Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Ladang Pencemaran

18 Agustus 2016   12:20 Diperbarui: 18 Agustus 2016   12:29 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Di dekat laboratorium beliau membangun taman konservasi bunga anggrek dan species bunga lainnya yang nyaris punah. Beliau juga membuat kolam Hydrylla. Di depan laboratorium ada bunga bungur cina yang mirip seperti bunga sakura. Ya, beliau bilang bunga tersebut mengingatkannya pada negeri sakura tempat kelahirannya.

            “Prof tolong jelaskan pada saya, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa pabrik industri tersebut harus dibangun tepat di samping laboratorium ini?”

            “Emely pabrik industri itu adalah proyek pemerintah yang katanya bisa memajukan industri bagi bangsa ini, selain itu laboratorium ini juga merupakan milik mereka. Aku hanyalah ilmuan yang diperkerjakan disini seperti kau dan Chris. Aku tidak punya wewenang menentang mereka.” Suara yang keluar dari pita suara Profesor mengisyaratkan ketidakberdayaannya akan kondisi terdesak ini.

            “Lalu apakah kita akan membiarkan ini semua berlanjut Prof? Bukankah dulu mereka sendiri yang mengatakan bahwa lahan ini merupakan lahan untuk konservasi.” Sambungku.

            “Sekarang kau tahu kan bahwa pemikiran mereka telah termutasi dengan kemajuan industri  hingga mengorbankan kelestarian alam ini. Semua orang bisa saja berubah pikiran.” Ucap Profesor lagi.

Profesor pun segera beranjak pergi meninggalkan aku dan Chris. Dari tatapan korneanya aku tahu bahwa beliau merasa tidak maksimal menjaga lingkungan di sekitar laboratorium ini. Aku tahu beliau sangat merasa bersalah dengan semua keadaan ini meski bukan beliaulah pelaku pencemaran ini. Baru kali ini kulihat profesor Masaru begitu kecewa dan putus asa.

***

            Sudah seminggu aku, Chris dan tentunya Profesor Masaru memantau perubahan drastis yang terjadi di tempat ini. Udara yang  kami hirup sudah terkontaminasi oleh debu-debu dan asap dari pabrik. Sudah lima hari kami memakai masker agar oksigen yang kami hirup tidak tercampur partikel debu dan asap. Selain itu juga untuk melindungi kami dari bau busuk air sungai yang tercemar oleh limbah pabrik. Ya, kami tak ingin gen-gen dan kromosom-kromosom dalam tubuh kami termutasi oleh bau busuk zat-zat kimia sintetis berbahaya dari limbah air sungai tersebut.

            Aku pun menelusuri area sekitar laboratorium. Kulihat tanaman-tanaman disini sudah banyak yang layu bahkan mati. Daun-daun hijau tanaman-tanaman tersebut telah tertutup abu hitam. Ikan-ikan air tawar yang  biasanya berseliweran di sungai kini banyak yang mengambang mati di permukaan sungai. Jumlah ikan gatul yang biasa hidup dalam air yang tercemar justru semakin bertambah banyak. Bunga-bunga bungur cina yang biasanya menyemburatkan rona merah muda mahkotanya kini hanya batangnya yang lapuk. Hydrillayang dibiakkan profesor juga tak berdaya oleh pencemaran lingkungan. Suhu di tempat ini pun semakin meningkat akibat asap yang dihasilkan dari pabrik. Semakin panas hingga rasanya dapat mengelupaskan epidermis kulitku.

 Pikiranku pun kembali ke masa lalu disaat pertama kali aku datang ke tempat ini. Setiap menjelang pagi dan senja aku selalu menyusuri tempat ini. Menikmati indahnya alam yang membentang. Dulu tempat ini seperti surga bagi kupu-kupu species Papillio spdan serangga-serangga lainnya. Bunga-bunga mewangi semerbak menghangatkan indra penciumanku. Udara segarnya kaya akan oksigen. Terkadang selepas hujan semburat pelangi turut serta menghiasi awan tanpa tertutupi oleh asap tebal.

            Lobus frontalis otakku masih dapat mengingat jelas kenangan-kenangan indah di tempat ini. Ya, semua itu masih segar dalam otakku. Disisi lain otakku juga bekerja keras memikirkan solusi untuk perbaikan tempat ini. Aku berpikir keras untuk menemukan jawaban dari problematika besar ini hingga rasanya sel-sel neuron otakku lumpuh. Aku bingung harus dengan cara apalagi untuk mempertahankan kelestarian tempat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun