Mohon tunggu...
Nurul Indah Febriani
Nurul Indah Febriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Tertarik pada isu-isu demokrasi, kebijakan publik, dan dinamika politik lokal. Aktif menulis dan berbagi perspektif tentang politik, budaya, dan masyarakat. Percaya bahwa literasi politik adalah kunci menuju perubahan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perbedaan Penting Sistem Pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan Melalui Lembaga Trias Politika

26 Desember 2024   21:38 Diperbarui: 26 Desember 2024   21:51 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat Dewan Legislatif Korea Selatan (Sumber: BBC)

Nurul Indah Febriani

Husin M. Al-Banjari

Indonesia dan Korea Selatan adalah dua negara yang memiliki sejarah kemerdekaan yang berdekatan. Indonesia secara resmi merdeka pada 17 Agustus 1945, sementara Korea Selatan menyatakan kemerdekaannya pada 15 Agustus 1948 setelah berakhirnya pendudukan Jepang di Semenanjung Korea. Memiliki rekam jejak historical yang hampir sama, mengalami bagaimana tanah air diduduki oleh Jepang hingga lahir hampir di periode yang sama ternyata tidak membuat perjalanan politik dan demokrasi kedua negara berkembang dengan cara yang sama. Bagaimana bisa?

Indonesia, dengan latar belakang budaya yang beragam dan geografis yang luas, memulai perjalanannya sebagai negara yang berbasis pada prinsip demokrasi Pancasila. Prinsip atau ideologi yang hanya diimplementasikan di Indonesia, demokrasi yang berasaskan nilai-nilai yang tertera dalam Pancasila. Model demokrasi di Indonesia sendiri telah mengalami berbagai perubahan signifikan, mulai dari era demokrasi parlementer, transisi ke demokrasi terpimpin di bawah Presiden Soekarno, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Reformasi yang dimulai pada 1998 membuka jalan baru bagi demokrasi yang lebih substansial, meski tetap dihadapkan pada tantangan seperti korupsi, politik identitas, dan lemahnya institusi hukum. Di sisi lain, Korea Selatan memulai perjalanannya sebagai negara yang berada di bawah pengaruh kuat kekuatan asing, terutama Amerika Serikat, pasca-Perang Dunia II. Demokrasi di Korea Selatan mengalami perkembangan dari pemerintahan militer yang otoriter menuju demokrasi yang stabil dan matang, terutama setelah Gerakan Demokratisasi Gwangju pada tahun 1980 dan transisi politik besar pada akhir 1980-an. Saat ini, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem demokrasi yang kuat di Asia, di antaranya ditandai dengan masyarakat sipil yang aktif, media yang bebas, dan institusi politik yang stabil, termasuk kemajuan sain dan Iptek. Sebaliknya, demokrasi di Indonesia masih berjalan sebatas prosedural, civil society tidak tumbuh, dan terjadi ketertinggalan. 

Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana perbedaan perkembangan politik dan demokrasi antara Indonesia dan Korea Selatan. Melalui pendekatan politik perbandingan, artikel ini akan menggali faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan demokrasi di Korea Selatan dibandingkan dengan Indonesia. Fokus pembahasan juga akan mencakup kasus terbaru di Korea Selatan, di mana presiden negara tersebut mengusulkan kebijakan darurat militer yang kemudian ditolak oleh parlemen dan masyarakat sipil, ini menunjukkan bagaimana keseimbangan kekuasaan di Korea Selatan berjalan secara efektif; hal demikian tidak pernah terjadi di dalam politik Indonesia. 

Sejarah dan Perkembangan Demokrasi di Kedua Negara

Perjalanan demokrasi di Indonesia dan Korea Selatan memiliki karakteristik unik yang dipengaruhi oleh sejarah dan konteks sosial-politik masing-masing. Di Indonesia, era demokrasi dimulai dengan sistem parlementer setelah kemerdekaan pada 1945. Pada masa ini, sebagai negara yang baru saja lahir, demokrasi di Indonesia diwarnai oleh instabilitas politik, konflik ideologi, dan dominasi Soekarno yang akhirnya memperkenalkan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem ini lebih menonjolkan kekuasaan eksekutif, dengan melemahkan peran legislatif dan menciptakan otoritarianisme terselubung. Selanjutnya pada era Orde Baru, di bawah Soeharto (1966--1998), Indonesia mengalami stabilitas politik semu melalui sentralisasi kekuasaan dan kontrol ketat terhadap partai politik serta kebebasan berekspresi. Meski dikenal dengan pertumbuhan ekonomi, era ini juga dipenuhi oleh pelanggaran HAM, korupsi, dan pengekangan hak-hak demokratis. Reformasi 1998 menandai era baru demokrasi di Indonesia, dengan penguatan peran legislatif, desentralisasi kekuasaan, dan partisipasi politik yang lebih inklusif. Namun, Indonesia masih menghadapi tantangan, termasuk korupsi sistemik, politik identitas, dan termasuk munculnya istilah "authoritarian legality" (Whiting, 2023: 358-361) atau juga disebut "authoritarian constitutionalism" (Tushnet, 2015: 393-387) yang menggambarkan adanya cawe-cawe kekuasaan terhadap aturan dan proses Pemilu yang seharusnya luberjurdil.

Sementara itu, Korea Selatan mengalami transisi demokrasi yang berbeda. Setelah kemerdekaan, negara ini berada di bawah rezim militer otoriter, dimulai dengan kepemimpinan Syngman Rhee hingga rezim Park Chung-hee yang mengedepankan modernisasi ekonomi tetapi membatasi kebebasan politik. Gerakan Demokratisasi Gwangju pada 1980 menjadi tonggak penting perlawanan masyarakat terhadap otoritarianisme. Pada akhir 1980-an, Korea Selatan berhasil bertransisi ke demokrasi yang lebih matang, dengan pemilihan langsung, media yang bebas, dan masyarakat sipil yang kuat. Sistem ini terus berkembang hingga saat ini, memungkinkan terciptanya kontrol dan keseimbangan kekuasaan yang lebih efektif. Selain itu, keberhasilan Korea Selatan dalam membangun masyarakat sipil yang dinamis memberikan kontribusi besar terhadap penguatan akuntabilitas politik. Reformasi institusional, seperti pengadilan konstitusi dan lembaga antikorupsi, turut menjadi penopang sistem demokrasi yang lebih transparan. Faktor eksternal, seperti pengaruh Amerika Serikat dalam mendorong demokratisasi di kawasan Asia Timur, juga memberikan dampak signifikan terhadap transisi Korea Selatan.

Di sisi lain, tantangan tetap ada, terutama dalam mengelola ketimpangan ekonomi dan pengaruh kelompok elit yang kuat. Namun, kemampuan Korea Selatan untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman menunjukkan pentingnya inovasi dalam mekanisme demokrasi, termasuk penggunaan teknologi digital dalam proses pemilu dan partisipasi politik masyarakat. Perbedaan perkembangan demokrasi di Korea Selatan dan Indonesia mencerminkan dinamika unik dari masing-masing negara, yang dipengaruhi oleh konteks sejarah, budaya politik, dan tantangan internal yang dihadapi.

Trias Politika dan Keseimbangan Kekuasaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun