Saat aku larut dalam kenangan masa lalu tersebut, tiba-tiba Chris datang menghampiriku. Tatapan mata Chris yang biasanya tajam kini berubah menjadi sayu. Mungkin ia juga merasakan hal yang sama denganku.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan. Aku juga berusaha mencari jalan keluar untuk masalah ini.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Akankah kita pasrah akan keadaan? ”
“Apa maksudmu Emely?”
“Di saat seperti ini aku merasa menjadi ilmuan yang tidak berguna Chris.”
“Bicara apa kau? Ilmuan sejati itu pantang menyerah, itulah falsafah hidup seorang ilmuan. Bukankah sejak duduk di bangku kuliah kita sudah mempelajari falsafah hidup seorang ilmuan tersebut. Mudah sekali kau melupakan itu. ” Chris mengatakan hal itu dengan nada yang sedikit ditekan dari pita suaranya.
“ Kau benar Chris”
Kata-kata Chris tersebut seperti sebuah antioksidan yang membasmi radikal bebas dalam tubuhku. Tubuhku sekejap serasa kaku mendengar kalimat pencerahan dari Chris tersebut. Chris mampu membuka pikiran terbodohku. Sungguh sulit kupercayai seorang Chris mampu mematahkan pesismistis yang menjadi mutagen dalam pikiranku.
***
Malam ini kulihat Profesor Masaru duduk terdiam di beranda laboratorium. Kopi yang kubuatkan satu jam yang lalu tak disentuhnya sama sekali. Bahkan sampai minuman berkafein itu dingin belum juga beliau teguk setetes pun. Dari raut wajahnya aku tahu bahwa beliau sedang dalam sebuah dilema. Ya, dilema akan tempat yang sebentar lagi menjadi ladang pencemaran ini. Beliau terlihat begitu gelisah. Begitu juga dengan Chris, sedari tadi ia hanya mondar-mandir tak jelas. Tatapan matanya masih sayu dan terkesan kosong. Aku tahu ia sedang berpikir keras menyikapi dan menemukan solusi dari semua masalah pencemaran ini. Sesekali ia seperti orang ling lung.
“Emely, Chris.” Tiba-tiba profesor memanggilku dan Chris.