Nurul Indah Febriani
Husin M. Al-Banjari
Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara yang memiliki sejarah kemerdekaan yang berdekatan. Indonesia secara resmi merdeka pada 17 Agustus 1945, sementara Korea Selatan menyatakan kemerdekaannya pada 15 Agustus 1948 setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Semenanjung Korea. Memiliki rekam jejak historical yang hampir sama, mengalami bagaimana tanah air diduduki oleh Jepang hingga lahir hampir di periode yang sama ternyata tidak membuat perjalanan politik dan demokrasi kedua negara berkembang dengan cara yang sama. Bagaimana bisa?
Indonesia, dengan latar belakang budaya yang beragam dan geografis yang luas, memulai perjalanannya sebagai negara yang berbasis pada prinsip demokrasi Pancasila. Prinsip atau ideologi yang hanya diimplementasikan di Indonesia, demokrasi yang berasaskan nilai-nilai yang tertera dalam Pancasila. Model demokrasi di Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perubahan signifikan, mulai dari era demokrasi parlementer, transisi ke demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Reformasi yang dimulai pada 1998 membuka jalan baru bagi demokrasi yang lebih substansial, meski tetap dihadapkan pada tantangan seperti korupsi, politik identitas, dan lemahnya institusi hukum. Di sisi lain, Korea Selatan memulai perjalanannya sebagai negara yang berada di bawah pengaruh kuat kekuatan asing, terutama Amerika Serikat, pasca-Perang Dunia II. Demokrasi di Korea Selatan mengalami perkembangan dari pemerintahan militer yang otoriter menuju demokrasi yang stabil dan matang, terutama setelah Gerakan Demokratisasi Gwangju pada tahun 1980 dan transisi politik besar pada akhir 1980-an. Saat ini, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem demokrasi yang kuat di Asia, di antaranya ditandai dengan masyarakat sipil yang aktif, media yang bebas, dan institusi politik yang stabil, termasuk kemajuan sain dan Iptek. Sebaliknya, demokrasi di Indonesia masih berjalan sebatas prosedural, civil society tidak tumbuh, dan terjadi ketertinggalan.Â
Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana perbedaan perkembangan politik dan demokrasi antara Indonesia dan Korea Selatan. Melalui pendekatan politik perbandingan, artikel ini akan menggali faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan demokrasi di Korea Selatan dibandingkan dengan Indonesia. Fokus pembahasan juga akan mencakup kasus terbaru di Korea Selatan, di mana presiden negara tersebut mengusulkan kebijakan darurat militer yang kemudian ditolak oleh parlemen dan masyarakat sipil, ini menunjukkan bagaimana keseimbangan kekuasaan di Korea Selatan berjalan secara efektif; hal demikian tidak pernah terjadi di dalam politik Indonesia.Â
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Kedua Negara
Perjalanan demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosial-politik masing-masing. Di Indonesia, era demokrasi dimulai dengan sistem parlementer setelah kemerdekaan pada 1945. Pada masa ini, sebagai negara yang baru saja lahir, demokrasi di Indonesia diwarnai oleh instabilitas politik, konflik ideologi, dan dominasi Soekarno yang akhirnya memperkenalkan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem ini lebih menonjolkan kekuasaan eksekutif, dengan melemahkan peran legislatif dan menciptakan otoritarianisme terselubung. Selanjutnya pada era Orde Baru, di bawah Soeharto (1966--1998), Indonesia mengalami stabilitas politik semu melalui sentralisasi kekuasaan dan kontrol ketat terhadap partai politik serta kebebasan berekspresi. Meski dikenal dengan pertumbuhan ekonomi, era ini juga dipenuhi oleh pelanggaran HAM, korupsi, dan pengekangan hak-hak demokratis. Reformasi 1998 menandai era baru demokrasi di Indonesia, dengan penguatan peran legislatif, desentralisasi kekuasaan, dan partisipasi politik yang lebih inklusif. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan, termasuk korupsi sistemik, politik identitas, dan termasuk munculnya istilah "authoritarian legality" (Whiting, 2023: 358-361) atau juga disebut "authoritarian constitutionalism" (Tushnet, 2015: 393-387) yang menggambarkan adanya cawe-cawe kekuasaan terhadap aturan dan proses Pemilu yang seharusnya luberjurdil.
Sementara itu, Korea Selatan mengalami transisi demokrasi yang berbeda. Setelah kemerdekaan, negara ini berada di bawah rezim militer otoriter, dimulai dengan kepemimpinan Syngman Rhee hingga rezim Park Chung-hee yang mengedepankan modernisasi ekonomi tetapi membatasi kebebasan politik. Gerakan Demokratisasi Gwangju pada 1980 menjadi tonggak penting perlawanan masyarakat terhadap otoritarianisme. Pada akhir 1980-an, Korea Selatan berhasil bertransisi ke demokrasi yang lebih matang, dengan pemilihan langsung, media yang bebas, dan masyarakat sipil yang kuat. Sistem ini terus berkembang hingga saat ini, memungkinkan terciptanya kontrol dan keseimbangan kekuasaan yang lebih efektif. Selain itu, keberhasilan Korea Selatan dalam membangun masyarakat sipil yang dinamis memberikan kontribusi besar terhadap penguatan akuntabilitas politik. Reformasi institusional, seperti pengadilan konstitusi dan lembaga antikorupsi, turut menjadi penopang sistem demokrasi yang lebih transparan. Faktor eksternal, seperti pengaruh Amerika Serikat dalam mendorong demokratisasi di kawasan Asia Timur, juga memberikan dampak signifikan terhadap transisi Korea Selatan.
Di sisi lain, tantangan tetap ada, terutama dalam mengelola ketimpangan ekonomi dan pengaruh kelompok elit yang kuat. Namun, kemampuan Korea Selatan untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman menunjukkan pentingnya inovasi dalam mekanisme demokrasi, termasuk penggunaan teknologi digital dalam proses pemilu dan partisipasi politik masyarakat. Perbedaan perkembangan demokrasi di Korea Selatan dan Indonesia mencerminkan dinamika unik dari masing-masing negara, yang dipengaruhi oleh konteks sejarah, budaya politik, dan tantangan internal yang dihadapi.
Trias Politika dan Keseimbangan Kekuasaan
Konsep trias Politika, yang membagi kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, menjadi pondasi penting bagi demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan. Namun, implementasi dan efektivitasnya di kedua negara menunjukkan dinamika yang berbeda.
Di Indonesia, trias Politika diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD, yang bertanggung jawab dalam penyusunan undang-undang dan pengawasan terhadap eksekutif. Kekuasaan eksekutif, yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, memiliki peran penting dalam pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tugas menjaga konstitusi dan penegakan hukum. Meski sistem ini ideal di atas kertas, praktiknya menghadapi berbagai tantangan seperti korupsi, konflik kepentingan, dan intervensi antar-lembaga. Salah satunya hal yang mencolok dan dapat hampir semua orang nilai adalah bagaimana pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Fenomena ini menuai kritik karena dianggap menciptakan konflik kepentingan yang melemahkan demokrasi substantif, di mana pengaruh kekuasaan eksekutif terlihat mencampuri proses politik dan dilanggengkan oleh lembaga yudikatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan profesionalisme lembaga negara dalam memastikan keadilan. Sementara itu, di Korea Selatan, sistem demokrasi yang lebih matang memberikan contoh penerapan keseimbangan kekuasaan yang lebih efektif. Kasus terbaru menunjukkan bahwa Presiden Yoon Suk-yeol mengusulkan pemberlakuan darurat militer untuk menangani situasi tertentu, tetapi proposal tersebut ditolak oleh parlemen. Penolakan ini mencerminkan peran legislatif yang kuat dalam mengawasi kekuasaan eksekutif, serta budaya politik di mana masyarakat sipil dan media memiliki pengaruh besar dalam menjaga akuntabilitas.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun kedua negara mengadopsi prinsip trias Politika, implementasinya sangat bergantung pada faktor internal seperti kekuatan institusi politik dan budaya hukum. Korea Selatan telah membangun sistem di mana kontrol kekuasaan berjalan lebih efektif melalui independensi institusi dan keterlibatan masyarakat. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan berupa korupsi dan dinasti politik yang mengganggu keseimbangan kekuasaan. Dalam konteks ini, penguatan lembaga negara di Indonesia dan penegakan hukum yang tegas menjadi langkah penting untuk mendekati kematangan demokrasi seperti di Korea Selatan.
Faktor Pendukung dan Penghambat
Perkembangan demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor, seperti ekonomi, budaya politik, pendidikan, dan sistem hukum. Faktor-faktor ini berperan sebagai pendorong sekaligus penghambat dalam proses menuju kematangan demokrasi.
Dari sisi ekonomi, Korea Selatan berhasil menciptakan fondasi demokrasi yang kokoh melalui pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak tahun 1970-an, dikenal sebagai Miracle on the Han River. Keberhasilan ini mendukung terbentuknya kelas menengah yang kuat, yang menjadi aktor penting dalam menuntut demokrasi. Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan ekonomi yang signifikan, yang sering kali dimanfaatkan untuk praktik politik uang dan memperkuat oligarki, sehingga menghambat demokrasi substansial. Dalam budaya politik, Korea Selatan menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dan masyarakat sipil yang aktif, di mana protes publik menjadi alat untuk mempertahankan demokrasi. Indonesia, meskipun memiliki budaya politik yang semakin inklusif, masih diwarnai oleh politik patronase dan identitas yang sering membelah masyarakat. Pendidikan juga menjadi faktor krusial. Korea Selatan memiliki sistem pendidikan yang mendukung literasi politik masyarakat, sedangkan di Indonesia, akses pendidikan yang tidak merata menghambat sebagian masyarakat memahami hak dan tanggung jawab demokrasi. Terakhir, sistem hukum di Korea Selatan relatif independen, yang memungkinkan adanya kontrol efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, di Indonesia, lemahnya penegakan hukum dan tingginya korupsi dalam lembaga yudikatif menjadi hambatan serius bagi demokrasi yang lebih matang.
Perbedaan dalam faktor-faktor ini menunjukkan mengapa Korea Selatan lebih maju dalam membangun demokrasi yang matang, sementara Indonesia masih terus berjuang untuk mencapai konsolidasi demokrasi yang stabil dan adil.
Demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal kematangan dan stabilitas. Sementara Korea Selatan telah berhasil menciptakan sistem demokrasi yang matang, Indonesia masih berjuang dengan tantangan seperti korupsi, politik identitas, dan ketimpangan ekonomi. Pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia adalah pentingnya memperkuat lembaga negara yang independen dan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang lebih inklusif. Untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, pendidikan politik harus menjadi prioritas, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam sistem demokrasi. Selain itu, penguatan institusi hukum dan pemberantasan korupsi menjadi langkah penting untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Masih ada harapan hingga pada akhirnya Indonesia berada di titik demokrasi yang ideal, mulai dari sadar akan bagaimana oligarki tengah menghantui kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H