Ibuuuuuukkk,
Gimana kabar Ibuk? Aku mau cerita-cerita, ngobrol curcol ngalor ngidul kayak biasanya, boleh ya? Hihihi. Eh iya, sebelumnya aku ucapin SELAMAT HARI IBU, ibuku sayaaaang. Huuumm, apa ya doanya? Semoga kita semua bisa jadi ibu yang hebat dan menghebatkan generasi Indonesia, yeayy!
Tentu saja, aku kudu berterima kasih banyaaaak banget sama Ibuk. Selama ini, Ibuk berperan sebagai single parentyang luar biasa tangguh! Sejak Bapak berpulang di tahun 1991, Ibuk memutuskan untuk men-take oversemua tugas dan kewajiban sebagai ortu. Banting tulang, peras keringat, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala... pokoke Ibuk rela melakukan apaaaa saja, demi dapur tetap mengepul dan SPP kami yang terbayar on time nggak pake molor.
Ibuk juga yang meng-encourage aku untuk aktif di berbagai kegiatan dan komunitas. Maka, walaupun harus terseok-seok lantaran budget constraint, semangatku justru terlecut!
"Heiii... meskipun ibuku single parent, bukan masalah besar! Aku tetap bisa aktif berkontribusi dan gabung di beragam kegiatan yang meningkatkan valueplus kualitas dalam hidup! Aku bisa menambah kuantitas dan kualitas pergaulan, plus berkenalan dengan banyak ragam manusia!"
Itu priceless giftyang tak tergantikan dengan apapun. Hadiah terbaik berupa sebuah pelajaran hidup, yang menumbuhkan karakter dan spirit "Yes, I can do it!" Aku belajar banyak dari engkau, Ibuk.
Aku masih ingat, ketika zaman muda dulu, berkali-kali aku ajak cowok ganteng, keren, berasal dari keluarga tajir, ke rumah kita. Aku kenalkan pada Ibuk. Lalu kubilang, "Ini si X, dia jago basket lho Buk! Tapi pelajarannya nggak amburadul, dia tetap ranking di sekolah! Aku mau jalan sama si X ya..."
Respon Ibuk datar. Si X belum berhasil meraih hati apalagi restu dari Ibuk.Â
Huumm, kayaknya Ibuk tahu deh, kalo aku tipikal cewek yang gampang bosan. Di waktu yang berbeda, aku ajak cowok yang lain lagi.
"Buuuk yang ini pelajar teladan lho. Aku kenal waktu lomba Cerdas Cermat P-4." (waksss! P-4 sodara-sodara! Kebayang ya, umur saya berapa)
Ibuk masih dataaaarrrr. Nggak greget sama sekali.
Hingga waktu terus berjalan....Â
Dan di usia seperempat abad, aku bersua dengan laki-laki yang di mataku terlampau matang (alias tua), sangat santun (alias membosankan), dan super-duper-oldies lah pokoknya. Herannya, Ibuk sangat hepi kalo laki-laki ini datang ke rumah.Â
Sempat aku godain, "Ibuk mau nikah sama Mas itu tah? Beneran Ibuk mau merit sama brondong? Hahahah..." Â
Tapi terus Ibu bilang, "Hussshhh! Opo tho kowe iki (apaan sih kamu ini)! Justru Ibuk mau dia jadi menantu! Ibuk maunya mas itu jadi suami kamu!"
DEG.
Jederrrrrrr!!
Krompyaaaangggg!
Glodaaaakkk!
Kalbu saya menjerit, meronta gak karu-karuan. Lah dalah. Dari sekian banyak cowok keren, ganteng, modis, pintar, gaul, dan (bokapnya) tajir, kenapa Ibuk malah menjodohkan aku dengan laki-laki ini?
Aku (ngakunya sebagai anak muda) kekinian..... dia kekunoan.
Aku ceplas-ceplos nyaris nggak punya rem kalo ngomong...... dia sangaaaattt santun, pilihan kata dan diksinya diatur dengan segenap pencitraan.
Aku kelahiran 1981..... dia kelahiran 1969 *selisih umur 12 tahun, sodara!*
Intinya, BANYAAAK banget perbedaan di antara kami berdua. Lantas, kenapa Ibu begitu kekeuh aku kudu menikah sama dia?
***
Dan, sebagai cewek berhati sekeras batu karang di tengah pantai Klayar~Pacitan, akupun mulai terjerat dalam pusaran konflik dengan Ibuk.Â
"Aku nggak mau dijodohin! Aku ini bisa cari suami sendiri Buuuk... Jangan repot-repot nyuruh aku merit ama mas itu dooong!"
Waktu itu, aku berkarir sebagai media relations di sebuah perusahaan multinasional. Ini membuat aku sering terbang ke berbagai daerah di Indonesia, sehingga mengurangi intensitas pertemuan dengan Ibuk, dan tentu saja, dengan laki-laki itu.
Akan tetapi.... Tuhan memang Maha Membolak-balikkan hati. Meskipun terpisah ratusan atau ribuan kilometer, Ibuk nggak pernah bosan merapalkan doa.... Yeah, doa Ibuk pun menembus langit dan diaminkan malaikat!
***
Well, sekarang aku baru tahu.... Kenapa Ibuk begitu greget untuk menjadikan mas Didik sebagai menantu.
Ibuk sangat paham... bahwa sifatku keras kepala dan tipikal manusia yang gampang "meledak". Maka, Ibuk memilihkan Mas Didik yang tenang, kalem, anti grusa-grusu, dengan emosi yang amat sangat stabil dan stok kesabaran seluas samudera Hindia ditambah samudera Pasifik.
Selama 11 tahun mengarungi biduk rumah tangga, sudah barang tentu pernikahan kami tidak luput dari riak-riak kecil dan konflik dalam skala yang beraneka.
Biasanya, peletus "perang" adalah..... aku sendiri Biasa, hal-hal sepele, kadang menjadi BOOM! Kalo udah kesambet badai PMS (pre-menstruation syndrome) ataupun ya gegara bete, atau dompet lagi sakaratul maut (ini penyebab paling sering), aku bisa meledak-ledak meluapkan emosi binti nyinyir tiada akhir laksana nenek sihir!
Mas Didik, suamiku yang engkau pilihkan itu, Ibuk..... dia tetap tenang... emosinya aman terkendali... ya itu tadi... sabar tuh kayak udah jadi his middle namegitu lah: Didik "Sabar" Hendriatna. Hahaha.
Dan yang lebih asyique lagi adalah: Mas Didik itu tipikal manusia dengan kadar posesif yang sangat minimalis. Ia memberi aku kesempatan untuk bergaul dengan siapa aja. Ia mempersilakan aku foto wefie dengan artis mana aja, termasuk si ganteng Reza Rahadian. Ia tidak melarang atau sok ngatur ketika aku bikin vlog ama dedek ganteng Afgan.Â
Semua boleeeehh, silakan! Bahkan, suamiku (yang juga hadiah dari Ibuk) memberikan izin aku berkelana ke luar kota, sampai ke Benua Amerika!
Tentu saja, jangan sampai aku mencederai amanah yang diberikan suami. Prinsip ini yang aku pegang erat-erat. Boleh bergaul dengan siapa saja, boleh melanglang buana ke mana saja, asalkan aku tetap berada di koridor batas kepatutan dan kesopanan.
Hari ini adalah hari untukmu, Ibuk.... Sebuah momentum yang dipersembahkan untuk para perempuan di mana surga terletak di bawah telapak kakinya. Berkali-kali aku berucap syukur... Hamdalah Allah memberikan petunjuk padamu... untuk menghadiahkan suami seperti Mas Didik.
Nggak kebayang.... Â andaikata aku menikah dengan cowok-cowok gaul yang usianya tak jauh beda dengan diriku. Kadar ego yang sama, perilaku dan karakter yang serupa, mungkin justru menjerumuskan kami dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan.
Pun keluarga besar Mas Didik.... Keluarga besanmu, Ibuk.... Yang selalu merapalkan doa setiap saat. Bahkan, beberapa iparku jauh-jauh terbang dari Bandung demi menemui dan mendoakan Ibuk! Masya Allah.... Betapa cinta itu mengakar kuat di antara elemen keluarga kita...
Istirahat tenang ya di sana. Aku tahu, semua kado, hadiah, apapun pengorbanan yang telah engkau berikan, tak akan pernah bisa aku balas.... Seujung kuku pun tak akan pernah bisa aku balas. Di tiap doaku, selalu kurapalkan namamu Ibuk.... Nama Bapak juga.... Kalian orang tua yang hebat. Penuh luapan cinta. Engkau dan bapak telah menjadikan aku manusia seutuhnya. Yang punya "hati" dan semoga bisa menebar kebermanfaatan untuk banyak orang.Â
Izinkan aku berterima kasih... untuk sosok suami penyabar yang engkau pilihkan buatku. Semoga, mas Didik bisa terus menjadi imam yang baik di keluarga kami. Semoga kalaupun maut menjemput, cinta dan rasa sayang ini tetap melekat... Semoga kami bisa bersebelahan di tempat tetirah pamungkas... sama seperti Ibuk dan Bapak. Dan semoga, kita bisa reunited hingga ke surga-Nya.
See you when I see You, Ibuk.....(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H