Mohon tunggu...
Cerpen

Mustika

31 Mei 2018   22:28 Diperbarui: 31 Mei 2018   22:29 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kasihku, bila saja ada seuntai rindu yang membekas, maka akan kuterbangkan rinduku bersama mimpimu. Akan kubuang sepi yang meracuni hari kelabumu. Biarlah cintaku merasuk ke relung hatimu terdalam. Biarlah cintaku menyatu dengan roh jiwamu. Jika Tuhan berkehendak, maka kita akan bersanding di atas altar suci. 

***

Mustika, sebuah nama yang indah selaras dengan paras dan lakonmu. Engkau memanglah perempuan ayu layaknya mahkota ratu bertabur berlian indah. Kuingat ketika pertama kali bertemu denganmu saat kita masih berumur belia, tepatnya saat kita duduk di bangku SMA. Masih basah dalam ingatanku kau adalah gadis kecil lugu bermata bulat indah. Wajahmu manis, bibirmu merah muda, rambut hitammu selaksa benang sutera yang semakin menyempurnakan paras elokmu. Lisanmu teduh menyegarkan obrolan panjang ketika kita pertama kali bertemu di sebuah halte sekolah. Saat itu kita sama-sama menunggu bus di bawah amukan hujan. Engkaulah bidadari pertama yang kutemui. Hatiku bersorak sorai setiap kali bertemu denganmu.

Kita dekat, bahkan bisa dibilang kedekatan kita melebihi teman. Kita selalu bersama menunggu bus di halte. Engkau selalu mengalirkan obrolan yang menghilangkan sifat diamku. Ya, aku memanglah lelaki yang kurang suka berbicara banyak. Tetapi entah mengapa setiap kali bertemu denganmu, kau selalu bisa mencairkan suasana. Kau selalu bisa membuatku berbicara banyak meski pun terkadang bahan pembicaraan kita tidaklah penting. Kau selalu menebrakan senyum bibir merah jambumu kepadaku disela-sela obrolan kita. Kau jauh lebih cantik apabila tersenyum. Kau memanglah seperti Dewi Shinta yang berhasil menakhlukkan hati Rama. Sampai saat hari kelulusan SMA, aku tidak akan pernah melupakan segala hal tentang dirimu duhai gadisku yang ayu.

"Sampai bertemu lagi, sukses selalu untukmu," ucapmu teduh sebelum kita berpisah.

"Aku tidak akan pernah melupakanmu. Tunggulah aku lima atau enam tahun lagi, setelah aku lulus kuliah. Kamu harus berjanji akan bertemu lagi denganku," sambungku.

"Baiklah, aku berjanji akan menunggumu Febrian. Kita akan bertemu lagi."

"Kelak aku akan melamarmu."

"Ah... jangan terlalu banyak bercanda," jawabmu singkat menanggapi kata-kataku yang sebenarnya itu adalah keseriusanku padamu.

***

Enam tahun telah berlalu, rinduku kepadamu telah lama mengendap dalam hatiku. Enam tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu janji yang telah kita ukir. Aku menggantungkan berjuta-juta doa kepada Tuhan agar kita dipertemukan di atas altar sucinya. Namun rindu itu justru seolah menjadi radikal bebas yang meracuni tubuhku. Rindu itu menyesakkanku, kau mengkhianati janji kita. Kau telah melukai cintaku dan menukarnya dengan sebuah kebohongan. Aku ingin berteriak sekencang mungkin bahwa kau jahat.

Sebuah undangan dengan aksara namamu dan seorang lelaki terlukis jelas di depan mataku. Undangn berwarna merah jambu dengan pita cantik berwarna merah marun. Kau akan menikah dengan lelaki lain. Banyak pertanyaan yang mencuat dalam pikiranku. Apakah saat itu kamu hanya menganggapku bercanda bahwa aku akan mempersuntingmu? Apakah kau memang tidak pernah mencintaiku selama ini, dan hanya menganganggapku teman? Apakah kau memang mengkhianati janji kita? Aku sadar bahwa selama ini aku sangatlah bodoh hingga mempercayai segala kedutaanmu.

Tenda biru dan janur kuning itu telah berdiri indah di rumahmu. Alunan gendhing asmaradana melengkapi prosesi pernikahanmu yang kental dengan adat Jawa. Kau bersanding dengan pria lain di saat aku sudah kembali. Aku pun memasuki tenda biru berhiaskan janur kuning dan kembar mayang. Korneaku tajam mengarah ke sudut dimana kau berada. Kau terlihat cantik dengan baju kebaya dan sanggul bertabur rangkaian bunga melati. Mahkota di rambutmu bersinar selaras dengan paras ayumu. Kau terlihat cocok bersanding dengan pria pilihanmu. Aku hanya bisa memendam rasa sakit yang menohok jantungku.

Gendhing asmaradhana pun terus mengalir melambangkan kebahagianmu. Namun di tengah acara, entah apa yang terjadi pasangan halalmu telah jatuh dan tak sadarkan diri. Alunan gendhing asmaradhana itu pun sontak berhenti. Orang-orang berlarian untuk menolong suamimu, begitu pula denganku. 

