Konsep trias Politika, yang membagi kekuasaan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, menjadi pondasi penting bagi demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan. Namun, implementasi dan efektivitasnya di kedua negara menunjukkan dinamika yang berbeda.
Di Indonesia, trias Politika diatur dalam UUD 1945. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPR dan DPD, yang bertanggung jawab dalam penyusunan undang-undang dan pengawasan terhadap eksekutif. Kekuasaan eksekutif, yang dipimpin oleh presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan, memiliki peran penting dalam pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tugas menjaga konstitusi dan penegakan hukum. Meski sistem ini ideal di atas kertas, praktiknya menghadapi berbagai tantangan seperti korupsi, konflik kepentingan, dan intervensi antar-lembaga. Salah satunya hal yang mencolok dan dapat hampir semua orang nilai adalah bagaimana pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden. Fenomena ini menuai kritik karena dianggap menciptakan konflik kepentingan yang melemahkan demokrasi substantif, di mana pengaruh kekuasaan eksekutif terlihat mencampuri proses politik dan dilanggengkan oleh lembaga yudikatif. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan profesionalisme lembaga negara dalam memastikan keadilan. Sementara itu, di Korea Selatan, sistem demokrasi yang lebih matang memberikan contoh penerapan keseimbangan kekuasaan yang lebih efektif. Kasus terbaru menunjukkan bahwa Presiden Yoon Suk-yeol mengusulkan pemberlakuan darurat militer untuk menangani situasi tertentu, tetapi proposal tersebut ditolak oleh parlemen. Penolakan ini mencerminkan peran legislatif yang kuat dalam mengawasi kekuasaan eksekutif, serta budaya politik di mana masyarakat sipil dan media memiliki pengaruh besar dalam menjaga akuntabilitas.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa meskipun kedua negara mengadopsi prinsip trias Politika, implementasinya sangat bergantung pada faktor internal seperti kekuatan institusi politik dan budaya hukum. Korea Selatan telah membangun sistem di mana kontrol kekuasaan berjalan lebih efektif melalui independensi institusi dan keterlibatan masyarakat. Sebaliknya, Indonesia masih menghadapi tantangan berupa korupsi dan dinasti politik yang mengganggu keseimbangan kekuasaan. Dalam konteks ini, penguatan lembaga negara di Indonesia dan penegakan hukum yang tegas menjadi langkah penting untuk mendekati kematangan demokrasi seperti di Korea Selatan.
Faktor Pendukung dan Penghambat
Perkembangan demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor, seperti ekonomi, budaya politik, pendidikan, dan sistem hukum. Faktor-faktor ini berperan sebagai pendorong sekaligus penghambat dalam proses menuju kematangan demokrasi.
Dari sisi ekonomi, Korea Selatan berhasil menciptakan fondasi demokrasi yang kokoh melalui pertumbuhan ekonomi yang pesat sejak tahun 1970-an, dikenal sebagai Miracle on the Han River. Keberhasilan ini mendukung terbentuknya kelas menengah yang kuat, yang menjadi aktor penting dalam menuntut demokrasi. Sebaliknya, Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan ekonomi yang signifikan, yang sering kali dimanfaatkan untuk praktik politik uang dan memperkuat oligarki, sehingga menghambat demokrasi substansial. Dalam budaya politik, Korea Selatan menunjukkan tingkat partisipasi politik yang tinggi dan masyarakat sipil yang aktif, di mana protes publik menjadi alat untuk mempertahankan demokrasi. Indonesia, meskipun memiliki budaya politik yang semakin inklusif, masih diwarnai oleh politik patronase dan identitas yang sering membelah masyarakat. Pendidikan juga menjadi faktor krusial. Korea Selatan memiliki sistem pendidikan yang mendukung literasi politik masyarakat, sedangkan di Indonesia, akses pendidikan yang tidak merata menghambat sebagian masyarakat memahami hak dan tanggung jawab demokrasi. Terakhir, sistem hukum di Korea Selatan relatif independen, yang memungkinkan adanya kontrol efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Sebaliknya, di Indonesia, lemahnya penegakan hukum dan tingginya korupsi dalam lembaga yudikatif menjadi hambatan serius bagi demokrasi yang lebih matang.
Perbedaan dalam faktor-faktor ini menunjukkan mengapa Korea Selatan lebih maju dalam membangun demokrasi yang matang, sementara Indonesia masih terus berjuang untuk mencapai konsolidasi demokrasi yang stabil dan adil.
Demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal kematangan dan stabilitas. Sementara Korea Selatan telah berhasil menciptakan sistem demokrasi yang matang, Indonesia masih berjuang dengan tantangan seperti korupsi, politik identitas, dan ketimpangan ekonomi. Pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia adalah pentingnya memperkuat lembaga negara yang independen dan mengedepankan nilai-nilai demokrasi yang lebih inklusif. Untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, pendidikan politik harus menjadi prioritas, memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hak dan kewajibannya dalam sistem demokrasi. Selain itu, penguatan institusi hukum dan pemberantasan korupsi menjadi langkah penting untuk menciptakan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. Masih ada harapan hingga pada akhirnya Indonesia berada di titik demokrasi yang ideal, mulai dari sadar akan bagaimana oligarki tengah menghantui kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H