Era Digital ditandai dengan teknologi yang meningkatkan kecepatan dan luasnya perputaran pengetahuan dalam perekonomian dan masyarakat. Era digital ditandai dengan kemudahan pengumpulan dan transmisi informasi melalui penggunaan teknologi digital. Sistem komputerisasi yang terhubung dengan internet disebut sebagai teknologi digital.Â
Era digital mengacu pada masa di mana aktivitas sehari-hari masyarakat telah dipermudah oleh kemajuan teknologi. Era digital merupakan perubahan masyarakat yang terjadi sebagai akibat dari Ketersediaan jaringan internet, platform atau aplikasi digital, perangkat digital, dan media sosial membuat segala aktivitas dan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah.Â
Sebelumnya, transformasi digital menjadi fokus revolusi industri keempat. Otomatisasi peralatan akan dimungkinkan di era industri ini untuk dapat berkomunikasi satu sama lain berkat penggunaan sistem yang saling berhubungan. Teknologi ini juga nantinya dapat membantu menjalankan operasi dan memecahkan masalah, serta menaikkan produktivitas di semua skala maupun domain bisnis dan industri.
Penggunaan media sosial dalam dunia siber adalah untuk  mempromosikan  negara,  kebijakan,  dan nilai-nilainya.  Namun hal-hal yang dilakukan di dalam dunia maya tidaklah selalu aman dan damai. Terjadi berbagai ketegangan di dunia siber oleh negara satu dan lainnya karena ingin selalu lebih unggul dari negara lawannya terutama dalam teknologi informasi dan komunikasi.
 Seiring dengan era digital, Ada beberapa perkembangan di berbagai sektor, antara lain pergeseran ilmu hubungan internasional, serta dilema keamanan (security dilemma). dalam dunia digital yang biasa disebut dengan dilema keamanan siber (cyber security dilemma).Â
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengulik apakah diplomasi siber (cyber diplomacy) ini menjadi sebuah solusi pada dilema keamanan siber (cyber security dilemma)? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita pahami dahulu apa itu diplomasi siber (cyber diplomacy)?Â
Diplomasi siber (cyber diplomacy) secara luas didefinisikan sebagai penggunaan alat dan inisiatif diplomatik untuk mencapai kepentingan nasional dan dinamika masyarakat di suatu negara dalam dunia siber yang umumnya terkristalisasi dalam strategi keamanan siber nasional. Diplomasi siber mencakup berbagai agenda diplomatik, seperti membangun komunikasi dan dialog antara aktor negara dan non-negara; pencegahan perlombaan senjata dunia maya; pengembangan norma global; dan promosi kepentingan nasional di dunia maya melalui kebijakan keamanan siber dan strategi. Hal Ini juga berfokus pada peran diplomat yang berkembang dan reorganisasi berbagai departemen dan kementerian luar negeri untuk memenuhi meningkatnya keunggulan keamanan siber dalam mengejar kebijakan luar negeri atau peran teknologi baru dalam proses dan struktur diplomasi.Â
Oleh karena itu, tujuan diplomasi siber adalah untuk menjalankan fungsi diplomasi tradisional di dunia maya, seperti menjaga perdamaian dan menciptakan rasa saling percaya antar pemangku kepentingan.
Mengapa negara-negara membobol jaringan komputer terpenting satu sama lain?Â
Karena untuk mencuri informasi berharga atau menyerang antar negara. Hal ini mengacu pada operasi siber dan perspektif pembuat kebijakan untuk menunjukkan bahwa menyusup ke jaringan negara lain juga memiliki nilai pertahanan yang sangat besar. Dalam dua negara tidak ada yang berusaha untuk menyerang negara lain nya namun karena tidak mempercayai negara tersebut, mereka merasa paham dalam menembus sistem satu sama lain.
 Masalah umum ini, di mana sarana suatu negara untuk mengamankan dirinya sendiri mengancam keamanan negara lain dan berisiko meningkatkan ketegangan merupakan konsep dasar dalam hubungan internasional dan disebut dengan dilema keamanan (security dilemma).Â
Artikel opini ini tidak hanya menunjukkan bahwa dilema keamanan berlaku untuk operasi dunia maya, tetapi juga bahwa karakteristik khusus dari domain digital berarti bahwa efeknya sangat terasa. dilema keamanan siber (cyber security dilemma) merupakan perhatian penting dari tata negara modern dan sarana untuk memahami secara mudah komponen penting dari operasi siber.Â
Secara khusus, ini menunjukkan bagaimana dilema keamanan memiliki pengaruh kuat ketika ada hubungan yang kuat antara pengumpulan intelijen dan serangan, seperti halnya dalam operasi siber. Keterkaitan yang erat ini membuat aktivitas pengumpulan lebih mengancam dan lebih cenderung mengarah pada respons oleh negara-negara yang terlibat.
Ancaman  siber  terus  meningkat dikarenakan  ketergantungan  kita  pada infrastruktur  siber. Negara-negara  telah mengakui  potensi  serangan  siber  untuk penggunaan  militer  dan  secara  aktif mengembangkan persenjataan  digital  mereka, yang dapat mengarah pada perlombaan senjata siber.Â
Seperti contoh, terdapat  dua kelompok  negara  yang  bersaing  untuk  tata kelola keamanan siber global, yaitu kelompok negara-negara  Barat,  dimana mereka  percaya  bahwa internet  harus  lebih  terbuka  dan  bebas,  dan kelompok  koalisi  negara termasuk  Rusia, China, dan negara berkembang lainnya yang percaya bahwa internet harus terorganisasi dan memiliki  visi  yang  jelas  dan  lebih  dikontrol oleh negara. Dipimpin  oleh  Amerika Serikat,  negara-negara  Barat berpendapat  bahwa  kebebasan,  keterbukaan dan  kepercayaan harus  menjadi  prinsip  dasar dalam  ruang  siber.  Mereka  juga  percaya bahwa berbagai  aktor termasuk warga negara perorangan,  masyarakat  sipil,  bisnis  dan pemerintah  harus  berpartisipasi  dalam penciptaan  norma  dan  aturan  internasional.Â
Oleh karena itu, negara-negara  Barat  menggunakan  siber  sebagai instrumen perang  untuk melawan  negara lain dan  tunduk  pada  regulasi  hukum  perang konvensional. Sebaliknya, negara-negara non-Barat  termasuk Rusia dan  China menyatakan bahwa kontrol  informasi harus  dimungkinkan di  ruang  siber  untuk  tujuan  keamanan nasional,  dan  bahwa  mereka  tidak  dapat menerima  peraturan  yang  secara  tidak  adil. Oleh sebab itu, kelompok ini tidak  menggunakan  siber  sebagai  instrumen perang antar negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahkan jika ancaman keamanan siber tidak menimbulkan risiko eksistensial, namun itu sangat penting dan dapat membuka adanya dilema keamanan. Ini menunjukkan bahwa terlepas dari pandangan seseorang tentang mengaitkan serangan siber banyak yang percaya bahwa atribusi itu sulit atau tidak mungkin, dilema keamanan siber (cyber security dilemma) kemungkinan akan menjadi masalah.Â
Terakhir menunjukkan bahwa meskipun senjata siber berbeda dari senjata kinetik, kemungkinan konvergensi dan dilema keamanan siber masih signifikan, dan kemungkinan akan tumbuh secara signifikan. Namun menyadari ketidakpastian dan tantangan pada kemajuan pembuatan norma siber internasional, ditambah dengan ancaman yang berkembang dan kerentanan yang berubah di dunia maya, negara-negara sedang merancang berbagai alat dan inisiatif diplomatik di dunia maya dengan penekanan yang meningkat pada pencegahan dunia maya.
Apa solusi nya?
Oleh  karena  itu, diplomasi siber (cyber  diplomacy) dapat dilakukan  sebagian atau sepenuhnya oleh diplomat, yang bertemu dalam  format  bilateral  atau multilateral, diplomat  juga  berinteraksi  dengan  berbagai aktor  non-negara,  seperti  pemimpin perusahaan  internet (Instagram, Facebook, Twitter, Whatsapp, dll) maupun pengusaha  teknologi atau  organisasi masyarakat  sipil.Â
Diplomasi siber (cyber  diplomacy) menjadi  penting  untuk meminimalkan  gesekan,  mencegah  perang siber  yang  terbuka,  dan  mewujudkan penggunaan ruang siber yang damai. Dengan dilakukannya  fungsi  tata  kelola  dan komunikasi  dalam  ruang  siber  global, penggunaan  ruang  siber  yang  damai  dapat diwujudkan.Â
Norma siber didefinisikan sebagai standar perilaku yang sesuai terkait penggunaan TIK dalam konteks menjaga stabilitas dan keamanan internasional. Mereka adalah norma yang tidak mengikat sebagai alternatif hukum. Sebaliknya, hukum internasional dapat berfungsi sebagai dasar norma siber, dan norma siber dapat dikodifikasikan ke dalam hukum internasional untuk konflik siber atau perang siber (cyber war). Jalan menuju pengembangan norma-norma dunia siber yang akan mempromosikan dan melestarikan ruang maya yang lebih stabil dan amani.
 Upaya  untuk  membangun  norma  siber bersama  telah  digagas  oleh  berbagai  negara, organisasi  internasional,  dan  perusahaan teknologi  swasta,  diantaranya  adalah  NATO Tallinn Manual, Microsoft Norms Paper, Code of  Conduct yang  digagas  oleh  China,  Rusia dan  negara  lainnya, US  Government  Policy, dan  UNGGE  (United  Nations  Group  of  Governmental Expert  on  Information  Security). Selain  pembangunan  norma,  upaya  untuk meminimalkan  gesekan  di  ruang  siber  dapat dilakukan  dengan mengembangkan  kebijakan ruang siber internasional.Â
Pada akhirnya penulis berpendapat bahwa diplomasi siber (cyber  diplomacy) adalah sebuah solusi yang tepat dalam menghadapi dilema keamanan siber (cyber security dilemma), seperti yang sudah disebutkan bahwa dengan adanya diplomasi ini, negara-negara dapat membentuk kemitraan bilateral dengan negara-negara lain seperti melakukan diplomasi dan dapat mengambil tindakan yang sesuai. Namun terlepas dari momentum positif dalam diplomasi siber di antara masing-masing aktor negara dan non-negara, ketegangan mendasar di tingkat multilateral telah menghambat kerja sama terutama pada isu-isu kritis untuk mengembangkan norma siber lebih lanjut dan penerapan hukum internasional di dunia siber.Â
Hal ini pun juga didukung dengan teori Diplomasi  yang  dikemukakan  dari  mazhab  English  School.  Bagi mazhab  ini,  diplomasi  merupakan  inti  dari politik  internasional, diplomasi  adalah lembaga  sentral  dalam  definisi  dan pemeliharaan masyarakat internasional. Wight mengklaim bahwa Rasionalis fokus pada aspek-aspek tertentu dari international intercourse.Â
Diplomasi, legislasi, dan perdagangan adalah contoh dari international intercourse. Rasionalis memegang pandangan kontradiktif tentang sifat manusia, mengklaim dengan alasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik. Pada akhirnya, mereka menganggap negara dan individu sebagai subjek hukum internasional. Menurut Barry Buzan, masyarakat internasional dapat mencapai perdamaian dunia jika para anggotanya mengikuti peraturan atau norma yang disepakati bersama yang menjadi pengendalian diri.Â
Akhirnya, pendekatan English School adalah filosofi yang mencoba untuk mendamaikan dua gagasan utama: realisme dan idealisme. Para filsuf English School ingin mengetahui bagaimana negara-negara dengan sudut pandang yang berlawanan dapat menyepakati cita-cita global dan keadilan di bawah hukum internasional.
Lalu mengapa  diplomasi siber (cyber  diplomacy) diperlukan?Â
Diplomasi siber (cyber  diplomacy) dianggap sebagai solusi efektif dalam memitigasi merebaknya ketidakpastian politik atau ekonomi besar-besaran, risiko, dan potensi konflik yang berasal dari dunia maya. Elemen fundamental dalam  diplomasi siber (cyber  diplomacy) adalah pembangunan kapasitas siber, langkah-langkah membangun kepercayaan, dan pengembangan peraturan siber. Diplomasi siber (cyber  diplomacy) ini juga dapat dikatakan sebagai evolusi dari diplomasi publik  dan  sering  kali  disebut  sebagai diplomasi  publik  2.0.Â
 Perkembangan  diplomasi siber (cyber  diplomacy) merupakan  respons  terhadap pergeseran dalam hubungan internasional. Bagaimana dilema keamanan siber dapat dikurangi? Dengan mempertimbangkan cara-cara di mana negara-negara dapat bertindak secara sepihak untuk meningkatkan pertahanan dasar mereka, dapat membentuk kemitraan bilateral dengan negara-negara lain seperti melakukan diplomasi dan dapat mengambil tindakan untuk memberi sinyal bahwa mereka serius dalam mengatasi masalah tersebut.Â
Dengan berdasarkan teori English School dan beberapa sebab yang mengakibatkan adanya  dilema keamanan siber (cyber security dilemma), maka adanya konsep  diplomasi siber (cyber  diplomacy) dapat menjadi solusi dari isu tersebut tanpa harus adanya perang siber dan menciptakan masyarakat internasional yang damai dimana kita sekarang hidup di era digital.
Daftar Pustaka
Buchanan, B. (2017). The Cybersecurity Dilemma: Hacking, Trust and Fear Between Nations. Oxford Scholarship Online.
Hamonangan, I., & Assegaff, Z. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional yang Damai di Era Digital. Padjajaran Journal of International Relations.
Shepherd, J. (2004). What is the Digital Era? UK: IGI Global Publisher of Timely Knowledge.
Suryani, D. P. (2014). Refleksi Mazhab Inggris dalam. Jurnal Hubungan Internasional Universitas Airlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H