Mohon tunggu...
Cerpen

Mustika

31 Mei 2018   22:28 Diperbarui: 31 Mei 2018   22:29 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Betapa kagetnya aku melihat tanga ibumu mendarat di pipi cantikmu. Pipimu merah karena tamparan keras ibumu. Kurasa ini sebuah kejadian yang dramatis seperti sebuah drama dengan alunan tembang megatruh. Kita pun sama-sama diam tak bergeming. Korneamu lantas menatap tajam mengarah ke ibumu. Aku tahu bahwa kau marah pada ibumu. Namun kau hanya diam tak membela dirimu sama sekali meski saat itu kau merasa hina. Sikapmu dingin. Ya, kau dingin, sedingin bongkahan es di kutub yang tak pernah meleleh oleh sinar matahari sekalipun.

"Kamu ini gak tahu malu dan gak tahu caranya berterima kasih. Febrian ini peduli sama kamu, tapi kamu malah berlaku kasar kepadanya. Dia setiap hari kerja, tapi rela ke sini setiap jam istirahat hanya untuk ngeramut kamu."

Kau lari menjauh dan menuju warung. Segala macam benda pecah belah kau banting. Piring-piring dan gelas-gelas di warung kau hancurkan tanpa sisa. Kepingan beling tajam itu kau pilah, kau pilih yang paling tajam. Perlahan kau mencoba menggoreskannya ke pergelangan tangan kirimu. Aku dan ibumu berlari untuk menghalangimu. Kau tidak menggubris kami sehingga terpaksa kusuntikkan obat anastesi ke tubuhmu. Sekejap tubuhmu layu tak sadarkan diri. Maafkan aku gadisku.

"Sepertinya anak ini memang sudah gila. Maaf ya Febrian."

"Tidak apa-apa kok bu. Dia tidak gila, dia hanya depresi," jawabku singkat meredam emosi ibumu.

"Seharusnya dia tahu caranya berterima kasih le. Aku malu pada kamu le. Kamu itu dokter yang berpendidikan tinggi tidak seharusnya rmerawat anak stress yang tidak tahu caranya berterima kasih ini."

"Karena itulah sudah tugas saya untuk merawat Mustika bu. Dia sudah seperti pasien saya sendiri. Jadi tidak masalah kalau saya harus ke sini setiap hari."

"Maafkan anak ibu ya le."

"Tidak apa-apa, saya malah senang bisa membantu bu. Kalau ada apa-apa langsung menghubungi saya saja," jawabku.

Ibumu tampaknya sangat sungkan kepadaku. Sudah berkali-kali beliau meminta maaf padaku. Tetapi sungguh aku tak pernah merasa bahwa kondisimu yang sekarang merepotkanku. Aku justru merasa merawatmu adalah kewajibanku karena aku sangat menyanyangimu sampai sekarang. Aku akan menerimamu apa adanya duhai Mustika gadis kecilku. 

Kau tetaplah bidadari pertama yang aku lihat di dunia fana. Bidadari cantik bermata bulat, berbibir merah jambu dan berambut hitam selaksa benang sutera membentang. Kau tetaplah Mustika yang dulu, yang pandai mencairkan suasana. Mustika yang pandai membuatku berceloteh panjang lebar. Mustika yang mampu meluluhkan hatiku yang terlalu kaku. Aku berjanji tidak akan pernah menginggalkanmu mesti hatiku pernah kau lukai. Aku akan tetap disampingmu tak peduli dengan keadaanmu sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun