Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Lainnya - Geolog

Saya suka membaca fiksi sejak duduk di Sekolah Dasar. Sedemikian sukanya saya pada fiksi, saat dewasa pun kisah-kisah fiksi anak-anak pun saya baca, bahkan dongeng.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Pun Melongo

16 Agustus 2024   14:42 Diperbarui: 16 Agustus 2024   14:43 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akupun Melongo
Oleh: Nurul Hidayati

Dia tetanggaku yang terjadi karena aku mengontrak rumah neneknya sebagai tempat tinggal bersama suami dan anakku. Dia, Santi, cucu dari pemilik rumah.

Santi berumur 20 tahun. Aku 29 tahun. Putraku saat itu berumur 2 tahun dan sedang aktif-aktifnya, bergerak ke sana kemari di halaman rumah yang tak berpagar sehingga kawasan bergerak putraku menjadi sangat luas karena rumah tetangga dengan tetangga lainnya tak dibatasi pagar, sekedar batas halaman menggunakan bilah-bilah bambu pun tak ada. Bahkan sampai ke jalan yang dilewati kendaraan. Aku selalu kewalahan dan menjadi sangat lelah menjaga putraku ini. Apalagi aku sedang mengandung anak kedua. Hari-hari ku betapa menguras tenaga.

Santi, sehari-harinya hanya bersolek lalu duduk-duduk di teras rumahnya, sarapan, kadang-kadang berbelanja di rumah tetangga tetapi jarang karena ia seringkali tak memegang uang mesti serupiah pun. Santi janda karena dicerai sang suami 2 bulan setelah pernikahan yang tak diinginkan. Suaminya masih anak SMA dan dia sendiri tak tamat SMP.

Santi suka sekali meminjam barang padaku, terutama baju kaos dan celana jeans. Aku memiliki banyak celana jeans yang tak kugunakan sementara karena hamil. Apapun yang dipinjam Santi tak akan dikembalikan jika aku tak memintanya dan selalu dalam keadaan cacat berupa noda yang tak mudah hilang menempel pada pakaian itu, tak dicuci atau robek di bagian tertentu. Meskipun begitu, jika ia meminjam lagi maka tetap kuberi. Jika dikembalikan dalam keadaan cacat maka aku tak akan menerimanya, ku kasihkan padanya. Meskipun pemalas aku kasihan padanya, orang tua dan neneknya mencacinya setiap hari tanpa memberi solusi. Orang-orang terdekatnya telah mengabaikannya.

Suatu hari aku menggendong putraku di depan kontrakan. Aku kepayahan dan Santi mendekat.

"Mba, kubantu ya menjaga Rizki. Kasihkan aku seikhlasnya tuk jajan, "pinta Santi.

"0, ya sudah, "jawabku.

Kulepas simpul kain batik panjang di pundakku lalu menyerahkan padanya kain itu, juga anakku. Di gendongnya anakku sambil bernyanyi yang tak jelas syairnya apa. Aku masuk ke dapur untuk melanjutkan memasak yang tadi tertunda. Beras yang sudah dicuci baru saja kulettakkan di magic com saat terdengar dia memanggilku, maksimal hanya 15 menit dihitung dari dia mulai menggendong putraku.

"Mbak,.... Mbak....!"

"Iya sebentar Santi, "jawabku dengan lebih kencang karena aku masih di dapur.

Kutekan tombol "cook" di magic com lalu keluar untuk menemui Santi.

"Mbak,... Mbak... Mbaaak....!"

"Iya Santi, ada apa?"

"Ini Mbak... aku capek. Ni... anakmu."

Badan gempal begitu cepat sekali capek? Astaga.

"Iya sudah tidak apa-apa."

Santi kemudian meninggalkanku. Aku berlari ke sana kemari mengikuti arah larinya putraku. Tak lama terdengar suara Santi memanggilku.

"Mbak... aku mau pinjam celana."

"Celana? Tunggu sebentar."

Kutangkap putraku dan menggendongnya ke depan rumah dekat Santi berada.

"Mbak, aku mau pinjam celana. 2 saja."

"Iya, ayo, "jawabku.

Kenapa 2?

Santi lantas mengekor di belakangku sampai di depan lemari pakaian yang kuletakkan di kamar tidur. Kubuka lemari lalu memintanya mendekat.

"Pilih sendiri saja San, itu celananya."

Kutunjukkan padanya rak paling bawah dimana kusimpan dengan rapi koleksi jeansku. Dibongkar-bongkarnya susunan celana itu. Cukup lama. Celana-celana jeans itu kini berhamburan di lantai.

"Yang ini tak mau Santi, "tanyaku sambil membentangkan salah satu jeansku yang berserakan di lantai.

Dia menggeleng lalu mencari lagi. Kali ini di rak yang di atas. Aku mulai kesal dibuatnya. Putraku terus meronta ingin turun dari gendongan. Ku turunkan putraku. Begitu di lantai dia lantas menarik-narik tanganku ingin ke halaman.

"San, yang bagaimana sih kamu cari? Ayo cepetan!"

"Pakai yang itu saja dah, "kataku, "Itu paling baru dan mahal."

Santi menggeleng. Putraku tambah menarik-narik tanganku. Kali ini disertai rengekan dan tangisnya yang cetar membahana.

"Di mana sih Mbak simpan celana Mbak?" tanya Santi kemudian.

Aku nengernyitkan dahi. Bukankah dari tadi dia sudah mengobrak-abrik lipatan celana-celanaku? Aku menelan ludah kesal luar biasa.

"Maksudku celana dalam Mbak?"

Celana dalam? Apa Santi akan meminjam celana dalamku? Ah ngeri sekali.

"Aku kehabisan celdam Mbak. Aku mau pinjam 2 saja. Aku sedang datang bulan. Ntar kukembalikan."

Apa? Sejenak aku melongo. Terpesona!

Kuambilkan 5 buah celdam punyaku di boks samping lemari yang masih baru, belum dipakai.

"Nih, ambil buatmu tak usah dikembalikan."

Dia mengambilnya dengan sumringah lalu bergegas keluar kamarku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun