Mohon tunggu...
Cerpen

Mustika

31 Mei 2018   22:28 Diperbarui: 31 Mei 2018   22:29 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah undangan dengan aksara namamu dan seorang lelaki terlukis jelas di depan mataku. Undangn berwarna merah jambu dengan pita cantik berwarna merah marun. Kau akan menikah dengan lelaki lain. Banyak pertanyaan yang mencuat dalam pikiranku. Apakah saat itu kamu hanya menganggapku bercanda bahwa aku akan mempersuntingmu? Apakah kau memang tidak pernah mencintaiku selama ini, dan hanya menganganggapku teman? Apakah kau memang mengkhianati janji kita? Aku sadar bahwa selama ini aku sangatlah bodoh hingga mempercayai segala kedutaanmu.

Tenda biru dan janur kuning itu telah berdiri indah di rumahmu. Alunan gendhing asmaradana melengkapi prosesi pernikahanmu yang kental dengan adat Jawa. Kau bersanding dengan pria lain di saat aku sudah kembali. Aku pun memasuki tenda biru berhiaskan janur kuning dan kembar mayang. Korneaku tajam mengarah ke sudut dimana kau berada. Kau terlihat cantik dengan baju kebaya dan sanggul bertabur rangkaian bunga melati. Mahkota di rambutmu bersinar selaras dengan paras ayumu. Kau terlihat cocok bersanding dengan pria pilihanmu. Aku hanya bisa memendam rasa sakit yang menohok jantungku.

Gendhing asmaradhana pun terus mengalir melambangkan kebahagianmu. Namun di tengah acara, entah apa yang terjadi pasangan halalmu telah jatuh dan tak sadarkan diri. Alunan gendhing asmaradhana itu pun sontak berhenti. Orang-orang berlarian untuk menolong suamimu, begitu pula denganku. 

Aku menerobos mencari celah agar bisa melihat keadaan suamimu. Perlahan kucari denyut nadi di pergelangan tangan kirinya. Kucoba merabanya berkali-kali dan aku tak menemukan sama sekali denyut nadinya. Kemudian perlahan kubuka kelopak matanya dan mengarahkan cahayan senter ke korneanya. Hasilnya tidak ada respon sama sekali. Kucoba mendekatkan jari tanganku kedekat hidungnya, namun tak kutemukan hembusan nafas dari hidungnya.

"Suamimu telah berpulang ke surga. Sepertinya ia terkena serangan jantung," dengan berat hati aku mengatakan itu.

Suasana kebagahian itu tiba-tiba berubah menjadi suasana berkabung. Air mata Mustika larut dalam kesedihan yang mendalam. Air mata itu meleleh membasahi pipinya, membuat riasan di wajahnya luntur perlahan. Ia tampak tidak percaya dengan takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mengucapkan selamat atas pernikahan Mustika yang kemudian disusul dengan ucapan bela sungkawa.

***

Sebulan sudah kau dirundung pilu atas kematian suamimu. Gelar janda kembang pun dilekatkan kepadamu. Orang-orang selalu memanggilmu janda kembang tanpa pernah memahami perasaanmu yang sangat kacau. Setiap hari kau hanya murung di warung kopi ibumu. Bahkan kau tak pernah melempar senyum kepada pelanggan warung kopi ibumu. Kopi hitam yang kuteguk di warung ibumu ini mungkin sama pahitnya dengan perasaanmu.  Ya, setelah insiden kematian dalam pernikahanmu, hampir setiap hari aku berkunjung di warung kopi ibumu dan meneguk secangkir kopi hitam pahit. Padahal sebelumya aku tidak begitu suka dengan minuman berkafein itu. 

Setiap hari kuamati garis-garis wajahmu, tak ada raut bahagia, tak ada senyuman bibir merah jambu. Hanya ada sendu terlukis di wajah ayumu. Perasaanku sendiri pun telah berubah. Aku yang semula sangat membenci Mustika karena kebohongan dan pengkhianatannya, kini justru merasa iba padanya. Ketika di warung kopi aku mencoba mengajaknya berbicara, namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. Ia hanya diam seolah pita suaranya telah dibekukan oleh kesedihannya.

"Ini kubawakan kain batik tulis untukmu. Sebenarnya ini adalah hadiah pernikahan yang akan kuberikan kepadamu," ia hanya duduk terdiam dengan tatapan mata kosong  tanpa menyentuh kain batik itu.

"Kuharap kamu akan menyukai batik ini," ucapku pelan sambil mendekatkan kotak  kado berisi kain batik itu ke tangannya. Ia hanya mengangguk dengan tatapan kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun