Mohon tunggu...
Nurul Hikmah
Nurul Hikmah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Seorang Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Sriwijaya. Enjoy your life!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cyber Diplomacy: Sebuah Solusi Cyber Security Dilemma di Era Digital?

29 November 2021   02:25 Diperbarui: 1 Desember 2021   00:15 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Artikel opini ini tidak hanya menunjukkan bahwa dilema keamanan berlaku untuk operasi dunia maya, tetapi juga bahwa karakteristik khusus dari domain digital berarti bahwa efeknya sangat terasa. dilema keamanan siber (cyber security dilemma) merupakan perhatian penting dari tata negara modern dan sarana untuk memahami secara mudah komponen penting dari operasi siber. 

Secara khusus, ini menunjukkan bagaimana dilema keamanan memiliki pengaruh kuat ketika ada hubungan yang kuat antara pengumpulan intelijen dan serangan, seperti halnya dalam operasi siber. Keterkaitan yang erat ini membuat aktivitas pengumpulan lebih mengancam dan lebih cenderung mengarah pada respons oleh negara-negara yang terlibat.

Ancaman  siber  terus  meningkat dikarenakan  ketergantungan  kita  pada infrastruktur  siber. Negara-negara  telah mengakui  potensi  serangan  siber  untuk penggunaan  militer  dan  secara  aktif mengembangkan persenjataan  digital  mereka, yang dapat mengarah pada perlombaan senjata siber. 

Seperti contoh, terdapat  dua kelompok  negara  yang  bersaing  untuk  tata kelola keamanan siber global, yaitu kelompok negara-negara  Barat,  dimana mereka  percaya  bahwa internet  harus  lebih  terbuka  dan  bebas,  dan kelompok  koalisi  negara termasuk  Rusia, China, dan negara berkembang lainnya yang percaya bahwa internet harus terorganisasi dan memiliki  visi  yang  jelas  dan  lebih  dikontrol oleh negara. Dipimpin  oleh  Amerika Serikat,  negara-negara  Barat berpendapat  bahwa  kebebasan,  keterbukaan dan  kepercayaan harus  menjadi  prinsip  dasar dalam  ruang  siber.  Mereka  juga  percaya bahwa berbagai  aktor termasuk warga negara perorangan,  masyarakat  sipil,  bisnis  dan pemerintah  harus  berpartisipasi  dalam penciptaan  norma  dan  aturan  internasional. 

Oleh karena itu, negara-negara  Barat  menggunakan  siber  sebagai instrumen perang  untuk melawan  negara lain dan  tunduk  pada  regulasi  hukum  perang konvensional. Sebaliknya, negara-negara non-Barat  termasuk Rusia dan  China menyatakan bahwa kontrol  informasi harus  dimungkinkan di  ruang  siber  untuk  tujuan  keamanan nasional,  dan  bahwa  mereka  tidak  dapat menerima  peraturan  yang  secara  tidak  adil. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak  menggunakan  siber  sebagai  instrumen perang antar negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahkan jika ancaman keamanan siber tidak menimbulkan risiko eksistensial, namun itu sangat penting dan dapat membuka adanya dilema keamanan. Ini menunjukkan bahwa terlepas dari pandangan seseorang tentang mengaitkan serangan siber banyak yang percaya bahwa atribusi itu sulit atau tidak mungkin, dilema keamanan siber (cyber security dilemma) kemungkinan akan menjadi masalah. 

Terakhir menunjukkan bahwa meskipun senjata siber berbeda dari senjata kinetik, kemungkinan konvergensi dan dilema keamanan siber masih signifikan, dan kemungkinan akan tumbuh secara signifikan. Namun menyadari ketidakpastian dan tantangan pada kemajuan pembuatan norma siber internasional, ditambah dengan ancaman yang berkembang dan kerentanan yang berubah di dunia maya, negara-negara sedang merancang berbagai alat dan inisiatif diplomatik di dunia maya dengan penekanan yang meningkat pada pencegahan dunia maya.

Apa solusi nya?

Oleh  karena  itu, diplomasi siber (cyber  diplomacy) dapat dilakukan  sebagian atau sepenuhnya oleh diplomat, yang bertemu dalam  format  bilateral  atau multilateral, diplomat  juga  berinteraksi  dengan  berbagai aktor  non-negara,  seperti  pemimpin perusahaan  internet (Instagram, Facebook, Twitter, Whatsapp, dll) maupun pengusaha  teknologi atau  organisasi masyarakat  sipil. 

Diplomasi siber (cyber  diplomacy)  menjadi  penting  untuk meminimalkan  gesekan,  mencegah  perang siber  yang  terbuka,  dan  mewujudkan penggunaan ruang siber yang damai. Dengan dilakukannya  fungsi  tata  kelola  dan komunikasi  dalam  ruang  siber  global, penggunaan  ruang  siber  yang  damai  dapat diwujudkan. 

Norma siber didefinisikan sebagai standar perilaku yang sesuai terkait penggunaan TIK dalam konteks menjaga stabilitas dan keamanan internasional. Mereka adalah norma yang tidak mengikat sebagai alternatif hukum. Sebaliknya, hukum internasional dapat berfungsi sebagai dasar norma siber, dan norma siber dapat dikodifikasikan ke dalam hukum internasional untuk konflik siber atau perang siber (cyber war). Jalan menuju pengembangan norma-norma dunia siber yang akan mempromosikan dan melestarikan ruang maya yang lebih stabil dan amani.

 Upaya  untuk  membangun  norma  siber bersama  telah  digagas  oleh  berbagai  negara, organisasi  internasional,  dan  perusahaan teknologi  swasta,  diantaranya  adalah  NATO Tallinn Manual, Microsoft Norms Paper, Code of  Conduct yang  digagas  oleh  China,  Rusia dan  negara  lainnya, US  Government  Policy, dan  UNGGE  (United  Nations  Group  of  Governmental Expert  on  Information  Security). Selain  pembangunan  norma,  upaya  untuk meminimalkan  gesekan  di  ruang  siber  dapat dilakukan  dengan mengembangkan  kebijakan ruang siber internasional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun