Di satu perjalanan menuju satu tempat, bertemulah saya dengan seorang ibu. Di pertemuan tersebut, sang Ibu menanyakan nama saya, umur saya, pekerjaan, dan pertanyaan tetek bengek lainnya. Pertanyaan yang menurut saya tak perlu ditanyakan di pertemuan pertama dengan seseorang yang tak pernah Anda temui sebelumnya.
Biasanya jika saya digerecokin dengan pertanyaan – pertanyaan seperti ini, pada satu titik, saya pada akhirnya akan menjawab, “Sorry. It’s privacy. I can’t answer your question,”. Namun, berhubung saya di Indonesia, dan saya masih menghormati adat – adat ketimuran, yang selalu menekankan untuk selalu sopan dan menghormati orang yang lebih tua (penekanan yang terkadang selalu membuat saya bertanya – tanya, “Bagaimana kalau si orang tua ini kurang ajar? Apakah saya hanya diam saja?”). Akhirnya saya hanya menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut dengan sesingkat mungkin (sambil berusaha untuk tetap menahan mulut saya, yang saya yakin benar. Sekali mulut itu terbuka untuk memprotes, maka akan sangat sulit untuk menghentikannya) ditambah sesekali mencoba untuk tetap tersenyum.
Hingga tibalah, di pertanyaan – pertanyaan yang membuat lidah saya tak tahan untuk tidak menjawab.
Ibu tua: Jadi, Kamu ke sini sama siapa?
Saya: Sendiri, Bu.
Ibu Tua: Ihh. Berani amat. Ngga takut hilang, atau nyasar kamu?
Saya : Insya Allah, dijaga sama Allah Bu (sudah mulai bosan dan berusaha untuk kabur dari si Ibu ini)
Ibu tua : Memangnya, kemana orang tua kamu? Ngga ikut sama kamu?
Saya: Ngga, Bu.
Ibu tua: Terus, suami kamu mana?
Saya: Saya belum menikah
Ibu tua: Memang tidak pernah menikah atau sudah pernah ditinggalin?
Saya: Belum pernah menikah (dengan suara mulai tinggi sambil mikir, “emang gue punya tampang kayak janda baru ditinggal mati atau baru dicerai?”)
Ibu tua : Kenapa tidak menikah? Tidak mau menikah ya? Atau kebanyakan pilih – pilih?
Saya: Belum dipertemukan Allah dengan Jodoh saya.
Satu orang bapak ikutan ngomong,
“Makanya. Kamu kurusan dikit. Biar makin cantik, dan jodohnya cepat datang,”
Akhirnya, mulut lancip saya tak bisa menahan diri,
“Sebagai orang yang katanya sangat TAAT kepada Allah, seharusnya kita semua sangat memahami satu hal. Langkah, Rezeki, Pertemuan dan Maut adalah rahasia Allah SWT. Anyway, Pernikahan tidak ada hubungan antara gendut dan kurus. Dan menurut saya, jika saya harus kurus karena saya ingin menikah, itu KONYOL sekali. Karena menurut saya, saat ini saya sudah sangat SEXY dan CANTIK. Dan saya yakin, jodoh saya akan datang, pada tempat dan waktu yang tepat,”
Astaghfirullah Aladzim. Ya Allah, maafkan saya karena sudah bersikap sangat “terus terang” kepada dua orang tua ini.
Saya yakin, apa yang saya alami juga dialami oleh teman – teman lain, khususnya wanita yang masih men jomblo. Kemanapun kaki ini melangkah, saya selalu digerecokin pertanyaan – pertanyaan serupa oleh orang – orang yang katanya sangat ‘perhatian’. Memberikan pandangan penuh belas kasihan karena dengan umur yang sudah kepala tiga namun belum juga menyandang satu status. MENIKAH.
Sebenarnya apa tujuan pernikahan?
Punya pendamping hidup? Atau
Ingin punya anak? Atau
Merubah status, karena takut dianggap pilih – pilih atau ngga laku – laku? Atau
Bahagia?
Saya memilih yang terakhir. Menikah untuk satu alasan. BAHAGIA.
“Cepat – cepatlah kamu menikah. Agar ada yang mendampingi dan menjaga kamu,” nasihat seorang kerabat.
Tentu saja saya ingin menikah. Namun bukan hanya untuk mencari orang yang bisa menjaga saya. Saya adalah wanita dewasa, yang bisa menjaga diri saya sendiri. Dan saya punya penjaga yang paling baik dan bisa diandalkan seantero jagat raya. TUHAN. Itulah penjaga saya. Jika tujuan saya menikah hanya untuk mencari penjaga, mengapa saya tak menyewa body guard saja?
Ingin punya anak?
Memiliki anak tentulah memberi kebahagiaan tersendiri. Tidak bisa dipungkiri, makhluk – makhluk kecil tak berdosa itu selalu memberikan kebahagiaan dan rasa sayang bagi siapa pun yang melihatnya. Saya masih ingat pernyataan satu teman saya,
“Cepatlah menikah. Sekarang umur kamu sudah hampir 30 tahun. Kapan lagi kamu mau punya anak?”
Satu lagi pernyataan yang membuat saya bingung. Punya anak memang harapan bagi hampir semua orang, termasuk saya sendiri. Namun, memiliki anak bukanlah satu tujuan akhir. Bagaimana seseorang bisa begitu yakin dia akan bisa langsung memiliki anak begitu dia menikah? Tak terhitung berapa jumlah pasangan yang menikah di usia muda namun masih belum dikaruniai Anak. Anak itu titipan Tuhan. Dia tahu kepada siapa dan kapan akan menitipkan anak tersebut. Tak peduli sekeras apapun usaha seseorang untuk memiliki anak, jika Tuhan belum berkehendak, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. So, just leave it to God.
Sahabat saya sudah menikah selama 4 tahun. Namun, hingga saat ini belum dikaruniai anak. Padahal dia menikah dalam usia muda dan cukup subur untuk memiliki keturunan. Tak ada yang salah pada dirinya dan suaminya. Namun, tampaknya Tuhan belum mau menitipkan anak untuk mereka. Jika tujuan mereka menikah hanyalah untuk mendapatkan anak, bukan tak mungkin mereka akan berpisah jika sudah mencapai titik jenuh. Saya bersyukur. Sahabat saya menikah karena dia mencintai pria yang menjadi suaminya. Bukan target untuk mendapatkan anak.
Sahabat saya yang lain, menikah dengan usia cukup lanjut. Hampir mendekati usia 40 tahun. Sempat dia khawatir untuk masalah keturunan. Namun, Tuhan berkehendak lain. Dia hamil dan melahirkan seorang anak sehat secara normal. Dan saat ini tengah hamil untuk anak kedua. Semoga kehamilannya sehat selalu.
Jadi, siapa yang bisa menjamin menikah cepat berarti bisa cepat punya anak?
Merubah status, karena takut dianggap pilih – pilih dan tidak laku?
Wahai para wanita lajang. Wajar jika kita ingin memilih. Membeli barang sekalipun, kita perlu memilih agar tidak salah beli. Apalagi untuk pasangan hidup. Tentu kita harus memilih.
Kita bukan tidak laku, namun kita selektif. Menjadi jomblo bukan berarti saya harus menerima siapapun yang disodorkan ke depan hidung saya. Atau menanggapi bujuk rayu tentara India di tempat kerja saya, yang jelas – jelas sudah menikah itu. Atau memaksakan diri untuk berkencan dengan pria Prancis yang bahasa Inggrisnya payah itu. Hanya untuk menghapus status jomblo dari diri saya.
Saya masih ingat dengan kejadian yang menimpa satu orang kolega saya. Beliau pernah mengatakan, dia seperti tidak mengenal suaminya. Dalam hati saya sempat berkata, “Astaga. Pacaran begitu lama, dan pada akhirnya menikah. Apa saja yang dilakukan selama berpacaran hingga kalian tidak saling mengenal?”
Lambat laun si kolega mengaku, sejak dulu sebenarnya dia tak terlalu mencintai suaminya. Alasan untuk tetap berpacaran hanya karena tak tahan sendirian. Dan alasan ‘mengejar target karena umur’ membuat keduanya menikah. Keputusan yang pada akhirnya sangat disesalinya ketika keduanya memutuskan untuk bercerai.
Saya tidak bermaksud sinis untuk sebuah kata, si ‘pernikahan’ ini. Dan saya tidak pula memutuskan untuk terus menjomblo seumur hidup saya. Saya hanya tidak mau terlalu ambil pusing dan memaksakan diri untuk urusan ini karena Kebahagiaanlah yang saya kejar dan yang selalu saya pintakan di sela doa – doa saya kepada Tuhan.
Saya sangat bahagia dengan hidup saya saat ini. Saya punya keluarga yang mencintai saya. Saya punya pekerjaan. Biarpun bukan pekerjaan tetap dan selalu bikin saya deg – degan di saat kontrak berakhir, namun saya sangat mencintai pekerjaan saya. Saya bisa melihat dunia tanpa ada ikatan dan pelarangan di sana sini. Saya memiliki teman – teman, yang di sela – sela kesibukan mereka selalu bersedia mendengar keluh kesah saya. Saya berhasil meraih mimpi – mimpi saya, meskipun belum semua mimpi. Mimpi yang juga mungkin milik sebagian orang. Saya ingat satu perkataan teman saya saat saya mengabarkan keberangkatan saya ke sebuah negara, “Sis. I’m jealous. You stole my dream. But, I’m so proud of you,”
Apalagi yang bisa saya keluhkan? Menangisi diri hanya karena saya belum menikah? Tidak.
Sahabat saya Josephine, yang berumur 39 tahun, hingga saat ini belum menikah. Dia selalu berkata, “Aku tak peduli apa kata orang tentang statusku. Aku hanya tak mau asal menikah dengan orang yang tak kucintai. Dan aku yakin, aku akan menemukannya suatu saat nanti. Dan aku akan menikah, tak peduli setua apa pun umurku,”
Seorang kolega di kantor, sebutlah namanya Veronica, berumur 42 tahun. Beliau ini seorang Chief dari sebuah departemen di organisasi tempatku bekerja. Jabatan yang sangat wah. Cantik sekali, ramah, baik, selalu ceria dan belum menikah. Dilihat secara kasat mata, tentu kita heran mengapa tak ada lelaki pendamping hidupnya. Di satu perbincangan kami, dia berkata, “Jangan pernah merasa malang hanya karena kita belum menikah. Aku memang ingin menikah. Namun, jika menurut Tuhan belum saatnya untuk menikah, aku menerima saja. Bukan berarti aku harus menangisi diri,”
Seorang sahabat yang lain, Vita, menikah di usia 38 tahun. Dia sangat mencintai suaminya, dan selalu bersyukur. Dia selalu berkata, “Aku tak pernah menyesal menikah terlambat. Aku mendapatkan Ken, pria paling sempurna yang pernah kutemui. Menunggu bertahun – tahun rasanya sepadan dengan kebahagiaan yang kudapatkan saat ini. Bayangkan jika aku tak putus dan jadi menikah dengan si Anu, mantan pacar yang sebenarnya tak terlalu kucintai. Mungkin, aku sudah punya status baru hari ini. Janda.”
Well, Saya tidak menikah dengan pria karena ketampanan wajahnya. Karena kekayaannya. Karena kemapanannya dan segala asetnya.
Saya ingin menikah dengan lelaki yang saya cintai. Yang bisa menerima kekurangan saya. Yang mengakui kelebihan saya. Yang bisa saya ajak untuk berdebat, bertengkar dan berdiskusi untuk masalah – masalah yang ada di dunia ini. Yang mengerti dengan ide – ide gila di kepala saya. Yang bisa mengingatkan saya jika saya salah. Dan selalu menerima jika saya memberikan kritikan atas kesalahan yang dilakukannya. Seorang yang bisa mengambil keputusan, namun tetap mempertimbangkan saran – saran saya. Yang menganggap saya adalah seorang istri, yang bisa dijadikan sahabat untuk berbagi. Bukan hanya seorang ‘mannequin’ untuk dipertontonkan kepada orang banyak.
Saya memang ingin menikah. Namun, bukan berarti karena saya belum menikah, maka dunia serasa hancur. Dunia tidak kiamat hanya karena saya belum menikah. Untuk urusan ini, saya akan menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan.
Bukannya saya tak berusaha. Saya tidak mengurung diri di dalam rumah. Saya berusaha aktif untuk bergaul dan bersosialisasi. Saya menghadiri pesta – pesta dengan harapan akan dipertemukan dengan Mr. Right saat berada disana. Saya bergabung di klub olah raga untuk menambah kolega dan kenalan. Namun, memang belum saatnya bagi saya untuk merubah status Single menjadi Married.
Namun saya tidak kecewa. Saya yakin, memang belum saatnya. Saat ini, mungkin sudah digariskan bagi saya untuk menikmati saat – saat menjadi single. Membagi kebahagiaan saya dengan keluarga saya. Menikmati kebahagiaan saya untuk mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Melihat sisi – sisi dunia lain beserta keunikan orang – orangnya. Jika saya memang belum berjodoh, saya juga sudah punya rencana – rencana dalam kepala saya untuk membuat hidup saya lebih berarti daripada menangisi sang jodoh yang tak kunjung datang.
Begitupun, saya yakin, saatnya akan tiba, soon or later. Tuhan akan mempertemukan saya dengan Mr. Right. At the Right Place and at the Right Time. Sambil menunggu saat itu tiba, saya akan menikmati hidup saya. Being Single and Happy.
http://nurulfitrilubis.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H