremisme sebagai benih dan bentuk intoleransi perlu segera ditanggulangi. Jawaban atas intoleransi bukanlah dengan menerbitkan regulasi atau membawa masalah ke kantor polisi, tetapi dengan menumbuhkan dan mengembangkan kematangan beragama. Ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan dalam tulisan ini, yaitu: Pertama, penting membuat medium yang banyak untuk memberi ruang-ruang perjumpaan bagi kerukunanan umat beragama, dan itu harus diinisiasi oleh pemeritah dan masyarakat sendiri. Kedua, sebaiknya tantangan yang ada harus dijadikan pemicu untuk menggeser hal negatif menjadi hal yang positif, dan itu harus dikembangkan oleh semua elemen masyarakat. 

Ketiga, Pemerintah idealnya harus lebih banyak membuat program-program jangka pendek dan panjang untuk pengarusutamaan toleransi. Dan keempat, harus adanya penguatan moderasi beragama dalam bentuk yang relevan dengan masyarakatnya. Akhirnya, keberlangsungan toleransi ini perlu dukungan dari berbagai pihak untuk menjadi lebih baik lagi. Para tokoh masyarakat dan pihak-pihak terkait diharapkan mampu meluluhkan hati kelompok tertentu yang masih sulit untuk berbaur dengan masyarakat asli. Koeksistensi daerah ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu masyarakat plural di daerah lain untuk mulai menggiatkan toleransi atas keberagaman yang ada, khususnya di tengah derasnya arus perubahan sosial budaya yang tercipta. Semua warga negara tentu menginginkan perdamaian dan hidup aman sentosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun