Di dalam dunia perfilman yang dikenal memang hanya istilah layar 'lebar'. Meski begitu, tidak kemudian istilah sebaliknya (layar sempit) juga bisa digunakan.
Sepertinya aneh jika ada yang tanya "Produksi film apa?" dijawab "Film layar sempit." Aneh, kan?
Di tulisan ini saya menyebut film layar 'sempit' bukan berarti istilah itu ada sebelumnya, tapi semata-mata untuk membandingkan pola produksi antara film layar lebar dengan film non-layar lebar.
Setelah saya cermati berdasarkan apa yang saya alami, ada beberapa perbedaan antara produksi film layar lebar dan non-layar lebar. Film non-layar lebar di sini bisa film tv, sinetron, film pendek, film dokumenter atau film lainnya.
Istilah film layar lebar biasanya disebut karena orientasinya untuk diputar di gedung bioskop yang berlayar lebar dan bersifat komersial. Sedangkan film tv atau sinetron (sinema elektronik) jelas diorientasikan untuk diputar di media elektronik (stasiun televisi). Dengan berkembangnya dunia teknologi informasi, sekarang ada istilah baru, yaitu film web series yang diorientasikan untuk ditayangkan di chanel youtube atau untuk website.
Mendengar istilah film layar lebar, biasanya langsung terbayang sebuah film yang diproduksi dengan biaya mahal, menggunakan alat (equipment) yang tidak murah, pemainnya artis ibukota dan melibatkan banyak pemain dan kru film.
Sebelum munculnya era digital, film layar lebar biasanya menggunakan media seluloid yang relatif mahal. Dalam perekaman durasi hitungan menit, harganya mencapai jutaan rupiah.
Beberapa tahun yang lalu, menggunakan media rekam seluloid dalam durasi 4 menit, produser film layar lebar harus mengeluarkan kocek Rp. 2,5 juta. Hitungan matematisnya, jika film durasi 90 menit, biaya yang dikeluarkan untuk media rekam seluloid adalah : (90:4) x Rp. 2,5 jt = Rp. 56.250.000,- belum termasuk scene-scene alternatif jika dibutuhkan untuk alternatif visual.Â
Maka untuk biaya satu buah film layar lebar durasi 90 menit dengan alternatif visual yang cukup, otomatis lebih dari Rp. 56 juta. Sekali lagi ini hanya untuk biaya media rekam seluloid! Belum termasuk biaya-biaya yang lain (artis/pemain, lighting, kru film dan lain sebagainya).
Dengan biaya yang cukup mahal ini, produksi film layar lebar sangat berimplikasi pada kesiapan semua yang terkait dengan shooting produksi film. Dari properti, semua equipment pendukung (lighting dan lain-lain) sampai pada kesiapan pemain harus betul-betul matang. Sebab jika terjadi kesalahan dalam adegan, maka harus mengulang (re-take).Â
Jika ini terjadi, sekian juta melayang begitu saja. Ini yang mungkin membuat seorang sutradara atau produser terkadang keras dan sering naik darah jika terjadi kesalahan dalam adegan. Itu dulu.
Sekarang ini di era digital membawa efek yang berbeda. Produksi film layar lebar tidak 'wajib' dengan media seluloid. Dengan kamera digital DSLR pun jadi. Tentu dengan format tertentu. Dan harganya pun  lebih murah dibandingkan dengan media seluloid. Sutradara pun tidak harus naik pitam jika terjadi kesalahan dalam adegan. Meskipun hal-hal semacam ini ada batasannya. Artinya beberapa kesalahan masih bisa ditolerir sepanjang tidak keterlaluan.
Dalam produksi film layar lebar, seorang produser mesti paham konsekuensinya. Apa itu?
Sebuah produksi film layar lebar telah ditempeli brand image yang cukup prestisius, karena biasanya menggunakan equipment mahal, pemain utamanya artis ibukota, propertinya juga mahal, jumlah kru (tim produksi) yang banyak, otomatis bisa disimpulkan bahwa produksi film layar lebar berbiaya mahal dan mewah! Aku yakin, image ini masih menempel dalam benak khalayak, apalagi para kru (tim produksi).
Sumber Daya Manusia (SDM)/kru film yang telah mengenyam produksi film layar lebar sangat sadar akan perbedaan treatment antara pola produksi film layar lebar dengan produksi film non-layar lebar. Kontraprestasi finansialnya (fee-nya) pun mengikuti elemen lain, semua menjadi 'wah' dan relatif mahal!
Biasanya kru film yang akan direkrut untuk masuk dalam tim produksi akan menanyakan, "film apa yang mau digarap?, "Durasi berapa menit? Digarap (shooting) berapa hari?" dan berapa kontraprestasi (fee) yang akan didapat. Maka produser harus menjelaskan dan tegas mengatakan jenis film apa yang mau digarap. Film layar lebar atau film layar 'sempit' (non-layar lebar)? Termasuk lama produksinya dalam berapa hari. Ini yang akan dicantumkan dalam ketegasan di dalam kontrak kerja tim produksi.
Kejelasan orientasi pada film yang akan digarap; apakah film layar lebar atau non-layar lebar tentu akan menentukan standard fee yang akan diajukan oleh calon kru film. Minimal situasi dan kondisi ini ada di Jogja. Karena bisa jadi hal ini tidak berlaku di kota lain. Di Jogja masih berlaku pola 'persahabatan' dalam komunitas filmmaker. Di mana kontraprestasi kru film atau pun pemain akan menyesuaikan dengan jenis film-nya.Â
Apalagi untuk sebuah TA (Tugas Akhir) kuliah. Dalam penggarapan TA, sering kali dengan pola 'gotong-royong'. Kru dan pemain film tak perlu diberikan fee, tapi cukup bisa makan, rokok dan kopi bareng-bareng. Jika ada fee-nya pun tidak semahal ketika produksi film komersial. Kelenturan ini semata-mata bentuk sebuah kerja bersama yang pada gilirannya bisa terjadi secara bergiliran di antara teman jika sedang membuat TA atau film non komersial yang lain.
Dalam produksi film pendek yang diorientasikan untuk festival pun bisa terjadi demikian. Karena sekelompok komunitas film maker telah mempunyai komitmen bersama untuk sebuah idealisme karya bersama. Inilah, kenapa produksi film pendek bisa terjadi dengan low-budget.
Di era digital sekarang ini pola produksi film kadang terjadi anomali. Apa itu? Terkadang film yang bukan diorientasikan untuk layar lebar (komersial), dan hanya untuk festival, namun karena film itu memenangkan beberapa festival film bergengsi, akhirnya film itu ditayangkan pula di layar lebar.Â
Film "Siti", misalnya. Menurutku ini semacam 'bonus' untuk sebuah film yang berkualitas. Film seperti ini otomatis mempunyai dua (2) keuntungan; yaitu menang dalam festival dengan berbagai gelar penghargaan, dan ditambah bisa ditayangkan dalam layar lebar.
Efek jenis film yang digarap apakah layar lebar atau bukan juga berimbas pada bidang lain. Properti misalnya. Kadangkala persewaan properti menerapkan harga yang berbeda antara film layar lebar atau bukan. Termasuk juga lokasi shooting. Pemilik lokasi pun akan menerapkan harga yang relatif tinggi untuk sebuah priduksi film layar lebar, dibandingkan dengan produksi film non-komersial atau film untuk TA (Tugas Akhir).
Semua ini aku yakin, karena film layar lebar diorientasikan untuk komersial yang artinya akan membawa keuntungan finansial bagi produsernya. Tidak seperti film non-layar lebar.
Satu hal yang perlu dicatat oleh para produser adalah, tidak elok jika akan memproduksi film layar lebar (komersial), tetapi mengatakannya kepada calon klien (calon pemain, calon kru film, rental equipment, atau klien yang lain), bahwa produksinya untuk film non-layar lebar (non-komersial), hanya untuk mendapatkan biaya yang murah. Karena ini sudah melanggar etika berbisnis. ***
Semoga bermanfaat.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H