Aku menerobos mencari celah agar bisa melihat keadaan suamimu. Perlahan kucari denyut nadi di pergelangan tangan kirinya. Kucoba merabanya berkali-kali dan aku tak menemukan sama sekali denyut nadinya. Kemudian perlahan kubuka kelopak matanya dan mengarahkan cahayan senter ke korneanya. Hasilnya tidak ada respon sama sekali. Kucoba mendekatkan jari tanganku kedekat hidungnya, namun tak kutemukan hembusan nafas dari hidungnya.

"Suamimu telah berpulang ke surga. Sepertinya ia terkena serangan jantung," dengan berat hati aku mengatakan itu.

Suasana kebagahian itu tiba-tiba berubah menjadi suasana berkabung. Air mata Mustika larut dalam kesedihan yang mendalam. Air mata itu meleleh membasahi pipinya, membuat riasan di wajahnya luntur perlahan. Ia tampak tidak percaya dengan takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mengucapkan selamat atas pernikahan Mustika yang kemudian disusul dengan ucapan bela sungkawa.

***

Sebulan sudah kau dirundung pilu atas kematian suamimu. Gelar janda kembang pun dilekatkan kepadamu. Orang-orang selalu memanggilmu janda kembang tanpa pernah memahami perasaanmu yang sangat kacau. Setiap hari kau hanya murung di warung kopi ibumu. Bahkan kau tak pernah melempar senyum kepada pelanggan warung kopi ibumu. Kopi hitam yang kuteguk di warung ibumu ini mungkin sama pahitnya dengan perasaanmu.  Ya, setelah insiden kematian dalam pernikahanmu, hampir setiap hari aku berkunjung di warung kopi ibumu dan meneguk secangkir kopi hitam pahit. Padahal sebelumya aku tidak begitu suka dengan minuman berkafein itu. 

Setiap hari kuamati garis-garis wajahmu, tak ada raut bahagia, tak ada senyuman bibir merah jambu. Hanya ada sendu terlukis di wajah ayumu. Perasaanku sendiri pun telah berubah. Aku yang semula sangat membenci Mustika karena kebohongan dan pengkhianatannya, kini justru merasa iba padanya. Ketika di warung kopi aku mencoba mengajaknya berbicara, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya diam seolah pita suaranya telah dibekukan oleh kesedihannya.

"Ini kubawakan kain batik tulis untukmu. Sebenarnya ini adalah hadiah pernikahan yang akan kuberikan kepadamu," ia hanya duduk terdiam dengan tatapan mata kosong  tanpa menyentuh kain batik itu.

"Kuharap kamu akan menyukai batik ini," ucapku pelan sambil mendekatkan kotak  kado berisi kain batik itu ke tangannya. Ia hanya mengangguk dengan tatapan kosong.

"Besok aku akan ke sini lagi," sambungku sebelum melangkah pergi darinya. Sementara ia hanya mengangguk tanpa membalas percakapanku sekalipun.

***

Dua bulan berlalu, kau tetap tak bergeming. Kau hanya diam, tidak nafsu makan dan sering melamun dengan pandangan kosong. Wajahmu pucat, matamu sayu karena ia kurang makan dan minum beberapa bulan ini. Tersirat bahwa kau saat ini sedang mengalami depresi mendalam. Ibu dan bapakmu pun kebingungan menghadapi kondisi anaknya yang sekarang. 

Mulut tetangga pun berkoar memuncratkan berbagai macam gosip bahwa kau telah gila karena ditinggal mati suamimu. Parahnya lagi mereka memberinya julukan 'janda kembang gila'. Ingin kurobek selebar mungkin mulut orang-orang tak berperasaan itu. mereka hanya berhipotesis tanpa mencari tahu fakta sesungguhnya, tanpa mencari tahu bagaimana perasaanmu saat ini.

"Mus...makanlah bubur ini. Enak lho."

Aku berusaha menyodorkan sesuap bubur di mulutnya. Namun ia hanya menggelengkan kepala tanda menolak.

"Kalau begitu, minumlah teh hangat ini," sambungku lagi sambil menyodorkan teh hangat kepadanya.

"Prangggg........." suara pecahan geas kaca pecah menggema.

Aku tahu mungkin aku terlalu naf hingga kau menolak teh hangat yang kusodorkan kepada dan membanting gelasnya hingga pecah. Ya, kau mungkin sudah muak padaku yang selalu memaksamu untuk makan dan minum. Suara gelas pecah itu mengundang ibumu untuk keluar dari warung dan mengahmpiri kita berdua yang duduk di teras warung. Ibumu tampak kesal dan uring-uringan.

"Oalah...nduk.

"Plakkkk...." suara tamparan keras terdengar di gendang telingaku.

Betapa kagetnya aku melihat tanga ibumu mendarat di pipi cantikmu. Pipimu merah karena tamparan keras ibumu. Kurasa ini sebuah kejadian yang dramatis seperti sebuah drama dengan alunan tembang megatruh. Kita pun sama-sama diam tak bergeming. Korneamu lantas menatap tajam mengarah ke ibumu. Aku tahu bahwa kau marah pada ibumu. Namun kau hanya diam tak membela dirimu sama sekali meski saat itu kau merasa hina. Sikapmu dingin. Ya, kau dingin, sedingin bongkahan es di kutub yang tak pernah meleleh oleh sinar matahari sekalipun.

"Kamu ini gak tahu malu dan gak tahu caranya berterima kasih. Febrian ini peduli sama kamu, tapi kamu malah berlaku kasar kepadanya. Dia setiap hari kerja, tapi rela ke sini setiap jam istirahat hanya untuk ngeramut kamu."

Kau lari menjauh dan menuju warung. Segala macam benda pecah belah kau banting. Piring-piring dan gelas-gelas di warung kau hancurkan tanpa sisa. Kepingan beling tajam itu kau pilah, kau pilih yang paling tajam. Perlahan kau mencoba menggoreskannya ke pergelangan tangan kirimu. Aku dan ibumu berlari untuk menghalangimu. Kau tidak menggubris kami sehingga terpaksa kusuntikkan obat anastesi ke tubuhmu. Sekejap tubuhmu layu tak sadarkan diri. Maafkan aku gadisku.

"Sepertinya anak ini memang sudah gila. Maaf ya Febrian."

"Tidak apa-apa kok bu. Dia tidak gila, dia hanya depresi," jawabku singkat meredam emosi ibumu.

"Seharusnya dia tahu caranya berterima kasih le. Aku malu pada kamu le. Kamu itu dokter yang berpendidikan tinggi tidak seharusnya rmerawat anak stress yang tidak tahu caranya berterima kasih ini."

"Karena itulah sudah tugas saya untuk merawat Mustika bu. Dia sudah seperti pasien saya sendiri. Jadi tidak masalah kalau saya harus ke sini setiap hari."

"Maafkan anak ibu ya le."

"Tidak apa-apa, saya malah senang bisa membantu bu. Kalau ada apa-apa langsung menghubungi saya saja," jawabku.

Ibumu tampaknya sangat sungkan kepadaku. Sudah berkali-kali beliau meminta maaf padaku. Tetapi sungguh aku tak pernah merasa bahwa kondisimu yang sekarang merepotkanku. Aku justru merasa merawatmu adalah kewajibanku karena aku sangat menyanyangimu sampai sekarang. Aku akan menerimamu apa adanya duhai Mustika gadis kecilku. 

Kau tetaplah bidadari pertama yang aku lihat di dunia fana. Bidadari cantik bermata bulat, berbibir merah jambu dan berambut hitam selaksa benang sutera membentang. Kau tetaplah Mustika yang dulu, yang pandai mencairkan suasana. Mustika yang pandai membuatku berceloteh panjang lebar. Mustika yang mampu meluluhkan hatiku yang terlalu kaku. Aku berjanji tidak akan pernah menginggalkanmu mesti hatiku pernah kau lukai. Aku akan tetap disampingmu tak peduli dengan keadaanmu sekarang.

***

Malam ini kuputuskan untuk menemuimu seusai kerja. Aku tak sabar ingin bertemu denganmu. Ingin kusampaikan hal yang sudah kupendam bertahun-tahun. Ingin kusampaikan perasaan yang sudah lama mengendap dalam hatiku. Aku ingin kau tahu bahwa selama ini aku sangat mencintaimu. Kulangkahkan kakiku mendekatka ke sosokmu. Kau duduk sendirian, diam dalam malam yang sunyi. Matamu masih tetap sayu, wajahmu masih pucat tak bersinar. Kuberanikan diriku duduk di sampingmu dan menyodorkan kotak berwarna merah muda kepadamu. Pelan jari-jemarimu membuka kotak tersebut.

"Ini cincin apa?" tanyamu kepadaku. Baru kali ini kudengar kau mengeluarkan suara setelah sekian lama kau membisu.

"Sebelumnya maaf kalau ini mengejutkanmu, aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menyayangimu. Sejak kita masih SMA sampai sekarang aku sangat mencintaimu. Aku rela menahan rindu bertahun-tahun setelah berpisah denganmu."

"Lalu, maksdunya? Cincin ini..."

"Mus, maukah kamu menikah denganku? Aku berjanji akan selalu di sampingmu sampai kapan pun."

"Tapi, aku tidak bisa. Aku belum bisa melupakan suamiku. Maafkan aku." jawabmu singkat.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Aku paham situasimu sekarang," sambungku.

Aku tahu bahwa hatimu bukanlah milikku. Engkau Mustika, perempuan yang selalu menjadi kenangan terindah sepanjang hidupku. Meski hatiku telah hancur, aku tidak pernah menganggapmu telah mengkhianatiku. Engkau tetaplah perempuan baik hati berhati bidadari. Aku tidak akan memaksamu untuk bersamaku, aku akan mencoba memahami jalan takdir kita. Aku akan tetap menunggumu meski hatimu tak bisa kugenggam erat. Aku akan tetap datang setiap hari untukmu. Tidak peduli bahwa kenyataan tidak merestuiku untuk hidup bersamamu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun